Sambil Menyelam Minum Kopi

coffee-photography-coffee-beans-wide

Kegiatan yang berlangsung terus-menerus sering membuat kita lupa untuk mempertanyakan hal-hal kecil yang tersembunyi di baliknya. Dalam Islam, tersebutlah ajaran agar makan-minum dilakukan dengan cara duduk, menggunakan tangan kanan, menyuap dengan tiga jari, minum dengan tiga kali teguk, tidak grusa-grusu. Belum sempat kita tahu hasil penelitian ilmiah tentang dampak aturan ini bagi kesehatan (bagi lambung dan ginjal, misalnya), datanglah kebiasaan modern yang menyepelekannya. Jadilah kebiasaan yang cenderung menafikannya. Walhasil, kita tidak lagi urus hal yang tampak sepele ini: soal makan-minum. Adanya “makan jalan” adalah contohnya.

Selanjutnya, karena dianggap biasa, kerap terjadi, lupa kita untuk bertanya (mempertanyakan), apa rahasia di balik ajaran itu. Orang-orang tua mengutip petuah leluri dan nasihat leluhur: melarang minum sambil berdiri. Saya heran, mendengarnya, saya langsung patuh. Mengapa? Bukan lantaran ucapan mereka intimidatif, melainkan karena ucapan itu bertenaga: memberi teladan bukan dengan sekadar anjuran. Mereka bilang setelah lebih dulu melakukan.

Jangan minum sambil berdiri, jangan meniup minuman yang panas, jangan ini dan itu: ruwet sekali kita diatur, banyak sekali tatib-nya, bukan? Seperti SOP perusahaan jasa yang sudah mapan. Kita bisa membantah karena ia dipandang remeh, namun mereka ribet karena ia dianggap serius. Di situlah letak perbedaannya. Sebab itu, jika kita patuh, maka kita setuju bahwa urusan (cara) minum (apalagi bahan minumannya) adalah urusan yang sesungguhnya serius.

Minum kopi, oleh karena itu, adalah kegiatan yang mestinya serius. Ngopi dengan cara biasa; pesan kopi atau bikin kopi (apalagi dari kopi sachet-an), tuang air mendidih (apalagi dari termos), terus diminum (apalagi dengan langsung menenggaknya sampai habis) adalah cara minum orang umum, biasa. Setingkat di atas itu, pakar kopi menyarankan ngopi dengan cara lebih dulu menghirup uapnya begitu tudung cangkir telah dibuka.

Beberapa orang menganjurkan agar pada saat mengaduknya (jika kita membuat kopi tubruk tanpa bantuan mesin), aduklah mencapai hitungan ratusan agar bubuk kopi dan air benar-benar berpadu, bersenyawa. Ada pula yang rela mendiamkannya untuk mengontrol keasaman dan kadar kafeinnya. Kopi diminum hanya setelah dingin (contoh: bikin kopi sebelum tidur dan diminum setelah bangun).

Lewat cerita orang-orang kuno di kampung saya yang panas, yang tanpa sebatang pohon kopi pun tumbuh, saya menemukan cara tradisional membuat kopi. Di antara cara itu adalah teknik mengolahnya: disangrai dengan bahan bakar krocok (pelepah kelapa). Tukang sangrai pun menentukan rahasia kenikmatan kopi, seperti misal nenek penyangrai punya kebiasaan membaca ayat-ayat suci atau shalawat selagi “on fire”. Inilah sedikit hal yang tidak dapat ditiru oleh oven atau coffeemaker.

Ketika menyajikan kopi, masyarakat tradisional umumnya menyajikan dengan model kopi tubruk: bubuk kopi dan gula yang diseduh bersamaan dengan air mendidih. Prinsip ini berbeda dengan prinsip penyajian kopi modern yang menggunakan sistem mekanik (seperti dengan drip) untuk menciptakan berbagai jenis sajian, seperti espresso, atau dipadu dengan susu dan creamer untuk meringankan kepekatannya, menjadi macchiato ataupun coffee latte.

Selagi ongkos ngopi di kafe dianggap mahal, rakyat jelata juga bisa mendapatkan sajian kopi yang nikmat. Caranya, kita harus menyadari bahwa proses kopi itu mengalami beberapa kali reduksi aroma. Pertama, bagi awam, yakni penikmat kopi umumnya, tidak begitu ngeh terhadap kualitas kopi dan pemilahannya. Mereka mendapatkan kopi di kedai atau pasar. Ketika disangrai, mereka juga tidak ambil pusing untuk biji kopi sudah bersih bahkan hingga ke kulit arinya atau masih kotor.

Tahap ini mestinya juga diperhatikan: kopi harus dibersihkan, bahkan jika perlu dengan kulit arinya sekalian. Pada babak berikutnya, aroma kopi berkurang saat terkena panas; yakni saat disangrai, digiling, dan beradu air panas. Untuk mengurangi penguapan aroma, gunakan oven atau ditumbuk, juga dengan menutup cangkir ketika air selesai diaduk agar uap tidak keluar. Penyajian gula secara terpisah konon juga merupakan bagian dari cara menjaga aroma kopi.

Dari uraian di atas, proses mendapatkan kopi atau ngopi yang asyik itu ternyata rumit. Kalau mau lebih serius, penyajiannya bisa lebih detail lagi, misalnya bahwa kelezatannya juga bergantung pada cara mengaduk, seperti ada yang mengaduk hingga beberapa menit, ada pula yang mengaduk hanya bagian atasnya (buih). Aturan dan tips ini berkembang secara alamiah, mungkin saja disertai cara mengada-ada. Karena sebagian orang sudah yakin, maka yang diada-adakan pun akhirnya jadi legenda.

Akan tetapi, dan ini perlu dicatat, bahwa cara-cara tersebut di atas adalah cara “manual” dan mungkin juga mekanik, bahwa ada cara lainnya yang dapat ditempuh, yakni “cara spiritual”. Salah satu caranya adalah adukan ke kiri dengan maksud agar menghasilkan energi positif seperti gerakan thawaf. Di samping itu, saya sendiri suka mengirim surat alFaatihah lebih dulu untuk beberapa nama yang berhubungan dengan kopi, para penemu kopi, tokoh yang menyebarkan kopi, serta para sufi yang menggunakan kopi sebagai teman melek berdzikir, seperti Abul Hasan as-Syadzili.

Sejujurnya, semua usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan sajian kopi yang keren, kalau kita pukul rata, dilakukan dengan cara tingkat terendah: uji coba-salah, uji coba-berhasil, trial and error. Ini berbeda dengan orang modern yang mendapatkan kesimpulan dari hasil riset, keluar-masuk lab, analisis ilmiah, dan kemudian diproduksi secara massal, dikapitalisasi, diberi hak cipta, dan menjadikannya “essence”: selera selalu sama meskipun dari bahan yang mungkin sedikit berbeda.

Itulah rasa yang enak namun sesungguhnya sedikit palsu. Teknologi akhirnya mampu membuat kopi dari bukan sepenuhnya kopi tapi diserupakan kopi. Lidah awam menyetujui. Lidah ahli tak bisa dibodohi.

Maka, ketika kita hendak mencari kenikmatan lain dari semua yang sudah lazim diketahui ini, tentu kita tidak boleh hanya berkutat pada pembicaran perihal kualitas biji kopi berdasarkan varietas dan entitas belaka, semacam jenis biji pilihan seperti kopi lanang (full body) dan kopi luwak, dan lain-lain. Sebab, cara di atas adalah sudut pandang kopi sebagai sensasi kenikmatan cita rasa, kelezatan denotatif.

Kita dapat menjadikan kopi sebagai minuman yang menyandang beberapa gelar; “biji dari surga”, “anggur muslim”, “minuman kaum sufi” sebagai kelezatan konotatifnya. Jadi, ingat, kelezatan kopi yang dibicarakan orang selama ini adalah kelezatan yang lewat di leher dan berakhir di perut. Oleh karenanya, kita harus mengubah persepsi untuk mendapatkan kelezatan yang lebih dari itu.

Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa kopi itu adalah minuman para sufi, minuman para raja, minuman para pemikir. Bisa saja ini dibantah dari sisi kesejarahan. Akan tetapi, nyatanya banyak kitab yang menunjukkan itu. Salah satu hujjah-nya adalah bait-bait nazam yang populer ini.

Qahwat al bunn yā ahl al-gharām # sā’adatni alā thard al manām

Wa a’ānatni alā thā’atillāh # wa an-nāsu niyām

Qāfuhā al quwwah hā uhā al hudā # wāwuhā al wudd hā uhā al huyām

Falā talūmūni alā syurbihā # innahā syarbu sādātin kirām

(Kopi itu, duhai orang-orang yang dimabuk cinta, menolongku mengusir lena

Juga membantuku supaya taat kepada Allah, pada saat orang-orang terlena

‘qaf’nya berarti kekuatan, ‘ha’-nya petunjuk, ‘wawu’-nya berarti cinta, ‘ha’-nya berarti huyam (cinta yang meluap atau pengusir kantuk).

Jangan engkau cela daku karena meminumnya, sebab ia minuman para junjungan mulia.)

Kenikmatan spiritual kopi juga didedahkan di dalam kitab-kitab tasawuf. Jika di dalam kitab Irsyadul Ikhwan fi Hukm as-Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan
Syekh Ihsan Jampes Kediri cenderung melihat sisi hukumnya, saya bahkan menemukan tartib pembacaan al-Faatihah yang secara khusus diperuntukkan untuk “tokoh-tokoh kopi yang ahli sufi” yang konon itu termaktub dalam Qahwah Bunniyyah-nya Al-Habib Ahmad ibn Muhammad al-Mibdar. Ini juga makin membuat kita yakin, ngopi itu ternyata aktivitas yang serius sekali.

Di sebuah daerah di Sumenep, tempat saya tinggal, ada sekelompok masyarakat yang ketika menyuguhkan kopi kepada tamu, mereka menyebutnya biddang (wedang). Yang dimaksud wedang adalah air panas mendidih. Ungkapan ini semacam eufemisme, cara berbasa-basi dengan merendah, yakni menyebut kopi sebagai air panas belaka. Akan tetapi, ada pula yang cara menyuguhkannya dengan redaksi “mari diminum syadili-nya!”.

Menurut saya, ini cara unik dan tidak ditemukan di sembarang tempat, sebab syadili yang dimaksud adalah kopi, bukan teh atau sirup. Jadi, mengacu kembali pada paragraf di atas, sangat mungkin kalau As-Syadzili merupakan orang yang dekat sekali dengan kopi, wabil khusus dalam dunia tasawuf/tarekat yang menggunakan “minum kopi” sebagai bagian dari ritualnya. Kalau bukan penemu, ya, beliau adalah penggemar kopi dan menggunakannya sebagai teman melek, bukan buat ngeronda, tapi untuk berdzikir kepada Tuhannya.

Dari sini kita tahu, bahwa kopi dan minum kopi pernah mencapai fase yang sangat serius dalam ritual meminumnya sebagaimana minum teh di Jepang dan Cina. Hingga maraknya perkembangan kafe yang mulai menipiskan jarak dan sekat sebagai tempat nongkrong nan mahal, kopi kini telah menjadi komoditi terbesar kedua di dunia di bawah migas. Apa pun yang diproduksi secara massal pasti membutuhkan modal besar dan pangsa pasar.

Sebab itu, tradisi minum kopi telah berubah menjadi kebiasaan sehari-hari, yang bahkan jika itu di Italia, kebutuhan masyarakat untuk kopi nyaris sederajat dengan nasi di sini, sama-sama primernya.

Dalam keadaan seperti ini, sejatinya kita masih dapat mengubah kembali minum kopi menjadi ritual yang luar biasa, yang tidak lazim, yang tidak awam. Caranya tentu dengan meneguhkan niat. Untuk aktivitas apa pun, niat adalah yang utama. Ini adalah pesan Nabi yang terus-menerus dibahas dalam setiap bab awal kitab-kitab tasawuf, bahkan niat kadang lebih bernilai daripada perbuatan itu sendiri.

Hingga pada saat kita berada di depan tungku api untuk menjerang air dan membuat kopi, atau di kedai dan kafe, kita dapat memantapkan niat: “Nawaitu ngopi lillahi ta’ala…” disertai niat-niat yang lain. Dengan begitu, ngopi bukanlah sekadar minum dan setelah itu tak ada sisa apa-apa selain pipis. Inilah yang saya maksud kenikmatan spiritual, kenikmatan yang berada di luar cangkir.

Setelah saya tahu kalau ngopi itu aktivitas serius, maka pada saat melihat iklan video seorang suami yang menunggu istrinya membuatkan kopi (itu pun “hanya” kopi sachet), atau pemandangan serupa di dalam film/klip untuk menunjukkan perhatian seorang istri terhadap suaminya, membuatkan kopi sebelum suami bangun, terkadang saya merasa risih dan segera mundur untuk mengganti sudut pandang itu. Pemandangan apa ini?

Saya pun bertanya, pakaian dan fashion kita sudah didikte oleh iklan, selera makanan dan masakan kita sehari-hari sudah dikontrol dari dapur dan atau warung, masa urusan kopi kita tidak berdaulat?

Mari, aduk dan buat kopimu sendiri! Sambil menyelam minum kopi. Ngopi untuk ngopi itu sudah biasa. Betul memang kita harus mendapatkan kenikmatan cita rasa dari biji kopi pilihan, namun kelezatan spiritual juga harus diraih dalam setiap sesapan.

Sumber gambar: hungrypeople.com

M. Faizi
Latest posts by M. Faizi (see all)

Comments

  1. Mohammad Faizi Reply

    Terima kasih telah memuat tulisan saya. Sayang sekali, waktu membaca tulisan saya ini di Basabasi, saya tidak bisa ngopi karena sedang flu berat

  2. Tamam Malaka Reply

    wuah mangstabsss. Jadikan segalanya lebih luar biasa, hehehe

  3. Agung Setiawan Reply

    Komprehensif. Seandainya Kiai menambahkan para filsuf penikmat kopi radikal kayak Voltaire (40 cangkir kopi per hari) dan Balzac (50 cangkir kopi per hari).

    • Mohammad Faizi Reply

      saya tidak tahu kalau Voltaire, kalau Balzac iya memang.

  4. Erin Reply

    Oh, mengaduk beberapa menit ke arah kiri … 🙂

  5. Bernando J. Sujibto Reply

    Alhamdulilah sudah bisa baca esai Pak Kiai disandingi Turk Kahvesi ringan…

    • M Faizi Reply

      Turk Kahvesi kapan-kapan saja, langsung di TKP

  6. Ugahari Nurul Utami Reply

    saya juga penyuka (terlalu berat jika disebut penggemar) kopi yang ya… termakan cara menyajikan kopi di TV. Baru tahu, kalau kopi bisa seserius ini 🙂

    • M Faizi Reply

      danke 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!