Sajak Tentang Musa

 

Asiyah

sebab tuhan tak pernah tidur

Ia tak punya mimpi.

dan manusia diciptakan.

sebab manusia tak sanggup menyimpan

segalanya dalam hati

mereka menciptakan rahasia.

 

 

Tursina

adalah kepalamu

lebih keras

dari batubatu

bukit itu.

di puncak

pohon menyalakan api

merebut matamu yang tanda tanya

antara tin, zaitun, dan delima.

depan dadamu angin tumbuh

sebagai wahyu yang runtuh:

tak ada tongkat dapat berdiri

dalam tangan yang salah.

“tetapi lelaki kibti telah mati

dalam tanganku yang berapi”

maka dengan tongkat itu

gembalakan dulu tanganmu

sebelum menuntun mereka

berjalan di tengah lautan.

 

 

Tih

terlindungilah mereka di bawah naungan awan

tercukupilah kebutuhan dengan manna dan salwa.

“pukulkan tongkatmu pada sebongkah batu

akan rekahlah duabelas mata air sesuai jumlah suku

aturlah mereka agar tertib berbaris tiada berebutan

dan bersabarlah atas setiap pertanyaan.”

betapa karib hidupmu dengan air:

sungai yang mengalirkan tubuh-bayimu

sumur yang menyimpan jodohmu

khidir di antara murrah-timsah

dan laut yang dibelah.

tanah tuhan para nabi adalah janji

di bawah perintah meninggalkan negeri sendiri

demi membawa kaummu pada ketenangan

sebab apalah guna hidup di daratan kaya

tapi menjadi budak seorang raja?

namun masa lalu adalah ujian paling batu

bahkan ketika sesuatu yang baru lebih bersemi.

sayur-mayur, kacang adas, mentimun, bawang,

dan segala yang ditumbuhkan kenangan

memanggilmanggil liur

melenturkan lidah kaummu

yang senantiasa melempar pertanyaan.

engkau berpasrah ketika sadar:

mereka pun gelombang air

memantulkan keras kepalamu

membiaskan gelegak jiwamu.  

“maka, di padang ini Kami tahan mereka

berputarputar hingga empatpuluh tahun.

kelak sebagian keturunanmu akan mengerti

tak ada damai selepas perang

apalagi bagi mereka yang menang.”

 

 

Murrah-Timsah

separo bekal ikan

matang dalam kantung

–yang sebelah telah terbagi

masuk perutmu dan bujangmu–

melompat berenang dengan tulang basah

menunjukkan jalan bertemunya dua lautan.

seseorang bergamis hijau bersujud

tujuh titik tubuhnya bertumpu cadas

badan kurusnya membalikkan cahaya.

“pulanglah ke bani israil dan temui harun

sebab keyakinanku telah menemukannya.”

yusya’ sang bujang penurut itu pun beranjak.

sementara lelaki hijau itu bangun dari sujud

kau lihat tujuh titik gosong di atas batu.

tak kau rasakan tulang pada telapak tangannya

ketika kau ajak bersalaman menyebut nama.

“akan engkau dapati aku orang yang sabar

dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun”[1]

sesungguhnya lelaki hijau itu jauh telah tahu:

sebagaimana kaummu, lidahmu pun tak dapat dipegang

tapi takdir tuhan harus tetap berjalan meski tak sesuai garis tangan.


[1] Q.S. al-Kahfi: 69

Asef Saeful Anwar
Latest posts by Asef Saeful Anwar (see all)

Comments

  1. Syahrizal Reply

    Siang yg bersinar namun tak seterang suasana hati,waktu yg terus berjalan tapi tak mengubah ke’adaan,di dalam keramaian namun hati sepi,hampa dan gelisah

    Ada apa dengan hidup ini,ada arahan namun tak pasti,ada jalan namun tak ada tujuan,berke’inginan namun sulit tercapai bagaikan berjalan tanpa kaki

    Sungai,gunung dan tanaman pun seolah2 tak mau menatap,hidup di dunia hanya banyak membuat beban,pada siapa ku berpasrah,hanya pada tuhan yang maha kuasa

    Jangan takut hidup susah,jangan terlalu senang hidup kaya,ingatlah bahwa diri dalam pengawasan tuhan,karna semua yang kita punya akan di’ambil kembali.

  2. Idrus Ali Reply

    Good job

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!