Manuskrip Voynich
tokoh kita menatap dedaunan hijau
ia sesumbar akan menerjemahkan langit, tanah dan air
dari saripati kabel dan frekuensi florafauna
jemaat yang berderet itu belum ujung selamat
tokoh kita coba mendendangkan penawar racun
ia merasa ada pada kabel ruwet itu
hijau, mengalir darah-darah cemas
ia menerka makna yang diburu
pada obat bingung dan binatang linglung
hijau, ia meneruskan denyut nadi
menjelma ratu dukana di bawah singgasana rumput
dan akar tak tahu siapa yang menanamnya.
Wadassari, 2017
Menyimak Bach
pada kesempatan kali ini saya menggelembur dibuatnya
desing peluru lamatlamat berjejalan menusuk relung
di hadapan kantata
cerukmu tertinggal dalam perjamuan malam ini
di antara opus yang setia pada lintasannya
dan angka bergumul dalam sirkuit kegemasan kita.
Wadassari, 2017
Asteroid dari Namamu
kugali noktah hitam tak bertuan
demi gugurnya noda
bebatuan dan partikel angkasa
menuju lubang semestamu
galaksi ialah kanvas kosong
dengan tinta cat di sampingnya
maka kukerat tintanya dengan acak
tumpah dan jadilah:
laut seperti sirup
dan darat dari telur dadar
aku ingin seperti sirup di laut
hadir dari gempuran aksesoris langit
yang membasuh wajah di bukit-bukit
di mana bumi berpijak
di situ atom membeliak
debu menyapa matamu
menyambut lukisan antariksa tiada habisnya
partikel menunggangimu dari lanskap terdalam
jutaan cahaya mencarimu dengan kidung kesabaran
dengan debar gelegar
semenjak lapar adalah keping yang tak boleh hilang
maka riwayatku tak usai-usai
karenanya kanvas kosong kucari lagi
dan aku bebas menggambarnya.
maka
begini
jadinya:
asteroid dari namamu
menari-nari di belantara logam
di tambang kelok batu
kuceburkan diri ke dalam kolam
di antara multatuli serta mercury
kita pun tahu
sabuk yang dicintai
ialah batu yang diwaspadai.
Karaeng Pattingalloang
darimanakah rahasia langit
jika orbit enggan terbit
dari sirkut yang tertata cantik
dari bola dunia takzim tak henti padanya
bintang-bintang menari dari kepundan langit
ia tuntun tajali terang bulan
di bebatuan, di bukit, di ceruk terdalam
di remah rempah jembatan bahasa
lewat notasi angka dan hewan langka
bintang mengecupmu dan sabuk terjaga syahdu
kawah bulan menduduki haribaanmu
bersama tarian awan dan mentari
yang tak susut dipasang gelombang
semakin tinggi, udara kian menipis
semakin berat, padi kian merunduk
dan
pada termin itu:
sejak pertanyaan jamak terlontar
lalu kian memucat dan memudar
yang tersisa dari keagungan
tak redam dan terus benderang.
Atlas
dosa ialah sumbu gemilang
menyambungkan medan dan zaman
suatu waktu nanti, katamu
kucari kamu di belantara tak berujung
di petak-petak surgamu
pada kavling nerakamu
kutemukan tanahmu ranum cemerlang
di balik perosotan bahumu
kuterjerembab dan tak mau pulang
karena jatuh di tubuhmu
ialah batu paling piatu
dari tunduk beban dipanggul
dari duka serapah pernah tercipta.
Wadassari, 2017
Mesin Waktu
Ia adalah pengembara
tiada kenal rimba dipapahnya
Aku adalah jarum pendek
terus mengentak
dan tentu saja yang kudapat buntu sesak
Ia adalah jarum jam yang lesap ke lubang hitam
menerobos cacing berlubang
seperti apel dengan semut di bagian belakang
cacing pun mengabulkan, menggerogoti badan
hingga tembus ke halaman depan
Ia menimbang-nimbang pertanyaan usang
“lebih dulu mana ayam apa telur?”
aku mafhum tak sampai pada sirkuitnya
dari lintasan menuju petilasan gua
seperti Ashabul Kahfi yang digonggong
dalam tidurnya di bilik rehat panjang
dan seperti ular memakan ekornya,
ia mengajakku berendam dengan pakaian
di kolam tanpa air
di tanah perhitungan tak bertuan.
Wadassari, 2017
- Kembang Kempis Sampai Garis Finis - 12 January 2019
- Sajak-Sajak Galeh Pramudianto; Asteroid dari Namamu - 12 December 2017