
Kepada Nun
1
Gerbang depan selalu terkunci
Dan akan tak ditemui lagi
kutuk serta derita di sini
Aku telah menjadi keabadian
Yang hanya menanti
2
Angin tak dingin lagi
Matahari tak terik lagi
Tak silau lagi
Tak hujan. Tidak ada jam
Memang hanya kegelapan
Seperti masa depan
Tapi datanglah kapan-kapan
3
Di sini pernah ada taman
Angin menggores daun-daun
Jadi orkes
Madu dan susu menganak-sungai
Bagai dalam lukisan
Tentang kahyangan
Tapi kini
Taman dulu telah jadi hutan
4
Seorang Mustapa pernah berkata:
Berjalan sampai ke ujung timur
kau akan melihat permulaan barat
Selama pergi untuk mencari
kau akan temukan ketiadaan
Berjalanlah tanpa arah
Dengan hati-hati
Dengan hati
Kemari
2014.
Ameng Layaran
Mata setajam kemarau
menyisir Pasundan dari Panenjoan
Gunung ranum di mana-mana
tak ubahnya payudara wanita
menyusui laki-laki, anjing
wanita lain, babi
batu, pohon dan apa lagi
Ia tak berani melumat
atau sekadar mengingat
sugi tembakau yang dilipat
dan digulung di silam masa
di atas paha dan dada Putri Pakuan
Memang dulu, lazimnya pencari
Yang Tidak Ada, lebih ingin
ke puting gunung daripada ke pucuk susu
ia berkeras ingin menyelami ceruk sungai
daripada hanyut oleh arus selangkangan wanita
yang seperti arak
Memang dulu, lazimnya manusia suci,
tak berani menikmati sesal yang wajar
pula tak percaya jika orang bilang,
kahyangan boleh dibangun di dunia
Mata setajam kemarau
cuma sekejap saja mengilau
Lekuk-liku Pasundan dari Panenjoan
seperti seorang ibu yang malah makin aduhai
sejak ia tinggalkan, warna emas
dilaburkan senja di mana-mana
Namun mata setajam kemarau
tetap mencari, masih mencari
pembaringan bagi tubuh yang jerih
sepotong lingga yang akan lapuk
catatan kumal
dan, apa lagi
2015.
Pulang
Jalan ini serupa ular besar
melilit gunung-gunung
ingatan-ingatan yang
mencengkeram sungai-sungai silam
menuding ke luasnya tiada
Jalan ini
tak ada lampu
jalan yang telah dilalui
orang-orang dulu, hanya
diterangi bulan membara
Halimun turun dari bukit hutan
menghapus sekalian jejak di batu-batu
sebelum seorang sempat menyusurinya
menyelamatkan tubuhku
dari setiap pandangan
Namaku hanya dapat ditemukan
di daun-daun kering
yang meliuk sejenak
dipermainkan angin
sebelum akhirnya telungkup
mendekap tanah
Dan di ujung jalan
gerimis seperti dengung
zikir dan yasin
Gerimis tiba-tiba memandikan tubuhku
2016
Dari Kebun Bangkar
Langkahnya gemulai membelah
padang ilalang sesaat setelah
hujan biasa selesai. Ia makin dekat.
Makin dekat saja kepada saya.
Entah dari ingatan mana
perempuan dengan rambut
tersepuh senja itu.
Makin dekat saja.
Makin tampak senyum
yang menghimpun seribu tahun
kesunyian.
Makin dekat.
Langkahnya aduhai
sembunyikan ancaman.
Ia melenggang semisal
macan kumbang.
“Mungkin kamu lupa,” katanya
setelah berdiri di depan saya.
Saya gugup melihat kilau matanya
yang mengingatkan saya pada
tajam parang, kesedihan ilalang.
“Aku mungkin Kenangan,” bisiknya
diakhiri senyum lembut. Sesaat
sebelum ia menerkam leher saya.
Saya ingin memeluknya. Erat.
Saya tak dapat memeluknya.
2017
Menulis Puisi
Membaca buku puisi saat ini seperti usaha bunuh diri
Dengan api. Rambutku berkobar dan mataku terasa pedih
Api menjalar ke mana-mana…
Aku di sini, di antara larik-larik puisi, mengingatmu setiap hari.
Di antara deru angin panas yang menyebarkan berita buruk.
Hewan liar berbondong turun ke desa meninggalkan gunung
Yang meruncing merah. Kebun pisang, kebun singkong,
Dan sawah-sawah gagal panen mengepulkan asap. Hantu-hantu lapar
Dan kawanan babi bergentayangan setiap malam. Seorang ibu hamil
Disiksa beberapa pemuda sampai mati di kampungku suatu malam
Memahami diksi-diksi para penyair seperti usaha melarikan diri
Dari letupan-letupan dunia ke dalam sebuah gua purba, tempat segala
Percikan suara penderitaan manusia tersimpan. Aku mencari-cari pistol
Lalu menyembunyikannya di jok motor. Aku membeli seekor anjing ras
Bermata saga dan membirakannya terus menyalak, menyemburkan bensin
Di dalam dada. Menemaniku membaca kemudian menulis puisi
Tiba-tiba sadar rumahku telah terbakar. Hanya menyisakan
Beberapa buku puisi dan tumpukan arang yang masih mengepul
Aku membaca halaman-halaman puisi penuh jelaga itu, menafsirkanmu
Di jalan, di kebun, di rumah kontrakan, di antara pusaran-pusaran api
Aku ingin menulis puisi, aku ingin mencintaimu sampai mati
Kini tubuhku menggigil terpanggang bara keinginanku sendiri
2018
- Sajak-Sajak Deri Hudaya - 7 September 2021
- Puisi-Puisi Deri Hudaya - 22 December 2020
- Sajak-Sajak Deri Hudaya; Sebuah Dongeng tentang Mimpi - 11 February 2020