Pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine, yang terletak di kaki gunung Sinai (kini termasuk wilayah Mesir), menghadap Rasulullah Saw. untuk memohon perlindungan. Rasulullah Saw. menyanggupi dengan memberikan mereka piagam perlindungan tanpa syarat apa pun. Berikut bunyinya, saya kutip secara utuh dari Dr. Muqtader Khan, Direktur Program Studi Islam di University of Delaware:
“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”
****
Riuh-rendahnya senarai kebencian terhadap perbedaan keyakinan, bahkan perbedaan paham (sekte, mazhab, ortodoksi) dalam satu keyakinan, yang tampak semudah memproduksi sampah sehari-hari di sosial media kita, mencerminkan masih mengendapnya persoalan teologi klasik yang tidak tuntas di antara umat beragama kita. Ditakik dari sudut bahwa semua kita sejatinya adalah manusia yang sama, realitas tersebut tentulah amat memilukan untuk terus dikibarkan. Pelakunya adalah manusia, obyek serangannya adalah manusia, dan tumbalnya adalah relasi antarmanusia. Dengan tabal-tabal Tuhan sebagai alat tashihnya.
Iman, juga taklid, dalam bentuk apa pun memang tidak mungkin absen dari fanatisme. Fanatisme pada mulanya merupakan watak yang alamiah dari suatu pilihan keyakinan. Ia tidak salah. Ia sepenuhnya niscaya.
Akan tetapi, ketika fanatisme mulai terekspresikan dalam bentuk negasi-negasi kultural-sosial kepada keberadaan iman-iman dan taklid-taklid yang lain, tepat di titik itulah marwah kemanusiaan ditumbalkan. Truth claim, salvation claim, menjadi padang kurusetranya. Padahal, semua kita mafhum bahwa semua agama, semua paham beragama (sekte, mazhab, ortodoksi), memiliki tujuan utama yang sama: sama-sama mengajarkan kebaikan, kesantunan, dan kemanusiaan. Maka bila bentuk ekspresi-ekspresi beriman dan bertaklid itu ternyata bertabrakan dengan tujuan utama tersebut, mendestruksinya bukan mengkreasinya, bukankah hal itu serupa dengan melanggar nilai-nilai asketik-humanistik agamanya?
Aneh!
Bagaimana mungkin kita bertubi-tubi menyatakan sayang dan sayang kepada seseorang tetapi di waktu yang sama kita menginjak-injak komitmen yang dikehendaki untuk selalu dijunjung oleh sosok yang kita sayangi itu?
Niscaya itu pernyataan sayang yang penuh dusta. Dangkal, artifisial, emosional, kekanak-kanakan.
Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih menciptakan semua kita, manusia, dalam keragaman hanya untuk dinista-nistakan, dihancur-hancurkan? Sebegitu kurang kerjaankah Dia –macam Sisifus yang mendorong batu ke gunung untuk kemudian hanya dipelorotkan, lalu didorong lagi, digelindingkan lagi, sampai lebaran kuda? Mana mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa adalah sebuah anomali?
Niscaya kita telah menghina Tuhan bila menyimpan keyakinan, pemikiran, atau perilaku demikian. Niscaya kita bukanlah pemuja dan pengasih Tuhan sama sekali bila kita mengaku mencintainya tetapi kita tidak menjunjung ajaran kasih sayangNya. Tuhan yang Maha Baik pasti mustahillah menginginkan hamba-hambaNya berbuat tidak baik. Tuhan yang Maha Menciptakan segala keragaman hidup niscaya musykillah menghendaki penghancuran terhadap keragaman-keragaman keimanan dan ketaklidan itu.
Bila Tuhan yang kita kejawantahkan WujudNya dalam ekspresi dan lelaku keseharian kita bentuknya adalah penistaan, kebencian, dan keburukan terhadap keragaman kemanusiaan yang given, pastilah Dia bukan Tuhan yang layak dijunjung. Pastilah Dia Tuhan yang abal-abal. Tepatnya, ekspresi dan lelaku kita dalam mengejawantahkanNya, lah, yang abal-abal.
Jika kita demikian saja cara beriman dan bertaklidnya, saya pikir bertuhan dan beragama menjadi tiada guna lagi. Buat apa memuja sesuatu yang malah mendorong kita menjadi mesin keburukan? Pengibar panji-panji nestapa kemanusiaan? Bukankah lebih baik tidak bertuhan saja, tidak beragama saja –yang kalaupun ekspresi dan lelakunya buruk pula, setidaknya tidak menambah daftar kebejatan kita dengan menodai marwah Tuhan Yang Maha Baik selalu dan selamanya?
Saya pikir, menjadi ateis lebih seksi untuk dipilih bila beragama tidak menghantar kita menjadi manusia-manusia yang memuliakan kebaikan-kebaikan kemanusiaan. Biarkan saja Tuhan tetap Kudus di Arsy-Nya yang sakral, dan kita tetap bejat di muka bumi yang profan ini. Akibat gagal memahami dan menerima keragaman yang mutlak sunnatullah-Nya.
****
Menampik sunnatullah keragaman sejajar dengan menampik ciptaan-ciptaan Tuhan yang heterogen. Pastinya Anda pernah mendengar atau membaca hadits Rasulullah Saw. yang amat terkenal ini, “Innama bu’istu liutammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Akhlak atau etika jelas berskala universal, bahkan lintas wujud. Dalam Islam pun, akhlak bukan semata perihal relasi harmonis manusia sesama manusia (hablum minannas), tetapi juga relasi harmonis manusia dengan Allah (hablum minallah). Di studi Islam kontemporer, telah ditekankan satu poin lagi, yakni akhlak kepada semesta (alam raya beserta segenap isinya).
Etika tentunya tidak bisa diterapkan dengan tebang pilih. Atas nama apa pun! Anda tidak bisa menikahi seorang perempuan yang disayangi, misal, tetapi Anda membenci ayahnya atau adiknya atau pamannya. Anda akan terstempel menantu yang tidak berakhlak baik.
Dalam khazanah Ushul Fiqh, maqashid syariah (tujuan syariat) hanya memiliki dua tujuan: satu, mendorong amal-amal kebaikan dan, dua, mencegah amal-amal keburukan. Imam al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat, misal, meletakkan lima item yang harus dicakup dalam wujud-wujud fiqh apa pun demi merawat dua tujuan utama syariat itu. Yakni menjaga agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal). Imam Ghazali, hujjatul Islam, juga menyatakan hal yang sama, bahwa tujuan syariat Islam adalah menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan. Al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘ani al-munkar.
Sampai di sini, benderang bahwa syariat Islam, fiqh, pahala dan dosa, secara substansial semutlaknya semata beraras pada penegakan-penegakan akhlak yang baik. Tidak ada yang selainnya. Maka, sebaliknya, bila kita memproduksi keburukan-keburukan kepada sesama dan alam, atas nama membela Tuhan sekalipun, demi iman yang menghunjam sekalipun, secara substansial kita sama sekali bukanlah penegak syariat Islam. Kita adalah penghancurnya. Kita adalah anomali.
****
Perihal berjuang menegakkan iman yang terlalu kerap dijungkirbalikkan dalam ekspresi negasi-negasi kepada keyakinan dan ketaklidan yang berbeda niscaya terlunasi penjabarannya bila kita takik dari sudut tasawuf (esoterisme), misal. Fuad Abdurrahman dalam buku “The Great of Two Umars”, meriwayatkan ucapan khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada sekelompok orang saleh dan zuhud yang sedang menggunjingkan siapa gerangan orang yang paling saleh dan zuhud. Umar berkata, “Orang yang paling saleh dan zuhud adalah Ali bin Abi Thalib.”
Pengucapnya adalah sosok khalifah yang sangat dipuja kemuliaan akhlaknya yang merupakan bagian dari Bani Umawi (orang-orang keturunan Muawiyah). Sejarah menderaikan bahwa beliaulah satu-satunya pemimpin dari Dinasti Umayyah yang mengeluarkan perintah tegas kepada semua gubernur untuk menghentikan segala bentuk caci maki dan kutukan yang sebelum-sebelumnya sangat biasa dihujatkan kepada Ali bin Abi Thalib –rival politik leluhur mereka, Muawiyah bin Abi Sufyan. Para khatib yang biasa memungkasi khutbah Jum’at dengan mengutuk Ali bin Abi Thalib –Anda bisa bayangkan massifnya ujaran kebencian sosial-politik-teologis masa itu—diwajibkan menggantinya dengan membaca ayat 90 dari surat an-Nahl. “Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang kalian melakukan perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kalian dapat mengambil pelajaran.”
Kebijakan revolusioner Umar bin Abdul Aziz itu (ini salah satu bentuk bid’ah hasanah) serentak menumpas semua klaim negatif kepada salah satu sahabat dekat Rasulullah Saw. yang merupakan bagian dari Ahli Badar. Fuad Abdurrahman menuturkan bahwa Umar melawan kebiasaan kaumnya masa itu setelah ditegur oleh gurunya, Syeikh Ubaidillah Ibn Abdullah. Guru itu berkata, “Sejak kapan kamu mengetahui bahwa Allah murka kepada para Ahli Badar setelah sebelumnya Allah meridhai mereka?” Umar mengerti maksud teguran gurunya. Rasulullah Saw. pernah mengabarkan secara langsung kepada para Ahli Badar (orang-orang yang terlibat dalam perang Badar) bahwa Allah berfirman: “Lakukanlah apa yang kalian suka, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”
Kedalaman iman kepada Allah yang tidak perlu diragukan lagi pada sosok Umar bin Abdul Azis, ketakzimannya pada sabda Rasulullah Saw., membuahkan kejernihan esoterik yang menghantar kepada keluhungan adab (akhlak). Dengan penuh berani, Umar melawan arus kebencian yang memenuhi galur-galur kehidupan kaumnya masa itu.
Dalam salah satu suratnya kepada gubernur Bashrah, Ady Ibn Artha’ah, Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan: “…hapuskan kewajiban bayar (jizyah) kepada ahli dzimmah (non-muslim yang hidup dalam pemerintahan Islam) dan biarkan mereka memakmurkan bumi…. Ahli dzimmah yang sudah tua, lemah, dan tidak mampu lagi bekerja, beri mereka bagian dari Baitul Mal kaum muslim secara proporsional….”
Semuanya bermuara pada ekspresi kemuliaan akhlak, pemuliaan kemanusiaan, lintas SARA.
****
Semata kita yang ber-KTP Islam, yang jelas-jelas hidup di negeri yang beragam secara keimanan, yang boleh jadi bertetangga, berkolega, dan berbisnis dengan ahli dzimmah (non muslim), yang niscaya bukanlah siapa-siapa perihal iman dan takwa di hadapan Umar bin Abdul Aziz, begitu ruah bagai bah membandangkan caci maki dan serapah kepada mereka yang berbeda keyakinan. Tudingan sesat, kufur, dan ahli neraka dimamah biak dengan riang gembira layaknya mengemut permen lolipop.
Salah satu momen paling ditunggu setahun sekali untuk menista-nista non muslim ialah bulan Desember ini. Momen perayaan Natal. Klaim-klaim sesat dan kafir kepada sesama muslim yang mengucapkan “Met Natal” kepada non muslim yang mungkin saudara, sahabat, tetangga, atau koleganya dikibarkan dengan penuh gairah. Berbagai narasi debatable diuntaikan, mulai yang agak halus seperti “Muslim yang mengucapkan selamat Natal bisa terancam kualitas imannya” hingga yang vulgar seperti “Muslim yang mengucapkan selamat Natal serupa dengan mereka yang kafir, merupakan bagiannya, maka kafir pulalah ia.” Untuk meyakinkan khalayak yang minim literatur, kurang kenal piagam perlindungan yang diberikan Rasulullah Saw. kepada Biara St. Catherine, toleransi yang dijamin oleh Piagam Madinah ciptaan Rasulullah Saw., hingga tepa seliranya Umar bin Abdul Aziz kepada kaum Yahudi dan Nashrani, dinukillah secara sempit makna luas “asyiddau ‘ala al’kuffar” (watak keras kepada kaum kafir) dan hadits tasyabuh (penyerupaan) yang disandarkan kepada Rasulullah Saw.
Di kemanakan gerangan akhlak kepada sesama yang menjadi tujuan utama diutusnya Rasulullah Saw.? Dicampakkan ke mana gerangan keteladanan akhlak luhur Rasulullah Saw. kepada kaum Yahudi dan Nashrani di Madinah yang tertuang dalam konstitusi Piagam Madinah? Dibuang ke mana gerangan keteladanan Umar bin Khattab yang memberikan santunan dari Baitul Mal umat Islam kepada ahli dzimmah yang dhuafa sembari mengatakan: “Betapa tidak adilnya kami; mengambil pajak darimu di saat muda dan menyia-nyiakanmu di saat kamu sudah tua dan lemah” yang kemudian dijadikan rujukan kebijakan oleh Umar bin Abdul Aziz?
Kita beragama Islam tetapi mengapa kita belum berhasil memiliki jiwa Islam? Kita mendaku diri berjuang demi Tuhan tetapi mengapa cara-cara ekspresi kita kepada perbedaan yang merupakan sunnatullah-Nya justru menghancurkan ciptaan-ciptaaNya? Kita mengaku cinta Allah tetapi mengapa kita melecehkan Allah sekaligus dengan menista-nista sesama makhlukNya?
Daripada terus meriuhkan hukum halal/haram mengucapkan selamat Natal yang debatable dan diulang setiap tahun, sampai pada level membosankan, bukankah akan lebih produktif bila kita bermuhasabah saja: “Kok aneh sekali, ya, saya beriman dan berislam tetapi pikiran dan perilaku saya centang perenang antara kualitas iman dengan kualitas akhlak?”
Saya muslim dan mengucapkan selamat merayakan Natal buat kawan-kawan yang merayakannya, semoga kebaikan dan kebahagiaan senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Amin.
Jogja, 20 Desember 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019