Indonesianis yang Mati Menjelang Gerimis
wajahku kemarau yang berpadu
daun musim gugur
pucat di ruang berkarat, gerah di lorong sejarah
riang menghilang sakit mengimpit
bekas kepergian tilas jajahan
terdiam dalam kepalaku
menjelma buku
bersampul karangan bunga
dan ucapan pelayat: kematianku persimpangan
liang kuburanku mendua di antara:
di sini dan di sana
aku menatap ke barat
Ranting-ranting musim dingin
memanggilku pulang.
memandang ke timur
gunung dan hutan lindung
memintaku merenung
dalam peti matiku, kesedihan menjelma kafan
membungkam percakapan. Tinggal tulisan-tulisanku
bangkit di bawah langit muram
mengundang kerumunan
Malang, Desember 2019
Menjumpai Max Havelaar Di Lebak
tak ada jejakmu
di ruang tunggu stasiun Lebak
hanya halaman kusam novel
menuntunku menuju pintu
bayangmu terhapus asap
dari cerobong kereta
pembawa luka bumiputra
engkau menghilang
mengubur malu
mendekap arwah Saidjah dan Adinda
yang gentayangan di ladang
sepanjang rel berderit
penuh dendam membatu
kau berpura-pura gagah
di sampul muka
tapi batinmu basah air mata
kau hanya mengigau
tak pernah menghalau
peluru dari kepala bangsamu
bibirmu salju
beku di musim dingin
hatimu tulip
tumbuh di taman ratu
tidak di ladang kopi
dan hati para pribumi
Lebak Banten, Agustus 2019
Nisan Kampung Halaman
seekor burung menerbangkan murung
memanggul pesan mematuki ingatan
mencari-cari jalan pulang
kedatangannya serupa bayang-bayang
berkejaran di rahim kampung halaman
tenggelam di sungai kenangan
terseret ke ujung muara
penuh liang-liang
berisi tulang belulang
rindu sekarat di atas jembatan
pilar-pilarnya menyimpan bisikan:
yang tersisa hanya penantian
nama-nama nyaris luntur
digerus redup cahaya umur
jari-jari mengajak menepi
tapi kampung telah terkubur
dalam mata yang lamur
Malang-Yogya, November 2019
Rumah Seorang Penyintas
rumahmu tanpa garis batas,
kuburan air mata dan trauma
beratap angkasa berpintu masa lalu
beralamat di pinggiran kalbu
gugusan luka dan stigma
terpahat di beranda dan jendela
sisa amarah tumpah ke pipa besi berkarat
mengambang di selokan mampat
kau temukan kenangan di cermin kamar
menjelma burung bersayap patah
tergolek di kurungan tanpa minuman
memanggilmu setiap malam
anak-anakmu lenyap di malam senyap
saat segala ancaman mendekat
tak ada dewa penyelamat
belas kasihan hanya nyanyian
di kursi ruang tamu lusuh
sinar mengaburkan teman dan musuh,
kabut bercerita tentang rintih dan mendung
berulang-ulang tanpa senandung
Kuala Lumpur-Malang, 2018-2019
Penutur Asing di Kelas Hening
mulutku mengunyah biji benih
yang tumbuh namun nyaris terbunuh
ejaan-ejaan negeriku yang jauh
pitutur nenek moyang mengerang
fonem dan morfem mengejang
dalam tenggorokanku
di kelas berdinding kertas asing
anak-anak berseragam berbisik
dari bibir mereka yang merekah
aku menemukan jejak bahasa ibu
terkulai lemas di ujung lidah
penuh istilah antah-berantah
kosakata-kosakata berhamburan
berdesakan di bandara,
terminal, stasiun, pelabuhan
mengantarkan anak-anak
menuju kota-kota riuh
penuh bahasa tubuh
Malang, Februari 2019
Muhammad Alif
Mantap puisinya
Restu Iswara
Bagus sangat puisinya.
Istiqomah
Indah sekali puisinya. Bisa menjadi inspirasi belajar dalam menciptakan puisi yang lebih berbobot. Semangat.
Asyari Julia
Puisinya indah, saya terhanyut ketika membacanya.
Nuzula Nailul Faiz
Suka yang Max Havelaar, menarik secara ide walau diksinya sangat sederhana
Syamsul
mantap, suka.
Salamudin
Aku suka semua puisi mas,aku pernah mencoba menulis puisi aku tapi begitu aku mulai masuk kerimbanya seketika aku tersesat dan aku trus coba sampai sekarang aku tak pernah sampai ditujuan,,,,
julia
Suka sekali dgn puisi2 ini. Pak Yus produktif banget nulis puisi. Bagaimana bisa menulis puisi panjang namun tetap 1 topik sambil bermain kata-kata?
Salma Ameliawati
Keren,bermakna sekali