PADA SUATU HARI
ketika kau tanya padaku
berapa jarak antara siang dan malam
sesingkat senja, jawabku
tidak lebih dari satu kedipan mata
lalu kau tatap mataku
seperti mencari sesuatu yang hilang
mataku gelap dan dingin, katamu
segelap malam, sedingin palung laut
angin berembus di antara kita
bias senja menerpa wajahmu
riak laut berwarna keemasan
dan di kejauhan sana tampak
seorang nelayan memasang layar
membiarkan angin membawanya pergi
menjauh menuju pulau-pulau
kemudian kita beranjak pergi
meninggalkan pantai
dan bersiap menyalakan lampu-lampu
berapa jarak antara malam dan siang, tanyamu lagi
sesingkat fajar, jawabku
tidak lebih dari satu kedipan mata
lalu kau rebahkan kepalamu di dadaku
menyimak detak jantungku
sambil menghela napas
kemudian memejam mata
angin berembus perlahan di antara kita
lolong anjing yang jauh bersahut-sahutan
dua ekor cicak berebut laron yang mendekati cahaya
dan samar-samar dari tetangga sebelah
seorang ibu kedengaran memanggil anaknya
ketika tengah malam
kau tiba-tiba terbangun
keringat memenuhi dahi dan lehermu
wajahmu pucat
dan suaramu serak memanggilku
katakan padaku berapa jarak
antara hidup dan mati, desakmu
sesingkat kedipan, jawabku
tidak lebih dari satu tarikan napas
Kendari, Januari 2019
Percakapan Selepas Hujan
ke mana perginya bintang-bintang di malam gelap
begini rupa? bersembunyi di antara gerimis
ataukah mengendap di balik bola matamu?
kau menarik napas pelan
tak bisa bicara
tak ada jawaban
atau kau mengira
bintang-bintang telah berjatuhan
serupa daun gugur
di musim berangin ini?
hujan jadi deras
bunyi air di atap makin berisik
tidak sayangku. bukan begitu
pada kunang-kunang memang
kutemukan juga cahaya kerlip
tetapi bagi pelaut sepertiku
tak akan cukup hanya menghafal
suara ombak yang memukul lambung perahu
langit makin gelap. laut juga gelap
hujan yang deras menghalau percakapan kita
kau mendekap tubuhmu dengan tangan gemetaran
bibirku jadi biru menahan gigil
ke mana perginya bintang-bintang di malam gelap begini rupa?
Kendari, Januari 2019
Yang Berakhir dengan Pertanyaan
bisakah kita saling bicara seperti dulu
seperti ketika pertama bertemu
dengan suara yang dipelankan
dengan tatapan yang ditundukkan
saya merindukan degup jantungku yang dulu
perasaan gembira seperti kanak-kanak:
takjub pada segala hal baru
atau ketawa terbahak-bahak yang sering kali
berakhir tangisan, entah karena apa
tapi usia tidak berhenti sampai di situ
seumpama bola, ia menggelinding di tanah lapang
disepak kaki-kaki takdir dan menjauh dari cita-cita
seseorang akan memungutnya, mengembalikannya ke tanah
lapang lagi. untuk disepak lagi hingga peluit menyudahi
masih bisakah kita bicara seperti dulu
saling memandang dengan tatapan teduh
dan suara rendah serupa bisikan
saya membayangkan suasana pagi yang syahdu
menunggu matahari muncul dari balik gunung itu
menghayati kesegaran daun-daun berembun
dan menanti binar matamu tepat sesudah lampu teras itu dipadamkan
adakah kau mengira segalanya hanya khayalan?
hanya harapan kosong yang berakhir sia-sia?
Kendari, Januari 2019
- Sajak-Sajak Irianto Ibrahim - 17 November 2020
- Sajak-sajak Irianto Ibrahim; Yang Berakhir dengan Pertanyaan - 19 February 2019
muh.dinil ahiri
keren sklai bosq
Manaf
Tetap menggeliat puisi puisinya pa Irianto Ibrahim
Anonymous
Keren memang ka anto…. Proud to you 😍
Kharisma Damayanti
Suka sekali dengan puisi-puisinya 👌👌
Mimi
Seperti sore tadi, ah tidak. Mungkin sudah berbulan-bulan lamanya.. Saya kagum dengan bapak Anto.
Sukses selalu 🙏 saya menanti antologi puberikutnya😊
Mimi
Seperti sore tadi, ah tidak. Mungkin sudah berbulan-bulan lamanya.. Saya kagum dengan bapak Anto.
Sukses selalu 🙏 saya menanti antologi puisi berikutnya😊
Anonymous
Keren abiz….Mantap
Yurass
Keren sekali. Salam sesama penikmat sajak dari Kendari 🙏
Anonymous
awww…. sesingkat kedipan..
tak lebih dari satu tarikan nafass..