Helmy Yahya yang telah berjasa membawa siaran Liga Inggris ke TVRI, justru dicopot dari jabatan direktur utama. Alasannya, sang raja kuis itu telah melenceng dari visi-misi TVRI. Sebagaimana yang telah termaktub, TVRI dimaksudkan menjadi media edukasi dan pemersatu bangsa.
Sedangkan kehadiran siaran Liga Inggris yang dipersembahkan oleh Helmy Yahya justru “memecah-belah” bangsa itu sendiri. Dengan sering keoknya Manchester United di musim ini, bangsa ini terbagi menjadi dua golongan yang berseberangan dan kerap gontok-gontokan:
(1) golongan yang senantiasa mengolok-olok fans MU,
(2) golongan teraniaya yang sabar melihat jagoannya babak-belur.
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) TVRI pun menyayangkan hadirnya Discovery Channel di TVRI lantaran termasuk produk impor. Dewas TVRI sepertinya ingin kita mencintai ploduk-ploduk Indonesia. Misalnya, Panji Sang Petualang. Panji sudah malang-melintang dengan beragam binatang melata dan reptil lainnya.
Atau, Dewas TVRI mengidamkan film dokumenter tentang buaya yang mencerminkan jati diri bangsa: cecak vs buaya.
Menurut Dewas, TVRI sebagai stasiun televisi milik pemerintah dianggap tidak seharusnya mengejar rating. Di saat yang sama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berharap sinetron Indonesia mampu ditingkatkan kualitasnya. Jangan seperti selama ini, sinetron lokal mengesampingkan mutu cerita karena fokus mengejar rating.
Tuntutan seorang Mendikbud: tontonan harus menjadi tuntunan.
Dari dua set up di atas ketemu punchline-nya: Nadiem Makarim cocok jadi dirut TVRI yang baru, menggantikan Helmy Yahya.
Boleh dicoba tuh!
Nantinya TVRI bisa menayangkan sinetron berkualitas yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak peduli dengan rating. Semua senang, semua menang.
Selama jadi Mendikbud, Nadiem memang sering lompat pagar dengan mengurusi pekerjaan yang seharusnya jadi fokus kementerian dan badan pemerintahan lain. Contohnya, invasi Netflix yang sudah dicegah oleh Menkominfo dan diblokir BUMN Telkom justru disambut hangat oleh Mendikbud.
Masalah mutu sinetron sudah sepantasnya jadi wewenang KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Namun, persoalan ini turut disinggung oleh mantan CEO Gojek itu.
Yah, walaupun sinetron kesukaan masyakarat kadang memang jadi ajang pembodohan yang notabene musuh besar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri.
Di satu kesempatan, Nadiem Makarim mengaku sebagai penggemar berat Netflix. Makanya, beliau sampai repot-repot mengajak perusahaan asing itu bekerja sama di bidang pendidikan dan pelatihan keterampilan membuat film.
Nah, kita tidak tahu saat membicarakan mutu sinetron Indonesia, Nadiem memosisikan dirinya sebagai Mendikbud atau fanboy Netflix.
Kalau patokannya film dan serial orisinal produksi Netflix, sinetron Indonesia memang jelas ketinggalan seratus tahun. Selain perbandingan sumber dayanya yang timpang, audiensnya juga berbeda.
Penonton Netflix adalah mereka yang berasal dari kalangan berada. Untuk menikmati suguhan tontonannya saja pelanggan harus bayar iuran bulanan. Sementara sinetron adalah makanan sehari-harinya rakyat kecil karena gratis.
Sebenarnya, dulu penonton televisi juga diharuskan bayar iuran, tapi ketika itu TVRI jadi satu-satunya stasiun televisi milik pemerintah. Lain cerita ketika TVRI bersaing dengan stasiun televisi swasta. TVRI tertinggal dan ditinggalkan selama bertahun-tahun. Baru kembali dilirik setelah ganti logo dan dipegang Helmy Yahya.
Apabila Nadiem Makarim jadi Dirut TVRI dan serius menggarap sinetron sesuai idealismenya, bukan tidak mungkin sinetron Indonesia bisa bersaing dengan serial televisi Netflix. Bisa jadi nantinya TVRI kembali menarik iuran dari penontonnya sebagaimana yang dilakukan Netflix selama ini.
Misalnya, sinetron Tuyul & Mbak Yul digarap dengan kualitas sekelas Stranger Things. Terus, format “sinetron azab” (yang selama ini jadi ciri khas dunia pertelevisian Tanah Air alias jati diri bangsa) diubah jadi bergenre fiksi ilmiah seperti serial Netflix Black Mirror. Perilaku manusia dinilai pakai teknologi aplikasi. Hukumannya pun berbentuk sanksi (media) sosial.
Terkait dunia pendidikan, Netflix punya serial bertema kehidupan remaja berjudul Sex Education. Bercerita tentang Otis yang menjadi konselor seks amatir untuk teman-teman sekolahnya.
Jika serial ini diadaptasi menjadi sinetron Indonesia, bisa dijadikan media untuk menyentil perilaku masyarakat. Misalnya, saat ini marak begal yang melecehkan perempuan. Tema tersebut bisa diangkat menjadi salah satu episodenya. Tokoh utama di sinetronnya bisa melawan begal mesum itu dengan opininya tentang urgensi menghargai perempuan. Menyarankan sang pelaku untuk menjauhi candu pornografi agar tidak merusak moralnya sendiri.
Namun, ide mengadaptasi serial Sex Education bisa dipastikan akan ditolak oleh beberapa kalangan masyarakat seperti ketika trailer film Dua Garis Biru baru saja keluar. Tema pendidikan seks memang masih tabu di Indonesia. Nah, ini adalah PR Mendikbud untuk memasukkan pendidikan seks ke kurikulum sekolah.
Kembali lagi ke tugas Nadiem Makarim yang sekarang. Sebelum bicara tentang mutu sinetron, Mendikbud mesti meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Kalau kualitas pendidikan mulai merata dan masyarakat sudah cerdas nan bijak bestari, mereka bakalan mampu kok memilih tontonan yang bermanfaat dan meninggalkan tayangan nirfaedah.