Menunggui Ayah
untuk vy
tubuh yang rapuh
siapakah berbaring
ingin sandarkan jiwa
di sisimu?
kau bagi kelam mimpi
kisah di tiap lipatan sendi:
tanda di wajah, bulan separuh
dia—cermin diri itu
memantulkan bayangmu
dan karam bersamanya
dekapan hampa
tak jemu kalian ulangi
mengandaikan diri berbagi
kekasih yang sama:
mencuri dan menyelipkannya
jadi milik masing-masing
acuh akan ayunan tangan waktu
yang membelai tilam kelambu
tanpa pelukan bunda
ketika demam melanda
bagaimana dapat redakan
batuk tengah malam
yang berlarian
bersusulan
bagai sekumpulan rusa dalam rimba
cemas sembunyi dari intaian musim badai
napas tersengal di sela semak—
duri suaramu sendiri
tubuhmu kelopak bunga
yang menaung hidup pada inang mati
sementara dunia maha luas
dan manusia bagai rumput
berbiak dan liar
tumbuh dan merapuh
2019
Surat Cinta untuk Jakarta
di antara tanda baca
koma dan jeda
alinea terakhir sebelum salam perpisahan
aku ingin bicara kepadamu:
kau beri aku nama
tanpa cerita yang bisa dipercaya
sekian kelana melampaui bulan
sekian tamat sepanjang tahun
kini sia-sia dalam sebaris kalimat
penutup sebuah pesan, sebuah sajak cinta
yang kau ragukan kebenarannya
bagaimana kau tahu siapa
dari samar bayangannya?
di suatu kota asing, tempatmu sekarang
bunga seberang jalan, halte di simpangan
pagi menjalin tidur
dalam kuntum musim semi
kepungan waktu—
jangan kau hindari, jangan lari
bacalah segugusan isyarat, laku sederhana
timbang satu kata, jutaan peristiwa
himpunlah selapis angan tak nyata
yang kau yakini begitu murni
lalu kirimkan dengan gembira
seperti tukang pos yang mengantarkan
suratnya yang pertama
atau pembuat roti
menatap ranumnya lempung gandum
yang kelak mengenyangkan lapar si miskin
kau tahu surat ini akan sampai kepadanya
dipahami atau tak; mengapa mesti cemas
masuklah ke dalam hujan
hatimu kuyup
berdiang pada unggun harap
dengarkan langkah kakimu
di tangga stasiun bawah tanah
tanpa peta mau ke mana
sesatkan diri di lorong pemukiman
kemudian seperti kucing liar
tantanglah hidup dengan sembilan nyawa
dalam genggaman!
2019
Malam ke Deli
Ingin kau angankan
bulan bagai kancing baju kekasih
yang malu-malu ditanggalkan
cahayanya,
ranum tubuh yang rekah meredup
di sela dahan-dahan pohonan
Sedang dalam bus yang melaju
antara sigli dan seulawah
kau kian cemas dibayangi masa silam
jadi pembawa pesan
yang tak sanggup kabarkan berita:
Di kampung puing pedalaman
ada seorang ibu
seorang gadis
seorang pecinta
tak berdaya, tak berharga
pada batas hidup dan maut
Ingin kau ceritakan
getir tatap mata mereka
bukan saidjah bukan adinda
bukan dalam cerita yang dibaca semasa sekolah
tapi pada kenyataan yang tak henti
mengulangi kisahannya sendiri
Selintas pasi di bibirmu
bekas pagutan kecemasan
dalam benakmu tersisa
gema doa kala pagi
—sehela langkah dari pos perbatasan
tubuh telanjang ditatap bagai rusa buruan
luka lama di lengan, mana surat jalan?
dan di kelam hutan burung kedasih mengalun
mengekalkan sulur pohon leluhur
yang pupus hangus tinggal bayang
Malam ke deli
malam-malam yang lewat
bulan itu, kau kenangkan:
utuh sempurna
masih menunggu tibanya gerhana
2019
Utrecht, 2015
Membuka potret lama, seakan lagi aku di kota ini
dan mendengar kembali ucap pemandu wisata kami:
“Di sini iman seorang ibu diuji
berdiri tengadah ke langit dan orang-orang menguburnya
sebagai pagar dalam biara.”
Dekat simpang sana kusentuh dinding penuh lumut,
“Di abad kesebelas, seorang ayah yang gelisah
atas pesta riuh lantai bawah
terjun dari menara
membujuk diri jadi merpati tanda perdamaian tiada kasih.”
Dua puluh depa berjalan, kujumpai:
lorong buruh pabrik anggur, pintu rahasia pinggir kanal
berulang mengenang janji pagi yang ingkar,
“Lihatlah di seberang, taman bunga dara perawan
dipetik sang waktu yang tak ingin lagi abadi.”
Menyaksikan kapel di atas bukit
buah derma upah wanita penghibur
langganan kelasi tanah jauh:
sebagian mungkin pulang dari hindia
atau benua temuan baru
yang perlahan melinang pada peta
dengan wangi lapuk cengkeh dan lada
Kota-kota bagai rumah duka
Satu manusia melipur tanpa apa
Satu bayang manusia mewujud
lalu dilupa
Sementara tanya dan langkah
saling menyusul silang arah
Adakah nun depan stasiun
di akhir wisata, telah kutitipkan
sedikit tip tanda jasa?
Aku tak ingat. Sungguh aku tak ingat.
2019
- Sajak-Sajak Ni Made Purnama - 31 January 2023
- Sajak-Sajak Ni Made Purnama Sari; Surat Cinta untuk Jakarta - 5 November 2019
Novita
:’)
Vy Patiah
sukses jaya Kak Made, terus berkarya🌻🍀
Akhmad Fauzi
Mantap
Huget Ardnac
Surat Cinta untuk Jakarta sangat berkesan sekali… sayang …
Mario
Bagus banget surat cinta untuk jakarta