Sajak-Sajak Deddy Arsya; MONYET ABAD 21

 

MONYET ABAD 21

 

1. Skuter Terbang

 

Monyet luruh bulu terbang pakai skuter

 

ke abad 21 kita ini

mencipta nujum-nujum baru

yang lebih sengit dari rasul-rasul kuno

Sumeria

Akkadia.

 

Monyet luruh bulu dengan skuter terbang

 

melintas di ladang-ladang jagung

di sekitar pondok orang-orang

Sumeria

Akadia

 

si penemu jelai

dan roda.

 

Aku tanami

sekelilingku dengan padi-padian

yang sama dari jenis itu juga

sebab universitas tak mengajari

mahasiswa-mahasiswi

cara bertani

 

fakultas pertanian

bahkan mencetak tukang

pembuat skuter

 

—ah ya, roda-roda

temuan orang-orang

Sumeria

Akkadia.

 

Monyet luruh bulu itu kini terbang dengannya

 

terbang di atas kepalaku

yang semakin tak ada bulu

 

karena terlalu banyak baca buku

cara cepat menembus waktu.

 

2. Masih Mengejar Modernitas?

 

Monyet dari dunia maju itu

 

lelap tertidur dia di atas becak yang

bergulir di jalan tanah berbatu 

 

rumah gelap lampion padam

angin liwat bikin kupak jendela

 

kabut di luar menerobos

masuk lewat singkap gorden

anak-anak terpenjara di rumah

sang ibu payah diserang maag

 

si ayah terpenjara di sini

—jaring-jaring dunia modern

berdiskusi tentang pemiskinan

petani di layar-layar ponsel:

 

“Kaum kapital menguasai

industri pupuk dan racun,

kita memakan natriumkarbonat

tiga kali sehari dan mengisi penuh

empedu dengan fungisida ini!”

 

Monyet dari dunia maju itu

terbangun setelah lama tertidur

 

tak ada suara di mana-mana

—ini kebisingan macam apa?

 

3. Abad Terakhir Manusia

 

Awan tipis menggerakkan badai

gunung berapi meluapkan lava

 

di dasar laut dan danau hijau

ganggang memancarkan hidup

 

amuba dan bakteri

pada membelah diri

 

hewan-hewan besar berderap melewati hutan-hutan beruap

hewan-hewan kecil bersicepat turun dari pohon-pohon

 

dia berdiri tegak mengajarkan diri sendiri berbicara

 

menjinak api dan mencipta mitologi

merancang tulisan dan kota-kota

membuat seni dan menempa baja

menerbangkan kapal ke antariksa

 

tapi awan tipis masih menggerakkan badai

tapi gunung berapi masih meluapkan lava

aku bagian darinya masih tak henti-henti dirundung tanya

hendak apa mau ke mana tak kutemu satu pun jawab

 

dikedap segala daya

dikebat nihil-hampa

kureka-terka makna.

 

 

DALAM KUASA PANTUN

 

1. Sampiran yang Berlantun-Lantun

 

Oh sampiran berlantun-lantun

aku dibuai dalam alun pantun:

 

berdebur ombak Sailan

memecah riak di tengah

 

dua-tiga batang bilang-bilang

tumbuh menjalari tebing karang

 

ambalau di tengah padang

berbunga di ujung petang.

 

Oh sampiran berlantun-lantun

aku pulun dalam amuk pantun:

 

anjalai di dalam betung

menjulai sulur-sulurnya

 

ranting talang jatuh merunduk

merunduk jatuh arah muara

 

di balik bukit sigulembang

di balik lebat rimba raya.

 

Oh sampiran berlantun-lantun

aku dibalun dalam pulun pantun:

 

ampun!

a, ampun!

 

2. Menjauh dari Isi

 

Aku dengar lagi rebab aku dengar

beri aku lagu yang lama beri aku

 

asmara yang tak kunjung menua

 

telah kupaku teori-teori sosial

dan rumus-rumus logaritma

 

pada pembatas-pembatas buku

aku coretkan di situ pantun belaka.

 

Aku mau rebab yang dulu—lagu

hambar asmara dan kasih binasa

 

beri aku lagu cinta yang muram

gumam sakit dari rindu-dendam

 

lagu yang dulu juga lagu hari lalu

lagu siul ayahku di ladang-ladang

 

yang lengang

dan jauh.

 

3. Arkeologi Asmara

 

Ketika aku tengah berenang di pinggir sini,

kau sedang mencuci bajumu di seberang sana. 

 

Antara kamu dan aku terbentang sungai lebar berair dangkal

ketika hujan bertahun tak ada maka bagai lepas katup dada

 

menyumbullah batu-batu besar dari sebaliknya

 

di sebuahnya ada prasasti

dengan purba dua tapak kaki:

 

di sisiku terapung-apung buah piapung

di sisimu bergolong-golong pokok pinabung

di sisiku kasih dan sayang mau bersambung

di sisimu hendak memutus dan menggulung.

 

Ketika aku tengah berkecimpung mandi di pinggir sini,

kau sedang membelai basah rambut di seberang sana. 

 

Asmara yang lama teringat aku kembali

kau padaku menoleh; mata mengerling mata

bagai mengirim gusar tak jeda tak reda:

 

jika kasih tak dapat sampai

asmara tak mungkin menyatu

dalam tidur mengapai-gapai

dalam mimpi menyeru-nyeru.

 

4. Putus Tali di Persambungan

 

Putus sudah tali di persambungan

patah sudah cinta celaka badan

 

apa mau habis rontok bulu mata?

rindu yang dulu bagai tiada tersisa

 

menggenang di kedua sudut

dengan ujung baju kauseka

 

gundah cemas aku bertanya

sampai di sini berhenti cinta?

 

dingin terpecak peluh di lipat tangan

janji lama kini lapuk & buyar harapan

 

ah engkau diri dari dulu betapa kasihan.

Deddy Arsya

Comments

  1. Abdullah Al-Ghifari Reply

    Bisa saja bahasanya. Futuristik. Menarik.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!