PELAJARAN MENDAKI, 1
Kaki adalah senjata yang kami punyai. Sedang musuhnya, adalah pejal lembah dan terjal kawah di perut pohon yang dilalui tahun. Dan Ijen, menjadi salah satu jalur awal pembelajaran kita mendaki puncak persahabatan. Menabuh gigil gunung subuh itu dengan genderang perang –atau pawai sebenarnya?
Puncak, sesekali tengoklah kembali takluk bambu di lengan persawahan yang kita lalui semalam. Tubuh tanah yang turut luruh mengiringnya, memaksa kita turun dari kantuk. Menyingkirkan suruk pasir dari jalanan waktu. Rupanya, tak hanya kerikil dan batu-batu yang terburai, kerap jalinan tangan kita pun tersingkir. Napas yang habis, dahaga, gigil udara, dan lautan sulfur. Mereka menembaki raga kita dari udara.
Ya, meski di ujung pendakian tersebut tak kita jumpai liuk blue fire (yang jadi pembicaraan para turis), tapi wajah kita merekah. Sebab persahabatan bukanlah soal menaklukkan puncak, tapi perjalanan itu sendiri.
Kawan, siapkah kau untuk pendakian berikutnya?
Probolinggo, 18 Maret 2018
PELAJARAN MENDAKI, 2
“Kari sak mene, Mbak Ran!*)” katamu sambil membetuk ruang antara ibu jari dan telunjuk. Ruang yang sama tercipta pula di batas bibirmu.
Ya, sebelumnya kita sapa rerumputan, kita sapa gemintang (yang tersenyum di atas Kumbolo), kita pun menyapa aliran air di Sumber Mani; di antara geretak Panthera tigris javanica. Bidang yang menjadi batas ulang tahunku. Lalu, kau tiba-tiba seperti lenyap dari radius persahabatan kami.
Kemunculanmu kembali, pagi itu, memaksa kami berhadapan dengan bau keringat para wartawan, kerut dahi petugas RS dan polisi, bau aspal jalanan, sengat formalin di kamar mayat dan sebuah makam tanpa nama.
Mahameru bukan lagi soal menaklukkan puncak, tapi keras hati kami saat tak dapat memaafkan orang-orang yang membuatmu celaka. Sebab maaf, kata Mama, adalah soal kesiapan hati.
Kukira tahun ini (dan tahun-tahun mendatang) kita masih akan kembali ke sana. Menunaikan nazar yang pernah terucap. Kari sak mene, Mbak Ran. Mendaki bukit pasir di hadapan kita, yang tak lagi kita taklukkan dengan ego, tapi cinta.
Probolinggo, 30 Januari 2018.
*) Tinggal sedikit lagi, Kak Ran!
PELAJARAN MENDAKI, 3
Naik, naiklah, sebab sejatinya hal tersulit dari pendakian bukanlah tentang usaha kita untuk mencapai puncak, tapi saat turun. Melepaskan segalanya. Meninggalkan apa yang sudah kita miliki. Pulang ke rumah dengan hanya membawa kenang dan sampah pribadi adalah hal yang kutahu paling menyakitkan.
Terpeleset, jatuh dan terguling adalah sahabat terkarib. Tubuh kita lecet, penuh luka. Tapi tak mengapa, sebab kita akan selalu belajar dari hal ini. Untuk kembali bangkit, untuk berdiri dan tumbuh.
Karena itu, selagi kau mendaki, selagi bersama, nikmatilah kebersamaan itu. Meski kadang kau merasa frustasi pada ujung pengembaraan persahabatan kalian yang tak kunjung terlihat itu–yang berakhir pada pernikahan atau perpisahan. Yang seperti kubilang, pendakian bukanlah soal menaklukkan puncak, tapi ego. Tahu kapan harus berhenti, pulang, atau kembali melanjutkan perjalanan bersama kalian.
Ya, di tengah perjalanan, badai pun menghantui. Kau bisa saja tumbang seperti pohon-pohon yang menyusahkan para pendaki. Atau rasa lapar harimau jawa. Tapi, yang lebih hantu adalah perkataan dari orang-orang sebelum kamu. Pengalaman-pengalaman gagal mereka yang diwariskan kepadamu. Jangan kau dengar itu. Namun…
Tetaplah berhati-hati.
Probolinggo, 30 Januari 20
- SAJAK-SAJAK STEBBY JULIONATAN - 10 December 2019
R Subandriya
❤️❤️❤️