Lagu Orang Buangan
Betapa lembut kau tempatkan hidupku
ke dalam bahaya:
ke tahta sebuah istana di mana raja dan ratunya
seketika menjelma jadi hamba sahaya;
ke senyap mulut goa di mana aku
terpisah jauh dari jantung persoalan
umat manusia.
Betapa lembut kau tempatkan hidupku
ke dalam bahaya:
ke debar sebuah samudera
di mana ombak dan badainya mengembuskan
aneka maut dan metafora;
ke gelap rimba raya
di mana binatang-binatangnya buas
mengajariku hidup dengan sekaligus tanpa
macam-macam sopan santun
dan tata krama.
Sungguh betapa lembut kau tempatkan hidupku
ke dalam bahaya.
Jemarimu perkasa menjinjing jiwaku yang berontak
ke mana pun engkau suka.
Aku berteriak dan merana.
Berteriak dan merana.
Hingga lembah demi lembah memantulkan suaraku
sebagai lagu sekaligus doa-doa tulus nan sederhana.
Lembah demi lembah memantulkan suaraku
sebagai lagu sekaligus doa-doa tulus nan sederhana.
Sungguh lembut kau tempatkan hidupku
ke dalam bahaya. Aku pun terpukau.
Jiwaku tersenyum diasah dan diasuh sebilah pisau.
2017
Meditasi dari Desa
1/
Di bawah balutan kabut yang biru
membayang sebuah dunia yang ringan
namun penuh pesona, yakni hatiku.
Meski langit dan lanskapnya
demikian samar dan ragu-ragu
jalan-jalannya rusak dan terjal
bahkan penuh dengan hantu-hantu
tak ada gejolak apa pun di situ.
Selain keriangan dan rasa syukur.
Segala yang kupandang begitu bening
seperti cerlang mata ibu.
Benda-benda yang kusentuh seketika hening
seperti halnya kening kekasih
menanti kecupan tulus
bibir jiwaku.
Adapun seluruh derita
warisan hidupku yang pertama
pelan-pelan luruh
manakala sebuah makam
kemegahan yang akan datang
tersingkap menyambutku
dengan bentangan rindunya
yang telanjang.
2/
Aku berutang pada orang-orang polos
dari desa
yang mengayunkan tangan dan kakinya
menghadapi segala persoalan
dengan penuh sukacita.
Aku berutang pada orang-orang polos
dari desa
yang memahami hidup lewat laku
bukan lewat kemegahan buku
maupun bunga indah kata-kata.
Aku berutang pada orang-orang polos
dari desa
yang menangkap suara demi suara
getar doa alam semesta
lewat semangat dan ketulusan
pada kerja.
Ya, orang-orang polos dari desa:
sosok-sosok yang hilang
dalam wacana ibu kota
bersama mereka
di bawah keheningan
yang mengagumkan
di sela lelehan kabut biru
nan melenakan
kuresapkan aneka lagu
dan puji-pujian
ke dalam saripati
hidup dan mati.
Ricik air dan percik api.
Abu dan tulang belulang
sajak ini.
Suatu pagi
saat unggas dan burung-burung pergi
mencari biji-bijian
di celah jemari dan doa-doaku
yang merana
aku berdoa
lewat mulut orang-orang
dari desa.
2017
Di Teras Rumah Mama
Sekian pohon puring
hijau
merah
dan kuning
berselang-seling
dengan jambu dan talas
jeruk nipis
samar siraman cahaya lampu
gelombang cinta
serta suara bising
seorang tetangga.
Dan dengan setumpuk buku Rendra
aku malah terlihat asing
duduk di teras 2×4 meter ini.
Ada sebuah warung
di tengah kampung
ribut melulu.
Ada dua kolam ikan
dibelah setapak jalan
keruh selalu.
Lalu sebuah jamban
temboknya rengkah dan berlumut
puluhan tahun menyalurkan kotoran
sekaligus kebaikan
bagi dan lewat pantat
orang-orang.
Malam pun tengah dibangun
dari suara petasan
sisa lebaran.
Tak ada bulan dan bintang-bintang.
Tak ada lagi sayup orang mengaji
menenangkan.
Angin kering.
Langit pun merah
dan hitam.
Pikiran dan cakrawala
hanya merah.
Dan hitam.
Bagai lembar-lembar jiwa
seorang pendendam
sebelum hari lebaran.
Kusimak percakapan tetangga
bagai menyimak kabar terbaru
dari Jakarta: jengkel dan membosankan.
Penuh bangkai dan kemarahan.
(Suara bising tetangga
akhirnya bikin teras rumah mama
kedatangan anjing
dan kata-kata umpatan lainnya).
Petikan gitar mengalun, ragu-ragu
dari kerumunan pemuda tanggung
di seberangku.
Suara sumbang
demikian nyaring
memenuhi batinku.
Di bawah samar siraman cahaya lampu
di antara sejumlah tanaman berselang-seling
dengan pagar bambu
sekian pohon puring
hijau
merah
dan kuning
nyatanya, tampak lebih terusik ketimbang diriku.
2017
Suasana
1/
Kumasuki sebuah kafe—pesan kopi hitam
campur jahe. Musik berdentaman.
Syahdu. Dan musik masih terus
berdentaman—menghalau rasa risau
orang hilang pengharapan.
Kutunggu seseorang yang pernah kucinta
sedemikian rupa.
Setelah sekian lama, kami sepakat
bikin jumpa.
Aneh, sungguh sulit kuingat wajahnya.
Betapa gelap kucari-cari sinar cinta
yang dengan penuh kebanggaan
pernah kuberikan kepadanya.
Menghirup kopi hangat. Baca satu puisi klasik Cina
“Seperti Sekuntum Bunga”
menjadi penyair membuat diriku
mendadak merasa bijak dan bahagia.
Aih, alangkah bahagia
merasa bijak dan bahagia!
Hati pun berjingkrak
menumbuhkan sekuntum bunga.
Meski bunga duka
yang sebaiknya
tak ada.
2/
Satu jam hilang, ia masih juga
belum datang. Aku senang
bahwa ia belum datang.
Tiba lebih dulu membuat aku punya banyak waktu
mencari alasan memaafkan dirinya dan diriku
menertawakan cintanya dan cintaku.
Kesungguhan cintaku.
Musik terus berdentaman. Merdu.
Jam dan perasaan
sesaat demikian biru.
Seekor kupu-kupu hinggap
mencecap keheningan jiwaku.
2017
Di Gedong CAI
1/
Sepasang pintu besi yang biru
tak membungkam
derum jantungmu.
Tembok batu abad 19
kalakay daun-daun tak bernama
kini sama kering dan sama renta
dengan nasib sebuah kampung
di utara.
2/
Lurus menatap paras Wayang dan Patuha
terlihat juga
paras geulis Bandung
dalam belitan tipis
selendang halimun
(sungguh demikian anggun
dan nelangsa!)
Lalu di saat yang sama—
pucuk-pucuk kondominium gemetar
dibantun kehijauan
dan rasa kecewa;
pohon-pohon meranggas
bagai nasib baik
umat manusia;
sedang jiwaku basah
sebab tak tahu
asal mula air mata.
3/
Setapak jalan membagi dirinya
bagi jalur air dan udara;
menutup dan membuka dirinya
bagi langkah-langkah kecil
anak kampung
rumput liar & bunga-bunga
serangga & binatang ternak
kenangan nakal masa kanak
batas-batas teritorial
kawasan jin & manusia.
Aku pun bertanya, sebenarnya
adakah yang menderu di balik pintu biru itu air
atau jiwamu; syair atau gema kericuhan
di negerimu. Tak ada jawaban apa pun
bagiku. Tatapan pohon-pohon tua
tampak makin dalam
dan bisu. Tjibadak 1921
demikian segar di batinku.
Derum jantungmu
jantung air nan segar itu
seperti tak pernah
disentuh waktu.
Kubasuh wajah dan jiwaku yang lusuh.
Kini segalanya terasa dingin dan bening.
Aku seperti berada di sebuah negeri asing.
2017.
- Puisi-Puisi Zulkifli Songyanan - 23 August 2022
- Puisi-Puisi Zulkifli Songyanan; Cukup Tiga Sloki - 25 February 2020
- Panggilan dari Praha - 11 December 2019