INTERLUDE HARI TUA
Di seberang jendela hanya kabut
Nyaris sayup-sayup, kehampaan
Seluas napas beringsut dalam redup
Menggeser-geser hawa dingin
Pada sekujur tubuh, di luar
Geletar detak jam yang hening
Disembunyikan lengan mantel rajut
Selagi menghirup kopi
Berkepul dalam genggaman lisut
Semacam kabut yang lain
Atau bayangan hangat
Yang menghampar di lubuk batin
Kehampaan (kata di larik kedua itu)
Hanya kata ganti bagi diri
Saat menekuri semadi sebutir embun
Sebelum pupus disentuh matahari
Dan perihal itu (di sini) serupa
Luruh dosa dalam diri yang terampuni
(sorowajan, 2021)
USAHA MENJADI SEORANG IBU YANG BEGINI SAJA
Menjadi seorang ibu membuatku mudah terharu
Seperti cahaya hangat pada pagi
Yang menembus
Jendela kaca patri
Tetapi aku mungkin akan meralatnya
Ketika satu per satu pergi
Menyisakan sepi
Yang sepadan dengan rumah tua
Peristiwa yang sederhana
Dari cinta
Kadang tak membikin
Aku yakin
Kelirukah bila seorang ibu,
Yang menginginkan lebih
Pada kebersamaan, atau sekadar waktu
Di meja makan itu—
Percakapan biasa
Tentang bunga apa yang elok
Ditanam di halaman, cat warna apa yang cocok
Untuk ruangan terpajang foto keluarga;
Tetapi aku seperti lagu Iwan Fals,
Sebuah nyeri
Yang separuh melankolis
Bergetar di telapak kaki
Hari tak jadi hari
Tanpa hati,
Pagi bukan pagi
Tanpa terbit binar murni di mata si buah hati
Mungkin ini keluhan, kiranya,
Tetapi aku tak terlampau serius
Mengalihkannya
Dengan menyulam atau mengurus krisantemum
Di luar semua itu, seorang ibu,
Pelukannya seperti rumah tak berpintu
Tak usah mengetuk
Langsung saja masuk
(sorowajan, 2021)
DARI SEBERANG RIUH GUNJINGAN
Pernikahan adakalanya lumpur isap
Membunuh pelan-pelan.
Kemudian menjelma kuburan
Tanpa nama dan peziarah.
Dari seberang riuh gunjingan
Batin seseorang bilang,
“Cinta tak begitu penting
Jika punya suami tajir melintir.”
Hidup memang menyimpan hal indah
Yang ruwet dan menjengkelkan;
Roda nasib berputar lambat,
Bahkan macet di tengah perjalanan.
Saat segalanya terasa kabur
Doa pun abu-abu, seakan monokrom,
Atau barangkali Tuhan
Memang tak pernah ikut campur
Tentang takdir, tetapi mengapa
Dosa selalu ada
Saat sesuatu yang lata
Tak ditinggalkan.
(sorowajan, 2021)
KLANDESTIN
Cinta adalah puting susu
Yang lembut diemut bayiku
Juga berahimu. Ada bercak merah
Semacam jejak kecup penghabisan
Dan kenangan tak sepenuhnya kelakar
Geletar hangat dalam basah
Tetapi hasrat menjalar
Di luar pikiran. Waktu seakan berjalan lambat
Segala sesuatu yang ingin dilupakan
Tampak lebih seksi lagi bergairah
Meski aku memejamkan mata
Wangi tubuhmu menguar dalam ingatan
Cinta adalah tepukan kecil
Yang nyaman pada pantat bayiku
Atau ulah isengmu. Tak ada yang berubah
Sesekali sedih singgah
Kau dan aku selalu punya dusta
Untuk merayakannya dengan gembira
Tetapi perasaan juga menyimpan cemas
Yang muncul di luar cinta. Peristiwa biasa
Yang sederhana
Bisa menjadi ribet dan menjengkelkan—
Bertengkar atau bersanggama
Kita lontarkan kata-kata kotor yang sama
(sorowajan, 2021)
DOA SEBELUM BERSANGGAMA
Tuhan yang aku sebut namanya dengan hati-hati
Di ranjang ini,
Dalam gairah yang matang
Aku berkhidmat—
Pasrah dan sisanya berharap.
Bimbinglah aku agar sederhana
Seperti tenaga
Yang tiba-tiba gemetar ini.
Anugerahkan aku
Ijabah, dari doa yang dulu
Seperti berkat sebuah ayat
Pada lidah tak bertuah.
Anugerahkan aku
Kenikmatan yang lumrah,
Yang tak menggebu tetapi bernafsu
Melakukan pergumulan ini—
Kun fayakun!
Tuhan yang menghuni lubuk hati yang percaya
Di ranjang ini,
Aku sisihkan barang sebentar
Semua ketakutanku dalam welas asihmu.
(sorowajan, 2021)
MAMPIR
Mampir Mas, mari hangatkan
Malam dalam dekapan. Benamkan dan
Sesekali saya cengkeram. Sampai lunas,
Semua yang berwatak buas—
“Dunia sepenuhnya derita
Sial dan beruntung
Sekadar tantangan belaka
Yang mesti ditanggung”
Malam semakin dingin. Ini
Gang menyimpan suam hasrat, Mas
Tak ada yang mahal di sini
Sebab orang kalah berhak pula bungah.
Saya Paula alias Tuminah, Mas.
Punya anak dua, tetapi belum pernah
Menikah. Salah satu keahlian saya
Adalah menjinakkan cemas.
Sekadar minum juga boleh, atau
Mau menyesap anggur kolesom
Langsung dari bibir ranum
Selagi saya dipangku?
Silakan, Mas. Mainkan gairah
Yang menyembul dengan ujung lidah—
Tentunya, rintih desah dalam gelinjang
Lebih indah ketimbang pekik penagih utang.
Walau barang sebentar, setidaknya
Mas bisa sejenak lupa dilanda derita.
Sedangkan saya sendiri lega
Bisa beli sembako plus susu formula.
Panggil saja Paula, Mas.
Salah satu keahlian saya adalah
Menjinakkan cemas. Kiranya, Tuhan tak
Menyesal mengampuni orang-orang kalah.
(sorowajan, 2021)
TATO NAGA
Hijau tato naga pada mulus paha
Tak sekadar pahatan jarum berisi tinta.
Molek yang kau tunjukkan malam itu
Membekas lama dalam mimpi-mimpiku.
Kau memang bukan kekasih, tetapi
Begitu mahir memulihkan yang letih
Dan sedih dari pangkal sampai ujung
Paling kelam tak pernah mencucup madu.
Semua yang berlangsung dalam mimpi:
Hal indah atau hal seram, hampir selalu
Menyimpan tafsir yang seperti desis api
Menyembur dari mulut naga di tato itu.
Maka aku pun menduga bahwa panas
Yang membuatku terbangun di pagi hari
Adalah panas yang memuat erang Hawa
Dan Adam saat memagut ranum khuldi.
Hijau tato naga pada mulus paha
Begitu moncer sebagai jerat pesona.
Sakit yang dititipkan jarum tinta itu
Menusuk-nusuk juga dalam benakku.
(sorowajan, 2021)
SELAIN TENTANG MALAM DI KEDAI 24 JAM
Nyanyikanlah sepenggal lagu ini:
Kamu harus cepat pulang
Jangan terlambat sampai di rumah
Kamu harus cepat pulang
Walau sedang nikmati malam ini
/1/
Hawa makin dingin, telapak tangan
Kita eratkan dalam genggam, ketika
Sebagian lampu kedai telah padam
Semacam pemberitahuan laju jam.
Sekilas, ketika itu, kita mendengar
Denting gelas dan piring dicuci
Menyatu dengan kutipan Pramudya:
“Hidup sungguh sangat sederhana.
Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”
/2/
Kita yang sedari tadi duduk berhadapan
Menganggap malam sehampar kanvas.
Percakapan demi percakapan adalah kuas
Menggoreskan komposisi sejumlah warna;
Jingga setelah kuning dan merah adalah cinta
Yang menyala seperti pijar geni di antara kau
Dan aku, tetapi ungu setelah merah dan biru
Selalu saja rindu yang meleleh di mata waktu.
“Kiranya kalian bahagia,” bisik hijau setelah biru
Dan kuning, seperti sesuatu yang segar usai hujan.
/ 3/
Kita, beberapa kali, menahan agar tidak ngakak
Sebab amsal yang keluar serupa warna partai;
Kita bukan politikus yang, ketika bilang ‘akan’
Arti sesungguhnya adalah mungkin, ketika bilang
‘Mungkin’ arti sesungguhnya adalah tidak akan.
Aku sekadar sir pada semu selingkar puting.
Kau sekadar geliat pada ngilu senyar zakar.
/4/
“Ayo kita pulang,” katamu.
Tak ada kamomil dalam pinta itu, tetapi
Pelupuk ini tiba-tiba terasa berat mendengarnya.
Padahal sebelumnya acuh tak acuh
Terhadap imbauan pulang dari karyawan kedai.
/5/
Sebagian pengunjung melangkah pelan ke pintu
Keluar, seperti menyusuri lekukan puisi.
Kini, meja dan kursi separuhnya milik sepi.
Sisanya lagi entah milik siapa, bukan malam atau
Hawa dingin yang sedari tadi kita genggam.
/6/
Di parkiran, sebuah sepeda motor susah distarter.
“Ayo kita pulang,” katamu lagi. Sebenarnya,
Aku canggung bilang: pulang paling indah
Adalah pulang yang terbuat dari hangat hati ibu
Yang juga aku temukan dalam pelukanmu.
Sebuah sepeda motor didorong dengan payah
Berhenti sejenak di bawah baliho:
Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0
Yang sangat garib bagi masyarakat bawah.
/7/
Besok— barangkali, jika kau berkenan
Merayakan malam di kedai ini;
Aku adalah lagu Reza Artamevia
Yang berharap, bukan lagi lagu Slank itu.
Meski kehadiranmu sekadar bayangan lalu.
/8/
Di kedai yang tak lagi buka 24 jam,
Malam seakan tak cukup waktu
Aku memang tak pandai membuat lelucon.
Misalnya, tiba-tiba bilang;
Jika kita dapat bereinkarnasi
Barangkali, aku menjadi langit yang sedih
Dan kau mekar melati pagi hari.
/9/
Kita pun meninggalkan kedai itu.
Selesai menganggap malam sehampar kanvas,
Selesai menggoreskan komposisi sejumlah warna.
Sembari berjalan ke pintu keluar, kau menggoda:
“Lukisan tadi itu, buatmu saja, sebab di rumah
Sudah penuh oleh lukisan-lukisan suamiku!”
Tak ada kamomil dalam pinta itu, tetapi
Pelupuk ini tiba-tiba terasa berat mendengarnya,
Senyap membayangkan
Ke mana arah pulang itu.
(sorowajan, 2021)
- Sajak-Sajak Astrajingga Asmasubrata - 26 July 2022
- Sajak-Sajak Astrajingga Asmasubrata - 2 November 2021
- Sajak-Sajak Astrajingga Asmasubrata, Jalan Penyair - 28 November 2017