
Menunggu
Orang yang menunggu adalah ibu,
jari-jarinya tertambat
di banyaknya pintu otomatis dunia,
pikirannya seperti
ngengat serat telur yang terjepit hidup-hidup,
dan di tasnya tampaklah sebuah cermin
waktu yang lama berlalu oleh suatu ketika
teriak yang gembira di pepohonan apel,
lalu di rumah itu gulungan dan ulir benang itu sama-sama berbisik:
Apa yang terjadi pada kita?
Orang yang selalu menunggu adalah ibu,
dan takdir dari seribu hal adalah
jatuh yang tak terhindar.
Orang yang selalu menunggu adalah ibu,
mengecil terus mengecil,
memudar terus memudar
detik demi detik,
Hingga tuntas
tak ada yang melihatnya.
Lima Menit Setelah Serangan Udara
Di Pilsen,
Di Jalan Stasiun Dua Puluh Enam,
hingga Lantai Tiga perempuan itu memanjat
di loteng yang segalanya tertinggal sudah
dari rumah,
ia membuka pintunya
di atas langit,
berdiri di atas tepi yang menganga.
Dulu, di sinilah tempat
berakhirnya perang
Lalu
dengan hati-hati ia mengunci
agar orang lain tak mencuri
bintang Sirius
maupun Aldebaran
dari dapurnya,
kembali turun ke bawah
dan sendiri duduk
menunggu
demi rumah agar bangkit kembali
dan demi suami agar bangkit dari debu
dan demi tangan dan kaki anak-anaknya agar tertancap
kembali pada tempatnya.
Di paginya mereka menemukan si perempuan
diam membatu,
burung-burung pipit mematuk tangannya.
Pelabuhan
Sebab laut telah diukur
dan terantai pada bumi.
Lalu bumi diukur
Dan terantai pada laut.
Mereka mengeluarkan
derek, malaikat kurus,
mereka menghitung
raungan sirene janda,
mereka meramalkan
pelampung yang gugup dan resah,
mereka membuat garis
labirin dari rute dunia.
Mereka mendirikan
kapal-kapal Minotor.
Mereka menjelajahi lima benua.
Bumi telah diukur
dan terantai pada laut.
Dan laut telah diukur
lalu terantai pada bumi.
Yang tersisa hanya
rumah kecil di atas terusan itu.
Laki-laki yang berkata lembut,
mata perempuan itu bertemankan air mata.
Yang tersisa hanya lampu senja,
benua pada meja,
taplak meja, burung camar yang tak pergi menjauh.
Yang tersisa hanya
secangkir teh,
samudra terdalam di dunia.
Miroslav Holub adalah penyair dan ahli imunologi Ceko yang lahir pada tanggal 13 September 1923. Puisi-puisi di atas diterjemahkan dari buku Selected Poems – Miroslav Holub (1967) melalui versi bahasa Inggris Ian Milner dan George Theiner. Penerjemah versi Bahasa Indonesia adalah Eka Ugi Sutikno yang kini menjadi salah satu redaktur Buletin Tanpa Batas, anggota Kabe Gulbleg, dan aktif mengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang.
- Sajak-Sajak Miroslav Holub - 14 January 2020
Anonymous
Lahirnya 1923 tapi masih muda. Penyair memang awet muda ya….. Wkwkwkwkwkwk