“Besok pake pita kuning diiket di bahu kanan, tali sepatunya kuning, kaus kaki kuning, air mineral enam ratus mili, sama jangan lupa bawa bekal buat makan siang. Dengerin dan catat baik-baik, Dek! Setiap pelanggaran bakal ada sanksinya. Satu lagi, buat cowok, besok kepala harus udah botak. Satu senti!” ucapnya berbusa-busa dengan mimik sok garang khas senior yang ingin dianggap superior.
Dan untuk botak, tidak tahukah mereka bahwa rambut juga berarti mahkota? Mohawk sudah melekat dalam pencitraanku. Identitasku. Layaknya sebuah penyekat yang mengelompokkanku ke dalam sebuah petak: gahol. Mungkin julukan kami besok juga akan sedikit berubah. Maba untuk hari ini sebagai mahasiswa baru dan Mabo untuk besok sebagai mahasiswa botak.
Embusan angin malam yang keluar masuk dari pintu kereta ekonomi Depok–Jakarta cukup tangguh untuk sekadar memanjakanku setelah seharian berlelah-lelah dengan segala tetek bengek pengenalan kampus. Merayu kedua kelopak mataku untuk segera menutup seraya memaksa daguku terangguk-angguk.
Tak terasa kereta sudah akan berhenti di stasiun tujuanku. Seperti biasa, menurunkan dan menaikkan beberapa penumpang, dan selanjutnya akan melesat lagi menuju pemberhentian akhir. Kulongokkan kepala. Ah, tukang cukur! Cukup janggal sebenarnya mengingat baru kali ini kujumpai ada lapak tukang cukur di dalam stasiun. Dan letaknya yang benar-benar hanya beberapa langkah di samping rel. Entahlah, intinya kepalaku harus segera botak.
Tak ada daun pintu, hanya gorden tipis sebagai penyekat satu-satunya jalan masuk ke dalam sebuah ruang kecil ukuran 2×3 meter yang di atasnya terpampang jelas dengan ukuran besar: Tukang Cukur. Sesosok pria dengan ramah mempersilakanku masuk setelah melihat kepalaku yang menjulur menyingkap tirai. Kesannya bukan lagi tukang cukur, tapi lebih mendekati dandanan mantri suntik. Pakaian rapi serba putih lengkap dengan masker menutupi mulutnya, hanya dari matanya yang menyipit aku tahu dia tersenyum.
“Silakan duduk,” ucapnya ramah dengan kedua mata yang kembali menyipit.
“Potong model apa, Nak?”
Ternyata bapak-bapak. Kujawab dengan sedikit ragu.
“Botak, Pak.”
Matanya kembali menyipit. Selucu itukah kata botak?
Kulongok arlojiku. Masih jam 7.30. Masih cukup waktu untuk mengejar angkot terakhir Kalibata–Kampung Melayu. Kusandarkan kepala di kursi cukur sembari menunggu bapak tadi mengambil peralatannya. Aneh, apa ruangan ini kedap suara atau pendengaranku yang mulai terganggu? Tak kudengar suara bising kereta datang maupun pergi. Suara bising petugas melalui pengeras suara yang biasanya istiqamah memberitahukan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta pun seolah lenyap.
“Tak perlu panik.” Seolah dia bisa membaca pikiranku. Dan matanya lagi-lagi menyipit. Senyum macam apa di balik maskernya kali ini? Mulai kuamati seisi ruangan. Dinding yang dicat dengan warna biru muda diselingi cokelat terang, dikombinasikan dengan kuning cerah dan merah marun. Terkesan acak tanpa meninggalkan harmonisasi dalam perpaduannya. Cermin besar tepat di hadapanku, tak jauh di sampingnya, berjejer foto model dengan berbagai macam ekspresi, kalender salah cetak dengan angka yang susah dibaca, dan… astaga! Gunting dengan ukuran dan bentuk yang sangat tidak lazim, kalau tak boleh kubilang mengerikan. Di manakah aku ini? Tangannya memegang pundakku sembari memasangkan kain cukur. Bulu kudukku berdiri.
“Tak usah cemas. Bapak memang bukan berasal dari sini. Bapak berasal dari tempat yang jauh, Nak. Sangat jauh. Tapi untuk sekadar cukur mencukur, kamu tidak salah ketemu Bapak.” Ingin rasanya bangkit dan segera berlari keluar jika saja kedua kakiku bisa kugerakkan. Seolah beban di kedua pahaku mendadak menjadi berpuluh-puluh kilogram. Bahkan untuk sekadar berteriak meminta pertolongan pun tak bisa kulakukan. Hanya bisa pasrah. Ya Allah, hamba belum menikah.
“Foto yang kamu lihat di tembok itu adalah foto orang-orang yang pernah bapak cukur. Hahaha, muka mereka aneh-aneh, ya? Itu karena mereka mintanya juga aneh-aneh.” Tangannya mulai sibuk menggunduli rambutku.
“Kau pasti juga bingung melihat angka-angka di kalender itu?” Matanya lagi-lagi menyipit dengan garis-garis kening yang ikut mengerut. Senyum macam apa sebenarnya yang dari tadi ia simpan di balik maskernya?
“Untuk gunting, bisa dibilang Bapak punya koleksi terlengkap.” Masih terus menjelaskan tanpa diminta. Tangannya cekatan mulai memotong bulu-bulu panjang yang tumbuh di kepalaku.
“Gunting besar dengan gerigi itu dipakai untuk mencukur habis rasa takut, Nak. Sebelahnya, gunting yang di sisi pegangannya dipenuhi duri itu, gunting keraguan, yang warna merah besar gunting keyakinan, dan yang mulai berkarat itu gunting kebencian. Masih banyak lagi.” Kupaksakan melirik ke setiap benda yang ia tunjuk.
“Dengan sekotak gunting yang Bapak punya, Bapak dipaksa membuat perubahan besar. Mengubah suatu negeri. Memberangus kejahatan dan menegakkan keadilan. Hahaha, aku terlalu tua untuk itu. Iya, kan?” Kali ini matanya nyaris terpejam, seolah berusaha keras menahan kelucuan. Ingin rasanya kumanfaatkan momen langka itu untuk segera berlari keluar. Tapi, aku akan berdosa jika aku main kabur tanpa bayar. Oke, aku bohong. Kakiku masih belum bisa digerakkan!
Kulihat kepalaku sudah seutuhnya botak. Dilepasnya serbet cukur di pundakku. Orang gilakah yang kuhadapi dari tadi? Tapi untuk urusan cukur mencukur kuakui not too bad. Kulihat ke-gahol-anku tak sirna walau dalam potongan rambut berbeda. Tampak sebelas-dua belas dengan kesan macho ala Scofield dalam film “Prison Break”.
“Pulanglah, Nak, dan ambil ini.” Diulurkannya sebuah gunting dari kotak kayu jati yang dipenuhi ukiran indah. Kuterima pemberiannya sambil kuamati sekilas. Terukir pada salah satu ujungnya: “Gunting habis korupsi!”
What the hell? Yang hanya mampu kuteriakkan dalam hati.
“Kamu yang harus mengubah negerimu sendiri, Nak.” Kali ini sorot matanya terlihat serius. Tak lama berselang, kurasakan ruangan 2×3 meter ini mulai berputar. Semakin lama semakin cepat saja. Ah, kupegangi perutku menahan mual. Kupejamkan mata rapat-rapat. Terdengar berdebum benda-benda mulai berjatuhan. Dan suara gunting. Gemertak puluhan gunting yang terdengar semakin mendekat, seolah mau mengiris daun telingaku. Ah, enyahlah! Kusumpal kedua kupingku dengan telapak tangan.
Brak!
Dan tiba-tiba semuanya gelap. Serasa ada sebongkah balok kayu besar yang dibenturkan tepat di belakang kepalaku. Awww! Perlahan kubuka mata. Kulihat samar orang ramai berkerumun. Mengerumuniku. Posisiku masih terbaring saat dua petugas stasiun berusaha membantuku duduk dan mencoba mengecek bagian belakang kepalaku yang masih terus kupegangi. Kutoleh ke kanan-kiri. Ah, di mana tempat cukur tadi? Gunting? Mana gunting yang… ah!
Kulihat puluhan pasang mata masih asyik memandangiku, beberapa berbisik ke sebelahnya.
“Buru-buru turun tadi tuh dia, pas keretanya masih jalan.”
“Iya, dikiranya udah pelan kali, Pak. Jatuhnya juga pas kepalanya lagi yang kepentok ke belakang. Untung nggak mati anak orang.”
“Tapi gegar otak kayaknya tuh, Mas. Liat aja tampangnya, tuh.”
Pandanganku kembali kabur.
Sumber gambar: fineartamerica.com