Sang Qalandar

beliefnet.com

Qalandar Yusuf al-‘Arabi adalah pendiri Thariqah Qaladariyah yang banyak dikenal di kalangan kaum sufi. “Qalandar” itu kemudian menjadi salah satu istilah dalam dunia tasawuf yang menunjuk kepada seseorang yang keseluruhan dari totalitas hidupnya semata tertuju pada Allah Ta’ala. Dia senantiasa dirundung rindu dan cinta kepada hadiratNya. Tak ada celah hasrat untuk apa atau siapa pun yang lain.

Di hari Sabtu yang panas, 26 Jumadil Akhir 642 H, seorang Qalandar yang majhul, yang belum dikenal, yang memiliki kedudukan terhormat di alam Malakut karena kobaran cinta ilahiat dan kesucian hatinya, tiba-tiba memegang tali kekang keledai Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) dan mengajukan pertanyaan:

“Wahai pecinta debu, wahai pengajar dan mufti besar kota Quniyah, katakan padaku, siapa yang lebih agung, Syaikh Abu Yazid al-Bisthami atau Nabi Muhammad Saw.?”

Menyimak pertanyaan itu, roh Maulana Jalaluddin Rumi seakan mendadak disambar petir. Sementara pada sudut yang lain, dengan keheningan yang sempurna, di kesunyian roh dan padang luas kecerdasannya, Sang Qalandar yang berbaju rombeng itu diam-diam menyalakan obor keilahian di dalam roh si Maulana.

Tapi demi menunjukkan reputasi di hadapan para santri dan pengagumnya, si Maulana itu ingin membungkam Sang Qalandar dengan jawaban yang telak. Dia dengan tegas menjawab:

“Nabi Muhammad Saw. adalah orang teragung di seluruh dunia dan imam bagi seluruh umat manusia. Bagaimana mungkin seorang Abu Yazid dibandingkan dengan Sang Nabi itu?”

Orang-orang pada diam. Tapi pertanyaan Sang Qalandar itu telah mengeruhkan roh mereka. Sufi misterius itu rupanya ingin menghablurkan gelombang spiritual dan keimanan yang kebak dengan cinta. Dengan intonasi yang kuat dia bertanya lagi:

“Kalau begitu, kenapa Sang Nabi Saw. bersabda, ‘Aku tak mengenalMu sebagaimana semestinya ya Tuhanku,’ sedang Abu Yazid berkata, ‘Mahasuci aku. Betapa agung diriku’?”

Si Maulana bungkam. Kapasitas keilmuannya tak sanggup menuntunnya untuk menjawab bahwa di hadapan Sang Nabi Saw. yang laksana samudra raya tak bertepi, seluruh sufi tak lain hanyalah cangkir-cangkir kecil yang mudah meluap ketika dituangi anggur rohani, lalu mabuk dan muncullah kalimat seperti yang diucapkan Abu Yazid itu.

Dengan segenap hidup dan matinya, dengan totalitas yang sangat menggetarkan, si Maulana itu lalu pindah ke jalur cinta yang tak punya tujuan apa pun selain hadiratNya. Dan dunia kemudian bersaksi bahwa Sang Qalandar majhul itu, pembuka pintu cinta dan makrifat itu, tak lain adalah Syaikh Syamsuddin Tabrizi (582-645 H).

Ya Tuhan, sebagaimana Kau anugerahkan Sang Qalandar pada Maulana Jalaluddin Rumi, tolong anugerahkan pula pada kami pembimbing-pembimbing yang selalu mengantarkan kami pada pintu cintaMu. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.

 

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!