Merariq
Untuk Inaq Penjual Kain Tenun di Tanjung Ann
Ini pantai paling indah milik kami.
Airnya tenang,
Lautnya hijau dan biru keputih-putihan
Konon laut kami sebenarnya transparan
Tapi warna langit dan awan
Memancar hingga ke dalam.
Kain kami adalah kain paling tabah
Bermotif Subhanalle
Pada teras rumah
Kayu songket mengapit pinggang kami yang sempit
Dan nasib adalah tenun yang tidak pernah bisa diselesaikan
Subhanalle, subhanalle katamu sambil menenun
dan menyebut tuhanmu
Gambar kain kami bergambar kesedihan
Cinta lama yang ditelan keindahan lautan
dan papan seluncur wisatawan
Juga bekas bibir kekasih yang memudar
diterpa tekanan udara angin Tanjung Aan
Subhanalle
2019
Gempa Jogja-Lombok
Ternyata kita bertemu lagi
Padahal aku kira hanyalah deja vu
Dalam dada lapangku
Kamp pengungsian dibangun
Seperti seusai peperangan
Getaran jantungku
Telah merobohkan sekolah dan perkantoran
Mengagetkan ibu-ibu yang menyusui anaknya
Bupati yang sedang memberi ceramah
di dalam mimbarnya
Juga sepasang kekasih yang sedang basah-basahnya
Kugali lagi fondasi pada diri
Pasir dan batu dipastikan masuk hingga ke dalam inti
Agar aku yakin
Apa yang telah ditegakkan
Tidak pernah runtuh kembali
Bersama debu dan ispa
Kepalaku mengenang yang terserak
Ingatan yang menempel akrab
Seperti pancaran gambar bintang pada langit-langit kamar
Di tempat baru
Aku kembali seperti tanah lapang yang dulu pernah ditinggali
2019
Bangsal-Gilitrawangan
Katamu,
Perjalanan dekat tak menjamin
datang dengan cepat
Di kejauhan
Kamu seperti tiang satelit yang meninggi
Tempat titik tujuan
akan diberhentikan
Dengan senyap sajak dan kapal kayu
Aku terapung bersama bayangan
yang hendak dilupakan
Seperti nasib sebuah kampung di Pemenang
setelah terterjang abrasi dan gempa lautan
Kuhayati tubuhmu seperti kemerdekaan tanpa batas
Tanah tak lagi bertuan
Sebab rumah-rumah telah kandas
Dengan rompi pelampung dan kacamata renang
Aku mengapung dalam dirimu
Lampu keselamatan kunyalakan
Namamu kuserukan
2019
Di Kota Asing
Aku suka berlama-lama di kota asing
meraup airnya untuk mencuci muka
mengusap gambar masa lalu kita yang
perlu diperbaiki.
Aku suka memandang gedung
dan menara pemancar
dari atas ketinggian pada sebalik kaca
hotel murah yang kita sewa.
Aku tergoda lampu-lampu
Polusi
Dan bangun pagi
Setangkup roti selai bagi sarapan kita hangus
Menguarkan harum percumbuan
yang berararoma gaji di bawah minimum
bagi pekerja restorasi
Cangkir kopimu mengepulkan asap pembakaran hutan
Perih nasib buruh tak punya ladang
di pedalaman Sumatera.
Kita berpelukan
mengambil gambar terbaik
di atas ranjang dan selimut tebal
Menertawai nasib yang tak lebih baik dari penjaga pintu
yang selalu mengucapkan kata selamat datang
bagi pedih dan kebahagiaan.
2019
Padang Mangateh
Sapi-sapi dilepas dari kandang
Sekawanan lebah berdesis melewati pohonan
Rumputan tumbuh tinggi dan rendah
Mulut pemamah biak itu terus mengunyah
Setetes embun menitik pada pagar karatan
Kami meringkuk kedinginan makan goreng pisang
Di atas mobil pinjaman
Hamparan hijau pinggang Gunung Sago
Seperti matras melengkung
Berdenyut dalam gua rahasia perawan desa
Seseorang mengolokku sebagai penyair mooi indie
Pencinta hujan dan keindahan
Dia lalu mengangkat segelas kopi kawa
Pura-pura mabuk bersama lambat genta sapi
Sepatu yang menginjak tahi
Dan air mata para kaum yang tidak memiliki tanah ulayat
Dataran membentang
Kawat besi merentang di dalam diri
Pohonan tinggi
Angan meninggi
Dalam selokan
Air gunung mengalir ke lubuk rasa sepi
2019
- Sajak-Sajak Mutia Sukma - 18 October 2022
- Sajak-Sajak Mutia Sukma - 13 October 2020
- Sajak-Sajak Mutia Sukma; Sungai Malaka - 10 September 2019
rizky akmalsyah
‘Meraqiq’ wonderful banget! Pokoknya suka banget…. subhanalle!!! Good Job sista:)
Susi Rida Simamora
Puisi yang nikmat.
Briii
Wow, masterpiece!
Sejarah Kita
puisi yang bagus
Nia
Wah bagus juga