Aku Datang
aku datang, aku datang…
ke dalam dekapanmu
ombak mengalun
menyerahkan diri pada pantai
pulau demi pulau kujelajahi
memburu semesta jiwamu
bunga-bunga karang, ikan-ikan cahaya,
cangkang kerang, dan elang yang sendiri
mengiringi pelayaranku
dari benua ke benua
dari kelahiran ke kelahiran
serupa kaum lanun
merompak kapal-kapal
yang hilang arah
aku resah membajak jiwamu
berbekal gelang akar bahar
dan kalung manik-manik
kau adalah kegaiban
para tukang sihir dan ahli mistik pun
tak kuasa menjamahmu
peta makin tak terbaca
arah angin tak lagi berkawan
pada lautan kupasrahkan diri
memaknai aroma garam
berbaur harum rambutmu
aku datang, aku datang
ke dalam dekapanmu
o, samudera rahasia
kuburan terakhirku…
Menyusuri Malam Braga
adakah yang paham
di mana waktu menepi
sebelum kenangan menyepi
di sisa-sisa jejak kita
lampu-lampu kota
dan langit Braga yang menghitam
di atap bangunan-bangunan Belanda
seakan menakar kisah silam
yang sembunyi di kedalaman jiwamu
tembok-tembok kota kelabu
di antara graffiti dan tanda hati
bayanganmu makin muram
lorong-lorong ngilu menunggu
malam pun buta
pelacur merayu udara dingin
pengemis dan gelandangan tertidur
tukang parkir bercengkerama
dengan lintingan tembakau
malam pun tuli
kau menari salsa sendirian
di antara sisa sepi
di trotoar jalanan berembun
kita tak pernah paham
di mana waktu menepi
apakah di hampar puisi
ataukah di ufuk matamu
Serenade Pantai
buih ombak mendesah
di ujung jemari kakimu
sampan-sampan
tampak murung dan kelam
lelampu di kejauhan tatap mata
diam-diam mencuri
kemilau cahaya dari jiwamu
yang serupa mercusuar
menggoda para nakhoda
helai-helai daun waru menggugurkan diri
cemburu pada rambutmu yang tergerai
di tengah resah angin pantai
di sepanjang malam
kelam beringsut perlahan
kau menyusuri kenang demi kenang
hingga ujung penghabisan kata
aku cemburu pada pita di rambutmu
aku cemburu pada gincu di manis bibirmu
aku cemburu pada goresan hitam di garis matamu
aku cemburu pada pupur tipis di wajahmu
aku cemburu pada bintang-bintang
yang memberkati ubun-ubunmu dengan kilau cahaya
sekaleng bir belum tandas
sebutir pasir tersentuh ujung lidahku
kau tertawa
sembari mencecap segetir kehidupan
aku terdiam
menatap kelam lautan
mengurai masa silam
menerka masa depan
di kedalaman matamu
namun, belum juga
kutemukan jawaban
Interlude Perjalanan
benih-benih cahaya membuncah
sejauh perjalanan menujumu
sekilas kenang demi kenang
memaknai hidup dari kota ke kota
pepohonan berkilau di sepuh purnama
takada yang mampu menghentikan rindu
yang luruh di setiap pertemuan
perjalanan itu
menyatu di setiap alur nadimu
dan benih-benih cahaya
menuntun jiwamu
menujuku…
Di Buahbatu, Bandung
di Buahbatu kutemukan diriku
menyapih jejak silam
berceloteh anggur merah
mereguk malam hingga sumsum
di Buahbatu
para sahabat menggurat namaku
di tembok-tembok kafe kampus
seakan mengekalkan kenangan
dalam gemuruh kota
di Buahbatu
petikan kecapi dan nyanyian perkusi
mengiringi jiwaku
silaturahmi dengan jiwamu
di Buahbatu
akik, anggur merah, arak
dan wajah Tuhan yang pucat
merasuki malam laknat
di Buahbatu
waktu seperti beludru
menghampar lembut rindu
pertemuan…
Selat Bali
di atas kapal usang ini
kuserahkan diri
pada selat yang sempit
ombak tampak ramah
angin serasa hangat
di tepi gelada kaku berdiri
menatap langit lazuardi
bocah-bocah penyelam
yang tubuhnya selegam kehidupan
berebut keping-keping uang logam
yang dilemparkan ke dalam lautan
ketangkasan mereka adalah hiburan
bagi penumpang yang cemas
seorang preman menawariku jam tangan
waktu senantiasa berdetik dalam jantungku
lagu dangdut bajakan
mengalun sendu
tak mampu kutahan rindu
daratan Gilimanuk makin samar
kau entah di mana
menyeberangi selat
rambutmu masih terasa
menyentuh pundakku
dan lagu dangdut itu
jadi kenangan
yang makin menjauh
diseret ombak
- Sajak-Sajak Wayan Jengki Sunarta (Bali); Interlude Perjalanan - 12 April 2016