Nepa: Hadiah Kepala
Di Nepa, kera-kera itu menerima
setiap kata-kata yang harus terlaksana
menjadi dewa: dewa bunga, bermula
dari hukuman pancung kepala
Lalu patih apung menuntut laut timur
Arosbaya untuk menjadi bumbu tempurung
di atas daun pelasa: Pranggulang namanya
Kemudian, menjelmalah. Menjelmalah
mereka selanjutnya menjadi kampung
bukit cerita:
cerita kayuh –cerita perengkuh
semua yang berlalu sampai mereka
percaya kepada tenggara
“Mintalah segera ampun kepada udara
sebagaimana bias nasib manusia untuk
tujuh usia!”
Kera-kera itu berkata, membuka cela
rahasia, seperti upacara yang tak bergerak
di antara mulut dan mata
Maka, darinya, mereka pun melaksana
ikhtiar pendar, perasaan ikrar, dan debar
cahaya pantai yang pernah melahirkan
darah pertama: di tepi utara, di selat muara,
yang ulung, yang mengalahkan tabiat harkat
raja-raja kera dahulu kala
“Ibunda, mengapa engkau harus bermula,
jika tak tangguh kepada derita”
Demikian selanjutnya terdengar suara
Seseorang, yang mungkin juga bukan suara
seseorang
Bangkalan, 2017
Lalu, Berkatalah
Seorang Patih Kepada
Kekasihnya
Bacalah perang Shiffin
yang menawan itu. Lalu jangan
berkata menyedihkan,
menyedihkan
Harga kisah saudara
Tugas yang tinggi
Atau yang terlalu luas
untuk persahabatan bumi
Telah kutuliskan itu di matamu,
Kasih. Hingga ke bintang
Dan mati di hati
2018
Lesap Pun Meminta
Cakraningrat
Ayah, di mana bantalku?
Berupa cermin batin berliur hangat,
ilusi hidup, dan judul-judul mimpi
hari tua yang ingin aku turuti
kepulasannya
2018
*Lesap, anak selir, penentang kebijakan Belanda, dianggap pemberontak karena memerangi Raja Cakraningrat, ayahnya,
Raja Madura Barat
Prajurit yang Menceritakan
Kematian Lesap
Prajurit itu tak tahu, siapa yang bakal
percaya padanya
Bahwa sebelum terbunuh dalam gegar amarah, ia mendengar Lesap mengungkap perasaan cintanya kepada bianglala
Cinta hitam bagai belantara, seperti menghabiskan:
*“Ibu, jika aku mati, hanyutkan jasadku ke sepanjang sungai di utara. Agar terbasuh hati ibu yang pernah jadi hitam. Sebab semua demi ibu, semua demi keluhuran, semua demi warna-warna yang pernah ibu ajarkan kepadaku.”
2018
* bagian yang diambil dari naskah drama “Jiwa Asmara” yang berkisah selir yang sia, karangan penulis
- Puisi-Puisi M. Helmy Prasetya - 5 April 2022
- Sajak-Sajak M. Helmy Prasetya - 14 September 2021
- Sajak-Sajak M. Helmy Prasetya - 18 September 2018