Sajak-Sajak Cep Subhan KM; Pertemuan Sore

 

KASTEL PERTAPA

Berarak pada ganih langit, atmosfer mengayak

kesan sampai hijau rumputan.

Di pucuk pagar tegak, burung-burung kecil,

kicau tuntas menarik dekat terang, hangat …

Pernahkah kau bermimpi, tentang mereka?

“Aku terakhir bermimpi tentang kata-kata

kirimkan pesan pada kalimat-kalimat

dan aku bangun dengan hp tanpa wacana.”

Sebab paragraf tumbuh bersama napas

yang kita hitung saat terjaga,

tak mungkin kita rekam frasa tuntas

sambil ragu-ragu pandangi pegangan pintu.

“Aku rindu hidup, sesuwung putih langit

tapi pepat kisah, kicau burung, dongeng lumrah,

sesekali murung.”

Hidup yang hidup. (Dan Tuhan berfirman

kepada Adam, jauh sebelum sore surut

dan ia lihat binar gemintang: “Pergilah ke bumi

sebelum kau tinggalkan rindu pada batu-batu

dan pohon yang tumbuh di firdaus-Ku.

Pergilah dengan membawa seikat memori

yang diperbarui abjad setiap hari. di bumi.”

“Seberapa banyak kau timbang cinta?”

Hitunglah jumlah huruf tulisan yang sudah dan akan

kau tulis setiap hari yang sudah dan akan

kubaca setiap pagi, ditambah baris sajak yang sudah

dan akan kutulis sampai abjad tak lagi hasilkan arti.

 

 

INILAH KITA

Inilah kita, jari yang gelisah saat hujan

turun dan bumi basah. Berpaut di ruang malam

jarak pun hilang dan lesap ke dalam citra

yang hadir pada kata. Pada kata

kita beranjak, mendekat pada jalur cahaya

dan angin yang bergerak

dari utara. “Ini musim tanam,” bisikmu,

“angin datang dengan lingga

tegak menghunjam.”

Inilah kita, jari yang gelisah menghitung jeda

pada almanak, sirkus penanggalan,

dan curah hujan. “Dingin adalah urusan kata,”

kataku, “dan jariku adalah mulut yang selalu

menolak daftar tunggu.”

Maka hari-hari pun dewasa sebelum sempat

kita beri nama. Angka-angka lewat

seperti burung-burung yang terbang

entah ke mana. “Mungkin ke selatan,

di mana langit selalu ganih, tapi di sana

hujan tak ada.”

Inilah kita, jari yang adalah mulut

yang membuka

lalu mengatup, sedang hujan deras bermain

dalam gelap malam, dan bumi basah,

bumi yang lain.

 

 

PERTEMUAN SORE

Kita hidup di dunia imaji, katamu,

tempat kupu hinggap di baliho terang,

bukan pada kuntum kembang

yang tumbuh musim penghujan.

Aku hanya mendengarkan.

Dari jendela bising jalan raya

bunyi klakson: orang pulang kerja,

sore adalah saat kumpul keluarga.

Ada selintas temaram senja

lolos lewat jendela kotak, miniatur kota.

Kita hidup terkungkung, kudengar kembali bisikmu,

dan kita hanya bisa diam termangu.

Hanya diam? Di negeri ini setiap hari lahir

seribu puisi, menyambut bayi dengan senyum,

memberi taman bunga yang harum

cinta kasih para penyair.

Pernahkah kau beli buku puisi? Tanyaku.

Kau menggeleng. Kutatap hp sepuluh jutaan,

jam tangan Alexander Christie, jasmu

tak menyimpan jejak debu jalan.

Lalu aku tersenyum. Kureguk kopi, pahit,

dan aku pamit. Saat kuhidupkan sepeda motorku

kutatap di parkiran mobilmu turun dari kaki langit

meneriakkan kisah kelak hari tuamu.

 

 

ASMARANDANA SANGKURIANG

Di manakah hutan bertabuh

pada tolakan-tolakan waktu

saat langit jenuh

dan hujan turun seperti lelatu?

Yang musykil pada ujung kujang

adalah babi hutan yang dulu kumakan

bersama ibu. Tak kuingat benar

apa yang terjadi saat aku kenyang,

tapi saat perutku kembali lapar

kutemukan bekas senduk

pada batokku…

Hidup bagiku adalah nyanyian tengah kota

yang rindu belantara. Hidup bagiku

adalah penyabung ayam yang terpesona

kuntum-kuntum bunga.

Lalu kubunuh hidup dengan tanganku

yang berlumur darah anjing itu,

babi hutan itu. Ibu, apakah kau lupakan aku

seperti tak kuingat

hangat pelukmu?

Karena saat pergi kuhancurkan peta

yang kulihat pada buah dadamu

pertama-tama. Kuremukkan batu

tempat kutatahkan di atasnya

namamu.

yang kekal dalam kelenjar pada hidungku

hanya getar tiap kali kudengar riuh

musim kawin anjing. Yang baka dalam dadaku

adalah tatapmu tiba

pada tubuh yang kubunuh dan menyatu

dalam lambungku.

Ada luka, bisikmu, yang tak dihapus embun pagi,

firman dewata, dan sepuluh lirikan mata

di pinggir telaga. Pada liang basah itu ingatan purba

menyuruh kau pergi mengingat saat

engkau kembali.

Di gerbang itu daunan sudah berganti

sekian musim, lingkar batang pohon bertambah

tua dan sepi.

Di belantara perawan itu Sangkuriang

menemukan ingatan

yang lama pergi.

 

 

PARENTESIS KOSONG

Yang masih sendiri seperti Tuhan

di suwung langit, pada hujan murung

yang rintik menjelang pagi,

hanya parentesis, lenyap saat ayam berkokok

dan kembali saat sayap-sayap burung

mengukur jarak terjauh

lingkaran hari.

Setiap aku adalah kita yang setia

pada sendiri, setiap kita adalah lengkung

langit tempat semua

lesap dalam ekstase sinematografis

dan jejer rumpun bambu, liuk kali,

batu-batu, mural, lampu jalan, remang kota.

yang sublim pergi dari kita, aku pergi

ke arah sendiri, seperti mentari, sedang pungguk

menghitung tera merah pada almanak

tiap kali rembulan sidi.

Tak ada yang pergi dari aku, kita, hanya riuh

orang tergesa datang dan pergi.

Jalanan tak pernah sama, tapi peta tua

tetap tugur di batas kota.

Di kota tak ada Tuhan, katamu, hanya kita

sendiri seperti Tuhan kita, tak ada dingin,

hanya kita, sendiri dalam kota

yang sendiri, mahakuasa.

 

 

SAYAP MALAIKAT

Di mana berhenti kepak sayap malaikat

jika bukan pada langit dini hari

saat angin berembus dingin

dan manusia terlelap berselimut sunyi?

Sunyi yang hangat. Sunyi yang gelap.

Ada mereka yang tugur sepanjang malam

menjaga pintu tetap menyala

di dalam mimpi.

“Tidurlah nyenyak,” bisik mereka.

“Pagi masih jauh, bangunlah saat mentari

sudah bersinar penuh.”

Dan kepak sayap berhenti

pada pucuk-pucuk minaret, pada pusat dahi

menulis firman: “Bangunlah, hai

orang yang berselimut!”

Firman yang sayup di tengah gelora

api pada tungku. Pada jalan lempang

menuju telaga, hanya sunyi, hanya dingin,

tak ada di pinggirnya toko

penjual mimpi, selimut hangat, dan bara api

pada tungku.

Di mana berhenti kepak sayap malaikat

jika bukan pada langit dini hari

saat angin berembus dingin

dan manusia terlelap enggan

membasuh dahi?

Dahi di atas mata tertutup,

Napas berkisah narasi tentang pagi

yang masih jauh. Saat api kian menyala

daun telinga memantulkan bunyi

kepak sayap yang kian rapuh

dan bisik yang kian sunyi:

Bangunlah, hai orang yang berselimut dan berilah peringatan …

Cep Subhan KM.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!