ibu bambu
—Wa Kaa Kaa, raja Buton I
dari bahtera yang singgah di negeri-negeri nestapa
dari nahkoda yang hilang arah kembara
terdampar di atas kisah-kisah tanpa nama
siapakah muasal dari segala suluh
rahasia Majapahit atau bengis Khubilai Khan?
Sengketa garis muasal jadi batu-batu benteng
lumut dan gulma mengeras di makam Murhum
jurang dan lembah menjelma ibu bagi tahun-tahun
yang terkubur akar pohon sukun
siapakah muasal dari segala warita
mia patamiana atau sakti Dungkucangia
dari langit tanah Welia
seorang peri bercorak sembilu
semayam di peluk serumpun bambu
kelak ditandu bahu para buruh
silsilah lantas mengalir seputih darah dari lebat rumpun buluh
Baubau, Oktober 2019
batu-batu benteng
kau mengenal sejarah bukan dari buku terbitan erlangga
atau surat kabar yang penuh bising lenguh ibu kota
helicak atau dokar sama asingnya
di sini para bapak sudah bangga punya sepeda
bunga-bunga mangga luruh ke halaman
akar asam mencuat di dada cadas
sebab karang juga layang-layang
daun kering yang disapu kakak perempuan penyayang
awal segala ingatan tentang muasal
kau kenal sejarah dari matahari yang turun mandi
di selat Kabaena
haribaan batu Sangia
seperti hikayat para sultan yang dibaptis
di atas batu poaro dengan tirta dari tujuh mata air
sungai dan lembah dari masa purba
dan selendang para dayang dengan kulit semurni peri,
muka yang berseri dan bekas mangir
kendi-kendi diangkut nampan bersama tembikar
tudung saji warna pelangi ditingkah asap dupa terbakar
para tetua mendengung kidung di talang haroa
menggaris riwayat di atas batu-batu benteng
bastion dan meriam menyanyikan lagu paling bisu
dari sebuah zaman yang luput mengukir simbol-simbol
hingga silsisah terkubur di goa Aru Palaka
diredam tahun-tahun yang bising suara kota
Baubau, Agustus 2019
dara syailendra
di pelataran ratu boko
udara merapat pada tembok-tembok reruntuhan
angin bukit tergesa ke selatan
lembap lumut berjarak dari peradaban
kepalaku pening, tali kamera melayang dari jangkauan
tali jam mengendor disergap kecemasan
dara wangsa syailendra mengibaskan lengannya yang langsing
kesedihan menjadi, meratapi kepergian prabu baka
dayang-dayang dan perempuan bergegas menumbuk padi
irama terbaca sebagai kematian
kugapai-gapai kesadaran, menatap puncak pendopo diguyur sumpah
tapi suaranya gelisah memecah usaha
terompah di kaki bergerak menujunya, kepala diberati lingkar mahkota
“terberkatilah kau oleh kesetiaan patih gupala”
lesung beradu alu, doa-doa menyulut kutuk
menggertak sisa bangunan dan saluran
kupohon pengestu pada baris pegunungan sewu
malam runtuh dilabrak kokok yang asing
dusta ruah
putra mahkota menjolok langit dengan celaka
demit menjerit bertukar kesumat
“terkutuk kau rara jonggrang!”
dara berubah patung
lesung pecah alu jadi debu
perempuan lenyap
dayang-dayang dikunyah kerak
udara bernapas
abad-abad terjungkir dalam mainan detik
kusambar kamera yg ternyata tidak ke mana-mana
denyut dada seperti jam yang menyala
siluet lelaki melompat ke sudut kuil
dara jadi batu
terlambat
aku tak mengutip luka
dalam frame seorang lelaki terisak
menjura senja yang terbakar
punggungnya beku pada relief gapura
jatuh cinta dan kehilangan jauh maha dahsyat dari legenda
Kendari, Juni 2020
putra mahkota
di Melai tak ada lagi yang ia sesali
suara kekasih mengendap di lantai papan
dua daun jendela dibanting angin dari Baadia
bunga-bunga mangga terjun ke tangga rumah
ia membungkus ingatan paling silam tentang seseorang yang baru ia kenal
dan mengajak bercinta dengan damai
seperti pohon besar di atas makam Murhum
kuburan pinoama di belakang rumah dan kerabat di Waborobo
telah berhenti menjamu tamu dan peziarah
mereka yang datang tapi tak pernah ke mana-mana
ia menjeluak mengamati pemuda-pemuda rantau yang pulang jadi turis asing
dan memotret malige juga batupoaro dengan kekaguman yang dibuat-buat
seolah darah moyang tak pernah singgah di nadinya
di Melai, ia bertemu kekasih
putra mahkota yang asing di negeri sendiri
Baubau, Desember 2019
di pelabuhan murhum
di pelabuhan para pendatang
memaku tekad di tiang-tiang juga cerobong
asin tambang dilempar dari bibir haluan
mengikat perut pelabuhan
menandai sebuah permulaan
juga kedatangan di sela silih keberangkatan
seorang copet bersiasat dalam barisan juga himpitan
bau ketiak dimasak musim hingga matang
cuaca mencatat keberuntungan atau mencatut kematian
dari lambung lima anak tukang copet
tiba-tiba melompat dari tubir dermaga
berkeluh kepada ibu yang setengah tubuhnya
bersisik menjelma duyung penghuni palung
dari ujung selat kapal-kapal terus merapat
melempar sauh dari jauh
menanam jangkar di tengah murung para buruh sepi kelakar
tajam mata elang, pisau mata syahbandar
mengusir pengemis sekali hardik
di tengah ringis juga tengik ludah
di pelabuhan kuli angkut bertengkar dengan pengupah
sekarung goni pakaian diturunkan
sebab imbalan tak cukup mengisi pinggan
menyalakan dingin tungku harapan
mendesak rasa lapar juga diam-diam tangisan
kisah-kisah lantas berpusar dalam ingatan
pelabuhan tak lagi asin oleh keringat
tengik bau jura yang kelaparan
para penumpang berjalan tertib di lajur yang lengang
tapi seperti ada yang hilang
tak boleh dikenang
- Sajak-Sajak La Ode Gusman Nasiru - 16 February 2021
Fadil
Nice