Angina Pektoris
Jika separuh hatiku di sini, dokter
separuhnya di China.
Bersama tentara
mengalir menuju Sungai Kuning.
Lalu, setiap fajar, dokter,
setiap fajar hatiku
tertembak di Yunani.
Dan setiap malam, dokter,
ketika di sini para pesakitan terkantuk-kantuk
orang-orang dikeluarkan dari rumah sakit di malam buta
hatiku di Camlica
di rumah tua nan ringkih.
Kemudian, setelah sepuluh tahun
yang dapat kusuguhkan kepada rakyatku yang miskin
hanya ada sebiji apel di tanganku, dokter
sebiji apel merah:
hatiku….
Bukan arteriosklerosis, nikotin, atau penjara
untuk itu, dokter, untuk itu
aku terkena angina pektoris…
Aku melihat malam dari dinding besi
dan meski ada tekanan di rangka dadaku
bersama bintang paling jauh hatiku menghantam…
[April 1948]
Dongeng
Kami berdiri di hulu sungai
aku bersama pohon platan.
Bayangan kami terpancar di sana
bayanganku dan pohon platan.
Cahaya air memantul kepada kami,
kepada pohon platan dan aku.
Kami berdiri di hulu sungai
pohon platan, aku dan kucing.
Bayangan kami terpancar di sana
bayangan platan, aku dan kucing.
Cahaya air memantul kepada kami
kepada pohon platan, aku dan kucing.
Kami berdiri di hulu sungai
platan, aku, kucing dan matahari.
Bayangan kami terpancar di sana
bayangan platan, aku, kucing dan matahari.
Cahaya air memantul kepada kami
kepada platan, aku, kucing dan matahari.
Kami berdiri di hulu sungai
platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.
Bayangan kami terpancar di sana,
bayangan platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.
Cahaya air memantul kepada kami
kepada platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.
Kami berdiri di hulu sungai
pertama-tama kucing pergi
bayangannya hilang di sana.
Kemudian aku menyusul pergi
bayanganku hilang di sana.
Lalu pohon platan juga pergi
bayangannya hilang di sana.
Dan air pun pergi
tersisa matahari,
kemudian ia pun pergi.
Kami berdiri di hulu sungai
platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.
Air sejuk,
platan perkasa,
aku menulis puisi,
kucing tertidur,
matahari hangat,
kami bersyukur masih hidup.
Cahaya air memantul kepada kami
kepada platan, aku, kucing, matahari, dan hidup kita.
[7 Maaret 1958, Warsaw]
Laut Malam Itu
Tiba-tiba angin bertiup seperti kehidupan
Kegelapan membentang begitu dahsyat
Malam ini nyeri hidup mengerami lautan
Kematian abadi begitu dalam menyayat
Napas ini adalah keagungan ilahi
Mengisi lorong-korong labirin tanpa akhir
Mengingatkan puncak suara kehidupan ini
Di pantai ombak-ombak menampar getir
Masjid Ağa
Sebelumnya aku tak pernah merasakan sedalam ini
Oh, masjid yang malang, ketika kulihat begini
Imanku tersentak seperti seorang bayi terlunta;
Nama Allah kukenang lagi ke lubuk hati terdalam.
Oh, betapa asingnya engkau di jalan-jalan itu!
Di jalan-jalan seperti itu, seorang ibu berkorban,
Sementara anaknya duduk di kafe-kafe temaram
Begitulah di jalan-jalan itu, trotoar berlumpur.
Bendera paling kotor memancarkan bayangan,
Di atasnya suara-suara pelacur membahana.
Di sini semua mata terhubung tangan hitam,
Di kedalaman dadamu jiwa besarmu menangis.
Aku merasa semua itu seperti lukaku sendiri,
Aku paham ruhmu memancarkan azab di sini
Di lingkungan tak beriman ini engkau sendiri
Engkau melipur lara andai bisa melihat jiwaku!
Duhai jiwa masjid: tunjukkan mukjizat kepada kami
Dari tempat suci yang tak tergapai oleh tangan di sini
Suatu hari jika tidak hancur oleh pedang Turki sendiri
Engkau akan abadi selamanya dari api-api langit!
[1921]
Nazim Hikmet, penyair modern Turki ini lahir di Selanik (Thessaloniki dalam Yunani modern) pada 17 Januari 1902 dan meninggal di Moskow 3 Juni 1963. Hidupnya dianggap menjadi ancaman bagi pemerintahan Turki di awal-awal era republik. 15 tahun harus mendekam di penjara hingga akhirnya menjadi eksil di Rusia dan meninggal di Negeri Tirai Besi itu. Hikmet dikenal sebagai penyair komunis romantis, mempunyai kemampuan teknik menulis puisi dengan ungkapan dan pilihan kata yang kaya. Puisi di atas diterjemahkan dari basaha Turki oleh Bernando J. Sujibto.
- Muna Mencari Surga - 4 December 2020
- Potensi Menjual Karya Sastra Kita - 18 July 2019
- Sajak-Sajak TerjemahanKarya Nazim Hikmet - 2 October 2018
RK Awan
Tulisan yang bagus min. 🙂 Share juga tulisan saya tentang review buku terjemahan Nazim Hikmet berjudul Raksasa Bermata Biru: https://rk-awan.blogspot.com/2019/06/belok-kiri-belok-kanan-menelusuri-nazim.html