Sebuah Perjalanan Mencari Cinta dan Lokalitas (Resensi Kumpulan Cerpen ‘Perjalanan Mencari Ayam’ Karya Armin Bell)

Judul               : Perjalanan Mencari Ayam (Kumpulan Cerita Pendek)

Penulis             : Armin Bell

Tebal               : 141 halaman

Penerbit           : Dusun Flobamora

Cetakan           : I, April 2018

ISBN               : 978-602-51631-0-4

Saya berkenalan dengan Armin Bell pada Workshop Cerpen Kompas 2015 di Bentara Budaya Bali yang diampu oleh Budi Darma dan Gde Aryantha Soetama. Dalam sesi presentasi cerpen, Armin sempat dipuji oleh kedua pemateri karena cerpennya “Sepuluh Genggam Pasir” dinilai memiliki judul dan materi cerpen yang kuat—cerpen yang saya duga kemudian dikembangkan menjadi “Ibu dan Perempuan yang Menangis di Sanur” dalam kumpulan cerpen Perjalanan Mencari Ayam.

Perjalanan Mencari Ayam (PMA) adalah buku kedua Armin Bell yang berisikan tujuh belas cerpennya yang berkisar dari tahun 2012-2017. Sebelumnya ia pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Telinga yang dicetaknya secara self-publishing pada tahun 2011. PMA menampilkan kematangan Armin dalam bercerita dan cara bertutur yang khas yang tentu berbeda jauh dengan periode awalnya ketika menerbitkan kumcernya yang pertama.

Armin Bell berasal dari Ruteng, Flores. Ia mulai menulis cerpen sejak SMA dan tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media. Cerpen-cerpennya selain dimuat di beberapa antologi, juga menjuarai beberapa lomba, seperti pemenang prospektif pada Lomba Menulis Cerpen Obor Award (LMCA) 2013 dan predikat Penulis Cerpen Terpuji dari Anugerah Sastra Litera 2017. Baru-baru ini ia meraih Penghargaan Sastra Litera 2018 kategori cerpen atas cerpennya “Monolog di Penjara”. Di dalam kumpulan cerpen ini, hampir sebagian besar cerpen pernah dipublikasikan, kecuali lima cerpen termasuk cerita “Perjalanan Mencari Ayam” yang memiliki napas yang panjang.

Cerita “Perjalanan Mencari Ayam” adalah yang paling berkesan—bagi saya, tentu saja. Sebab, cerita cinta selalu menarik untuk ditulis dan dibaca pada segala zaman. Sebut saja seperti cinta berbalas suratnya Florentino Ariza dan Fermina Daza dalam Love in The Time of Cholera (Gabriel Garcia Marquez) atau cinta di dunia paralelnya Tengo dan Aomame dalam 1Q84 (Haruki Murakami) atau cinta seumur hidup Mardio kepada Melatie dalam Cinta Tak Ada Mati (Eka Kurniawan). Cinta memang tema yang tak habis digarap. “Kita baca semua yang pernah ditulis tentang cinta. Tapi ketika bercinta, kita dapati bahwa belum pernah ada yang ditulis tentang cinta kita,” tulis Marco Denevi, seorang pengarang Argentina dalam kisah singkat berjudul “Kau dan Aku”[1].

Leon, seorang pemuda pengangguran melihat Daria pertama kali ketika dia juga untuk pertama kali melihat presiden secara langsung. Daria, seorang perempuan memakai kaos putih dengan sarung songke sebagai bawahan, tanpa lipstick yang mengilapkan bibir, tapi Leon menduga bibir itu tak berubah warna sejak perempuan itu lahir (hlm. 2-3). Perempuan itu berhasil merebut dan memenjarakan hati Leon pada pertemuan pertama lantas mereka bertemu di sebuah pesta nikah, sebagaimana kebanyakan orang muda dan mulai memadu cinta sembari melantunkan lagu-lagu Sheila on Seven.

Kisah cinta Leon dan Daria nyatanya tak berjalan mulus. Intervensi orang tua dan standar moral masyarakat memaksa Daria untuk terpaksa meninggalkan Leon dan mengawini seorang duda yang bekerja di instansi pemerintah. Leon yang stres mengabaikan tawaran Daria untuk wendo, kawin lari. Leon kemudian dibantu oleh teman-temannya untuk memproyeksikan cintanya pada seekor ayam pedaging yang jago berkokok. Nahasnya, ayam pedaging yang menjadi bukti cinta Leon malah dicuri orang.

Perjalanan mencari ayam adalah perjalanan mencari cinta yang mampu melawan tradisi. Armin memilih untuk tidak menjadikan Daria kawin dengan si duda seperti Marquez membiarkan Fermina Daza dinikahi dr. Urbino baru kembali pada Florentino Ariza atau Murakami yang menyandingkan Aomame yang sementara hamil dengan Tengo yang berupaya keluar ke dunia nyata atau Eka Kurniawan membiarkan Melatie kawin dengan orang lain lantas Mardio mencari sisa cinta Melatie di tubuh suaminya itu. Armin memilih untuk menutup cerita dengan pembatalan pernikahan Daria dengan si duda. Sebab, anak tertua si duda adalah pelaku pencurian ayam Leon. Hal yang amat dibenci oleh ayah Daria: Tak apa-apa menikah dengan duda. Yang jadi soal adalah kalau kau menikah dengan keluarga pencuri (hlm. 28). Tak diceritakan lebih lanjut apakah Leon menikahi Daria. Armin justru menutup kisahnya dengan bercerita tentang ayam Leon yang kemudian dijual, dan  Leon yang kerap memamerkan rajahan tato di bahu kanannya bertuliskan Daria My Love menggantikan tato tulisan Sheyla on Sevan.

Kelindan polemik konstruksi sosial dan religi kian rumit pada kisah Leon-Daria. Sebanding dengan cerita Marquez tentang cinta Florentino-Fermina yang hidup dalam konteks kekatolikan yang kuat, kisah Leon-Daria muncul dalam konteks yang sama. Dominasi doktrin Katolik tentang perkawinan yang monogami dan tak terceraikan kerap membelenggu tokoh-tokohnya. Dalam kisah PMA, Leon tak berdaya di hadapan tawaran kawin lari (wendo) yang diharapkan Daria. Leon yang bertato dan suka berkumpul dengan orang muda untuk hura-hura, bukan pria puitis semacam Florentino Ariza yang saking romantis dan melankolisnya sampai menulis surat bisnis serasa surat cinta. Saya menikah di Gereja, akan batal kalau kau menculikku, tantang Daria. Tapi berhadapan dengan itu, Leon yang suka duduk-duduk di pos ronda langsung ciut dan lekas menjadi mewek mendengar soal ujian cinta dari Daria. Leon memang yakin dan realistis bahwa ia tak berdaya di hadapan wibawa Gereja Katolik yang tinggi, ditambah lagi tuntutan adat Ruteng dengan budaya patriarkinya menjelma tembok baja yang sulit runtuh sekalipun ditabrak berulang-ulang.

Florentino Ariza sekalipun ditinggal Fermina Daza, tak memproyeksikan cintanya pada ayam atau burung nuri. Gereja Katolik memang melarang perzinahan/fornikasi, toh ia tetap melampiaskan cintanya kepada perempuan-perempuan yang ditemuinya. Setelah Rosalba yang pertama di atas kapal dan selanjutnya beratus-ratus perempuan ditidurinya, dengan berani Florentino berkata kepada Fermina ketika mereka berjumpa di usia tua, “Aku tetap perjaka untukmu.” Hal yang sangat tak mungkin terjadi pada Leon dan Daria, selain karena dengan ruang cerita yang terbatas tapi juga rantai budaya patriarki di Ruteng yang sangat tak mungkin untuk dilepas. Leon lebih memilih ayam sambil menjaga kesetiaan dan cintanya pada Daria.

Struktur dominasi yang berlapis memang agak lebih longgar pada Eka dan Murakami, meskipun bukan berarti jalinan cinta tokoh-tokohnya tidak kompleks. Tetapi Leon dan Daria menanggung beban berlebih dan tak berani membuat keputusan sampai-sampai takut keluar dari zona nyaman kedaerahan mereka. Mereka akan gagap bila teralienasi dari kekerabatan yang telah terjalin bertahun-tahun yang lalu dan harusnya sampai bertahun-tahun yang akan datang. Sehingga ayam bisa jadi adalah proyeksi cinta Leon, tapi juga adalah simbol dan upaya perlawanan untuk mencari celah pada budaya patriarki dan dominasi doktrin Gereja untuk meloloskan cinta yang hampir tak sampai pada hati Daria dan ayahnya. Leon melawan itu dengan caranya sendiri.

Dalam cerpen “Kopi”, situasi perlawanan tercipta antara tokoh Gabriel, seorang petani kopi yang memperjuangkan kebun kopinya sebagai simbol kebutuhan kaum marjinal melawan negara yang dihadirkan melalui tokoh tentara. Sebuah perlawanan yang tak berimbang seumpama parang sebagai senjata melawan bedil. Kopi dalam cerita ini tak hanya sebagai minuman wajib di Manggarai tapi sebagai sebuah paradoks atas kehidupan; dikecam sekaligus dinikmati. Kopi yang diminum dua pemuda LSM yang berikhtiar membantu Gabriel, bukan tak mungkin berasal dari kebun kopi yang dipertahankan para petani kopi yang berdarah-darah memperjuangkan hidup. Tapi, kopi juga tetap hitam, pekat, bukan merah meski darah pernah tumpah di atas batang-batang pohonnya yang ditebang karena merambah tapal batas hutan negara (hlm. 29).

Eloknya, Armin tidak membikin hitam-putih moralitas pada cerita. Petani yang membela nasibnya, tanaman kopi yang dijaga dengan parang, utang keluarga yang harus dibayar diperhadapkan dengan tugas tentara untuk membela negara, dentuman bedil untuk membela diri, dan kepedihan meninggalkan anak yang sakit karena tugas. Masing-masing tokoh memiliki alasan rasionalnya sendiri-sendiri dalam bertindak tanpa intervensi moral dan solusi hitam-putih pengarang, seperti juga kita lihat pada cerpen “Swadaya” dan “Rapat Terbatas”.

***

Cerpen-cerpen Armin tak lepas dari pengolahan lokalitas. Khazanah lokalitas menjadi sumber penceritaan yang kaya bagi penulis-penulis belakangan ini. Bukan cuma dari karya Gerson Poyk, cerpen Felix Nesi dan Dicky Senda atau puisi-puisi Mario F. Lawi, kita mengenal kekayaan dan problematika daerah-daerah di NTT, cerpen-cerpen Armin juga menyajikan lokalitas dengan teknik narasi yang segar. Cerpen Armin bukan penyampaian data-data budaya, tapi menjadi suatu tafsir estetis tersendiri atas dirinya dan juga globalitas yang melingkupinya. Menurut kritikus sastra Melani Budianta, keragaman budaya lokal itu akan menjadi kekayaan estetis yang menarik, bila pengarang Indonesia saat ini mampu mengolah kultur dan subkultur itu dalam karyanya. [2]

Misalkan dalam cerpen “Hujan Satu Oktober”, tokoh aku yang setengah waras—untuk tak menyebutnya gila—sepulang merantau digambarkan hendak bercinta dengan karakter perempuan yang keluar dari cerita karangannya dan menjadi sosok yang dianggapnya nyata. Sejenak kisah ini mengingatkan kita pada cerpen Julio Cortazar “Continuidad de los parques” tentang sepasang tokoh yang keluar dari novel hendak menikam pembacanya. Namun, Armin memilih untuk menghadirkan itu dalam konteks budaya Manggarai dalam nuansa religi Katolik, yakni khasiat air berkat dari Romo Benediktus. Air yang ditampung dari tiap hujan pada tanggal satu Oktober sebagai semacam tradisi romantis Ame dan Ine itu diberkati oleh Romo Benediktus karena dipercaya mampu menghilangkan kegilaan tokoh aku.

Armin juga dengan lincah mengolah cerita rakyat tentang komodo yang menjadi keunikan dunia itu ke dalam cerpen. Armin meminjam mulut si Pencerita untuk berkisah kepada anak-anak yang tak jadi menonton televisi, tentang relasi antara manusia dan komodo yang masih ada sampai hari ini dalam cerpen “Hari-Hari Ora yang Diceritakan”. Dalam cerpen “Dua Ibu”, Armin juga membandingkan cinta tokoh aku pada anaknya, Awang seperti cinta Epa kepada Ora, kadal yang diasingkan di hutan seperti dalam legenda Komodo itu. Di tangan Armin, lokalitas menjadi materi yang kaya untuk mendukung bangunan cerpen sekaligus menyampaikan pesan secara utuh kepada pembaca.

Selain menghadirkan lokalitas sebagai kekayaan, Armin juga menghadirkan ketegangan antara tradisi dan modernitas, bahkan juga dengan cara mengejeknya. Tokoh Sambu dan Landu dalam cerpen “Tugu di Tengah Kampung” menciptakan suatu berhala baru di atas kepercayaan asli penduduk bahwa siapa saja yang menyebut tugu di tengah kampung itu berhala, akan mati tak wajar beberapa waktu setelahnya (hlm. 79). Nyatanya, banyak korban yang berjatuhan sebagai akibat sabotase dan rencana jahat persekongkolan mereka dengan Ata Mbeko, orang pintar di kampung itu yang selain untuk mendapatkan dana pemerintah demi kelangsungan ritual, tapi juga agar tetap melanggengkan modus berhala yang salah atas tugu itu. Bukankah ini juga mengingatkan kita akan kasus pasal penistaan agama yang karet itu?

Lokalitas dalam cerpen-cerpen Armin di dalam kumpulan ini tidak terlepas dari unsur globalitas yang ada, bahkan saling memperkuat dan lokalitas itu dilihatnya pula melampaui dimensi batas demi memungkinkan tafsir estetis pada tradisi yang ada.

***

Penerbitan kumcer PMA ini menjadi berkesan karena menandai awal berdirinya Penerbit Dusun Flobamora yang dikelola Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Komunitas ini dikepalai oleh Romo Amanche Frank, dan termasuk di dalamnya bergabung penulis-penulis seperti Mario F. Lawi, Dicky Senda, dan Abu Nabil Wibisana untuk menyebut beberapa nama. Perjalanan Mencari Ayam adalah buku pertama yang diterbitkan menyusul beberapa buku seperti kumpulan dialog satire-jenaka Cerita Romo dan Frater karya Romo Sipri Senda, kumpulan cerpen Dongeng dari Kap Na’m To Fena hasil karya kelas penulisan yang diadakan Komunitas Lakoat Kujawas yang digawangi oleh Dicky Senda, dan buku-buku menarik lainnya yang berada dalam jadwal antrean.

Pada akhirnya, ungkapan cinta Leon kepada Daria yang seluas langit dan laut biru digabung menjadi satu juga membahasakan cinta Armin akan sastra dan lokalitas daerah Ruteng, cinta kita pada cerpen-cerpen Armin dan cinta semua pihak pada penerbitan kumcer ini. Semoga.

[1] Dikutip dari Matinya Burung-Burung, kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin, terjemahan Ronny Agustinus: Moka Media, 2015.

[2] Dikutip dari https://agusnoorfiles.wordpress.com/2015/01/26/lokalitas-dan-metropolitas-dalam-sastra-kita//

Saddam HP

Comments

  1. Adelia nur wijaya Reply

    Hujan satu oktober

  2. Kezia Miracle Reply

    Rapat terbatas

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!