Sajak-Sajak Terjemahan Karya Nazim Hikmet

Angina Pektoris

 

 

 

Jika separuh hatiku di sini, dokter

separuhnya di China.

Bersama tentara

mengalir menuju Sungai Kuning.

 

Lalu, setiap fajar, dokter,

setiap fajar hatiku

tertembak di Yunani.

 

Dan setiap malam, dokter,

ketika di sini para pesakitan terkantuk-kantuk

orang-orang dikeluarkan dari rumah sakit di malam buta

hatiku di Camlica

di rumah tua nan ringkih.

 

Kemudian, setelah sepuluh tahun

yang dapat kusuguhkan kepada rakyatku yang miskin

hanya ada sebiji apel di tanganku, dokter

sebiji apel merah:

hatiku….

 

Bukan arteriosklerosis, nikotin, atau penjara

untuk itu, dokter, untuk itu

aku terkena angina pektoris…

 

Aku melihat malam dari dinding besi

dan meski ada tekanan di rangka dadaku

bersama bintang paling jauh hatiku menghantam…

 

 

 

[April 1948]

 

 

Dongeng

 

 

Kami berdiri di hulu sungai

aku bersama pohon platan.

Bayangan kami terpancar di sana
bayanganku dan pohon platan.

Cahaya air memantul kepada kami,

kepada pohon platan dan aku.

 

Kami berdiri di hulu sungai

pohon platan, aku dan kucing.

Bayangan kami terpancar di sana
bayangan platan, aku dan kucing.

Cahaya air memantul kepada kami

kepada pohon platan, aku dan kucing.

 

Kami berdiri di hulu sungai

platan, aku, kucing dan matahari.

Bayangan kami terpancar di sana

bayangan platan, aku, kucing dan matahari.

Cahaya air memantul kepada kami

kepada platan, aku, kucing dan matahari.

 

Kami berdiri di hulu sungai

platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.

Bayangan kami terpancar di sana,

bayangan platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.

Cahaya air memantul kepada kami

kepada platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.

 

Kami berdiri di hulu sungai

pertama-tama kucing pergi

bayangannya hilang di sana.

Kemudian aku menyusul pergi

bayanganku hilang di sana.

Lalu pohon platan juga pergi

bayangannya hilang di sana.

Dan air pun pergi

tersisa matahari,

kemudian ia pun pergi.

 

 

 

Kami berdiri di hulu sungai

platan, aku, kucing, matahari dan hidup kita.

Air sejuk,

platan perkasa,

aku menulis puisi,

kucing tertidur,

matahari hangat,

kami bersyukur masih hidup.

Cahaya air memantul kepada kami

kepada platan, aku, kucing, matahari, dan hidup kita.

 

 

 

 

[7 Maaret 1958, Warsaw]

 

 

 

Laut Malam Itu

 

 

 

Tiba-tiba angin bertiup seperti kehidupan

Kegelapan membentang begitu dahsyat

Malam ini nyeri  hidup mengerami lautan

Kematian abadi begitu dalam menyayat

 

Napas ini adalah keagungan ilahi

Mengisi lorong-korong labirin tanpa akhir

Mengingatkan puncak suara kehidupan ini

Di pantai ombak-ombak menampar getir

 

 

 

Masjid Ağa

 

 

 

Sebelumnya aku tak pernah merasakan sedalam ini

Oh, masjid yang malang, ketika kulihat begini

Imanku tersentak seperti seorang bayi terlunta;

Nama Allah kukenang lagi ke lubuk hati terdalam.

 

Oh, betapa asingnya engkau di jalan-jalan itu!

Di jalan-jalan seperti itu, seorang ibu berkorban,

Sementara anaknya duduk di kafe-kafe temaram

Begitulah di jalan-jalan itu, trotoar berlumpur.

 

Bendera paling kotor memancarkan bayangan,

Di atasnya suara-suara pelacur membahana.

Di sini semua mata terhubung tangan hitam,

Di kedalaman dadamu jiwa besarmu menangis.

 

Aku merasa semua itu seperti lukaku sendiri,

Aku paham ruhmu memancarkan azab di sini

Di lingkungan tak beriman ini engkau sendiri

Engkau melipur lara andai bisa melihat jiwaku!

 

Duhai jiwa masjid: tunjukkan mukjizat kepada kami

Dari tempat suci yang tak tergapai oleh tangan di sini

Suatu hari jika tidak hancur oleh pedang Turki sendiri

Engkau akan abadi selamanya dari api-api langit!

 

 

 

[1921]

 

 

Nazim Hikmet, penyair modern Turki ini lahir di Selanik (Thessaloniki dalam Yunani modern) pada 17 Januari 1902 dan meninggal di Moskow 3 Juni 1963. Hidupnya dianggap menjadi ancaman bagi pemerintahan Turki di awal-awal era republik. 15 tahun  harus mendekam di penjara hingga akhirnya menjadi eksil di Rusia dan meninggal di Negeri Tirai Besi itu. Hikmet dikenal sebagai penyair komunis romantis, mempunyai kemampuan teknik menulis puisi dengan ungkapan dan pilihan kata yang kaya. Puisi di atas diterjemahkan dari basaha Turki oleh Bernando J. Sujibto.

Bernando J. Sujibto
Latest posts by Bernando J. Sujibto (see all)

Comments

  1. RK Awan Reply

    Tulisan yang bagus min. 🙂 Share juga tulisan saya tentang review buku terjemahan Nazim Hikmet berjudul Raksasa Bermata Biru: https://rk-awan.blogspot.com/2019/06/belok-kiri-belok-kanan-menelusuri-nazim.html

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!