KASTEL PERTAPA
Berarak pada ganih langit, atmosfer mengayak
kesan sampai hijau rumputan.
Di pucuk pagar tegak, burung-burung kecil,
kicau tuntas menarik dekat terang, hangat …
Pernahkah kau bermimpi, tentang mereka?
“Aku terakhir bermimpi tentang kata-kata
kirimkan pesan pada kalimat-kalimat
dan aku bangun dengan hp tanpa wacana.”
Sebab paragraf tumbuh bersama napas
yang kita hitung saat terjaga,
tak mungkin kita rekam frasa tuntas
sambil ragu-ragu pandangi pegangan pintu.
“Aku rindu hidup, sesuwung putih langit
tapi pepat kisah, kicau burung, dongeng lumrah,
sesekali murung.”
Hidup yang hidup. (Dan Tuhan berfirman
kepada Adam, jauh sebelum sore surut
dan ia lihat binar gemintang: “Pergilah ke bumi
sebelum kau tinggalkan rindu pada batu-batu
dan pohon yang tumbuh di firdaus-Ku.
Pergilah dengan membawa seikat memori
yang diperbarui abjad setiap hari. di bumi.”
“Seberapa banyak kau timbang cinta?”
Hitunglah jumlah huruf tulisan yang sudah dan akan
kau tulis setiap hari yang sudah dan akan
kubaca setiap pagi, ditambah baris sajak yang sudah
dan akan kutulis sampai abjad tak lagi hasilkan arti.
INILAH KITA
Inilah kita, jari yang gelisah saat hujan
turun dan bumi basah. Berpaut di ruang malam
jarak pun hilang dan lesap ke dalam citra
yang hadir pada kata. Pada kata
kita beranjak, mendekat pada jalur cahaya
dan angin yang bergerak
dari utara. “Ini musim tanam,” bisikmu,
“angin datang dengan lingga
tegak menghunjam.”
Inilah kita, jari yang gelisah menghitung jeda
pada almanak, sirkus penanggalan,
dan curah hujan. “Dingin adalah urusan kata,”
kataku, “dan jariku adalah mulut yang selalu
menolak daftar tunggu.”
Maka hari-hari pun dewasa sebelum sempat
kita beri nama. Angka-angka lewat
seperti burung-burung yang terbang
entah ke mana. “Mungkin ke selatan,
di mana langit selalu ganih, tapi di sana
hujan tak ada.”
Inilah kita, jari yang adalah mulut
yang membuka
lalu mengatup, sedang hujan deras bermain
dalam gelap malam, dan bumi basah,
bumi yang lain.
PERTEMUAN SORE
Kita hidup di dunia imaji, katamu,
tempat kupu hinggap di baliho terang,
bukan pada kuntum kembang
yang tumbuh musim penghujan.
Aku hanya mendengarkan.
Dari jendela bising jalan raya
bunyi klakson: orang pulang kerja,
sore adalah saat kumpul keluarga.
Ada selintas temaram senja
lolos lewat jendela kotak, miniatur kota.
Kita hidup terkungkung, kudengar kembali bisikmu,
dan kita hanya bisa diam termangu.
Hanya diam? Di negeri ini setiap hari lahir
seribu puisi, menyambut bayi dengan senyum,
memberi taman bunga yang harum
cinta kasih para penyair.
Pernahkah kau beli buku puisi? Tanyaku.
Kau menggeleng. Kutatap hp sepuluh jutaan,
jam tangan Alexander Christie, jasmu
tak menyimpan jejak debu jalan.
Lalu aku tersenyum. Kureguk kopi, pahit,
dan aku pamit. Saat kuhidupkan sepeda motorku
kutatap di parkiran mobilmu turun dari kaki langit
meneriakkan kisah kelak hari tuamu.
ASMARANDANA SANGKURIANG
Di manakah hutan bertabuh
pada tolakan-tolakan waktu
saat langit jenuh
dan hujan turun seperti lelatu?
Yang musykil pada ujung kujang
adalah babi hutan yang dulu kumakan
bersama ibu. Tak kuingat benar
apa yang terjadi saat aku kenyang,
tapi saat perutku kembali lapar
kutemukan bekas senduk
pada batokku…
Hidup bagiku adalah nyanyian tengah kota
yang rindu belantara. Hidup bagiku
adalah penyabung ayam yang terpesona
kuntum-kuntum bunga.
Lalu kubunuh hidup dengan tanganku
yang berlumur darah anjing itu,
babi hutan itu. Ibu, apakah kau lupakan aku
seperti tak kuingat
hangat pelukmu?
Karena saat pergi kuhancurkan peta
yang kulihat pada buah dadamu
pertama-tama. Kuremukkan batu
tempat kutatahkan di atasnya
namamu.
yang kekal dalam kelenjar pada hidungku
hanya getar tiap kali kudengar riuh
musim kawin anjing. Yang baka dalam dadaku
adalah tatapmu tiba
pada tubuh yang kubunuh dan menyatu
dalam lambungku.
Ada luka, bisikmu, yang tak dihapus embun pagi,
firman dewata, dan sepuluh lirikan mata
di pinggir telaga. Pada liang basah itu ingatan purba
menyuruh kau pergi mengingat saat
engkau kembali.
Di gerbang itu daunan sudah berganti
sekian musim, lingkar batang pohon bertambah
tua dan sepi.
Di belantara perawan itu Sangkuriang
menemukan ingatan
yang lama pergi.
PARENTESIS KOSONG
Yang masih sendiri seperti Tuhan
di suwung langit, pada hujan murung
yang rintik menjelang pagi,
hanya parentesis, lenyap saat ayam berkokok
dan kembali saat sayap-sayap burung
mengukur jarak terjauh
lingkaran hari.
Setiap aku adalah kita yang setia
pada sendiri, setiap kita adalah lengkung
langit tempat semua
lesap dalam ekstase sinematografis
dan jejer rumpun bambu, liuk kali,
batu-batu, mural, lampu jalan, remang kota.
yang sublim pergi dari kita, aku pergi
ke arah sendiri, seperti mentari, sedang pungguk
menghitung tera merah pada almanak
tiap kali rembulan sidi.
Tak ada yang pergi dari aku, kita, hanya riuh
orang tergesa datang dan pergi.
Jalanan tak pernah sama, tapi peta tua
tetap tugur di batas kota.
Di kota tak ada Tuhan, katamu, hanya kita
sendiri seperti Tuhan kita, tak ada dingin,
hanya kita, sendiri dalam kota
yang sendiri, mahakuasa.
SAYAP MALAIKAT
Di mana berhenti kepak sayap malaikat
jika bukan pada langit dini hari
saat angin berembus dingin
dan manusia terlelap berselimut sunyi?
Sunyi yang hangat. Sunyi yang gelap.
Ada mereka yang tugur sepanjang malam
menjaga pintu tetap menyala
di dalam mimpi.
“Tidurlah nyenyak,” bisik mereka.
“Pagi masih jauh, bangunlah saat mentari
sudah bersinar penuh.”
Dan kepak sayap berhenti
pada pucuk-pucuk minaret, pada pusat dahi
menulis firman: “Bangunlah, hai
orang yang berselimut!”
Firman yang sayup di tengah gelora
api pada tungku. Pada jalan lempang
menuju telaga, hanya sunyi, hanya dingin,
tak ada di pinggirnya toko
penjual mimpi, selimut hangat, dan bara api
pada tungku.
Di mana berhenti kepak sayap malaikat
jika bukan pada langit dini hari
saat angin berembus dingin
dan manusia terlelap enggan
membasuh dahi?
Dahi di atas mata tertutup,
Napas berkisah narasi tentang pagi
yang masih jauh. Saat api kian menyala
daun telinga memantulkan bunyi
kepak sayap yang kian rapuh
dan bisik yang kian sunyi:
Bangunlah, hai orang yang berselimut dan berilah peringatan …
- Sajak-Sajak Cep Subhan KM - 2 August 2022
- Sajak-Sajak Cep Subhan KM; Pertemuan Sore - 27 July 2021
- Catatan Kecil Freud tentang Catatan Kecil Nietzsche tentang Perempuan, Cinta, dan Perkawinan - 18 February 2019