Cabo das Flores
—Antonio de Abreu (1515)
Setelah pelayaran panjang dari megah Melaka
Kau mungkin melepas jangkar jungmu di Larantuka
Sekadar merayakan kemenangan mencapai daratan
Atau mengembalikan sakral Natal dan Tahun Baru yang beraroma lautan.
Ke hadapanmu, Februari mekar
Flamboyan merah cerah sepanjang tanjung liar.
Adakah rindu mendera-dera
Mengajakmu kembali ke peluk tanah airmu—Madeira?
Tetapi jungmu—mesti menaklukkan Oecusse
Kembali berlayar melintas kelam luas Sawu.
Sedang kami hanyalah padang gurun merindukan oase
Menunggu layarmu tiba—sedari dulu.
Kini, lima ratus tahun berselang
Kami masih berharap jungmu pulang.
Tak perlu cendana atau rerempah sebagai hadiah
Kami hanya ingin hidup dengan lebih layak dan bahagia.
Flamboyan bermekaran di depan sekolah
Rontok terpah dinding bambu dan lantai tanah.
Kini kami menyebutnya bunga Natal—dengan linang airmata
: Kedatangan sang juru selamat—dari megah ibukota.
(Jogjakarta, Oktober 2015)
Hadiah Ulang Tahun
Pukul dua belas bergerak begitu lekas:
Sepasang hari berubah serupa kekasih
Mengekalkan singkat pertemuan dalam basah
Ciuman tengah malam sebelum berpisah.
Redup matamu menyerah ke dalam rayu selimut
Selepas pesan singkatmu menembus kabut.
Tiba di depan pintu rumahku, ucapan pertamamu,
Hadiah lukisanmu—digantung di dinding kelabu.
“Telah kusiapkan sepanjang tahun
Demi sehari bahagiamu.”
Kau memindahkan kematian
Ke dalam kelam kanvas—sesak pemakaman
Remang yang menguarkan ketakutan.
Tumbang kayu-kayu palang
Dilupakan para tukang.
Marmer berlumut menyimpan dingin yang asing
Kamboja tumbuh liar di reretak dinding.
Kemudian pagi bising
Ruang dipenuhi dering demi dering.
Suara-suara kita berpelukan di telepon genggam.
Menukar selamat dan salam.
Sampai akhirnya tak ada lagi yang istimewa
Hanya selintas peristiwa:
Lonceng gereja lantang dari seberang
Mengajak kita pulang—menyongsong perhentian.
(Jogjakarta, Oktober 2015)
Almarhum
Sia-sia mencapai segenap dunia
Untuk menemukanmu.
Ada batas yang hanya
Mampu ditebus kematian.
Perpisahan paling perih
Kita tarik dari arah yang berbeda.
Kian jauh terasa kian haru
Apa yang dulu kita sebut rindu.
Kemudian sepi derai
Bak serbu ombak mendapati pantai.
Kami mesti mengecap meski sepedih
Kecup khianat di pintu Getsemani.
Tak ada alasan selain berdamai
Demi sebuah tikai yang tak ingin dimulai.
Kami hanya mampu memindahkan senja
Ke tadah padang semenjana.
Ada sunyi puisimu di sana,
Di merah yang menyerah.
(2015)
Sajak yang Selesai
Telah kami taklukkan arah
Dan segenap air mata:
Peta yang mengatup helai
Sajak yang selesai.
Terakhir kali kau pun mengerti
Sebelum penerbangan pertama kali
Sajak adalah dirimu sendiri
Yang tak selesai begitu dini
Sekadar jarak antarbandar udara.
Telah lama kau rindukan perjalanan
Ke banyak tempat dan alamat
Menemukan serpih dirimu
Pelengkap isi sajakmu.
Tetapi kali ini
Sajakmu tiba-tiba selesai.
Dengan lantang dibacakan.
Kami dengarkan kematian
Hanya kematian:
Kata yang kautemukan
Dari ketinggian awan
Ke kedalaman lautan.
(2015)
- Sajak yang Selesai; Puisi-Puisi Afryantho Keyn (Larantuka, Flores) - 26 January 2016