Judul: Alkudus
Pengarang: Asef Saeful Anwar
Cetakan: I, April 2017
Tebal: 268 halaman
Penerbit: Basabasi
ISBN: 978-602-61160-0-0
1
Pada mulanya adalah harapan
Kocok tiga butir telur. Tambahkan tiga sendok makan susu. Beri garam sejumput, kaldu bubuk secuil, lada seiprit. Panaskan minyak atau mentega, lalu tumis sedikit bawang putih, bawang bombai, sebiji tomat, sosis yang dipotong tiga, dan daun bawang secukupnya hingga harum, lalu tuang kocokan telur sambil diaduk. Ketika mulai memadat; telur bisa dilipat, digulung, atau dibiarkan bulat. Balik dan sajikan.
Pertama kali membaca sinopsis di sampul belakang Alkudus, saya mengira novel ini punya modus serupa dengan resep masakan di atas. Gantilah omelet dengan agama, maka pembaca akan menemukan tata cara menciptakan agama disertai cerita perjalanannya dalam menyelamatkan manusia dari kegelisahan dan disorientasi.
Tidak mudah memang. Namun andai Ludwig Feuerbach benar, bahwa Tuhan merupakan buah angan-angan manusia, maka agama tentu bisa pula diimajinasikan oleh seorang pengarang; dibuat dalam sebuah rumusan meyakinkan, tapi sama sekali baru, dalam artian, memiliki keterpengaruhan yang tipis, bahkan kalau mungkin, lepas dari agama-agama non-fiksional yang telah mapan dalam peradaban manusia. Pembaca akhirnya bisa menikmati sebuah aliran narasi tentang agama Kaib yang fiktif, tanpa perlu membanding-bandingkannya dengan agama yang memang eksis di dunia nyata; itu harapan saya.
Terdiri dari 24 Bab berisi frasa, kalimat, atau gabungan kalimat yang dinomori layaknya ayat-ayat kitab suci, novel ini terlihat eksentrik. Setiap Bab meminjam bentuk Surat sebagaimana yang biasa kita temukan dalam kitab suci al-Qur’an. Bab dengan ayat paling sedikit adalah Bab I (Ladang dan Biji, 9 ayat), dan yang paling banyak adalah Bab 16 (Drakem, 234 ayat). Redaksionalnya cenderung didaktis dengan sudut pandang orang pertama silih berganti menggunakan kata ganti “Aku” dan “Kami”.
Kembali pada harapan awal di atas, apakah Alkudus memenuhi imajinasi saya tentang munculnya suatu agama yang sama sekali baru? Jawabnya: tidak. Dan agaknya, memang bukan itu misi yang dihela sang novelis, Asef Saeful Anwar, saat menulis buku ini.
2
Yang Ada Tercipta dari yang Ada
Adalah Dama dan Waha, dua manusia pertama yang diciptakan Tuhan. Dama diciptakan lebih dulu, langsung memantik kegelisahan para malaikat, dan mengundang kegusaran Iblis. Kegelisahan malaikat ditanggapi Tuhan dengan firman yang mengandung kalimat bersayap, sementara kegusaran Iblis diresponsNya dengan menendang makhluk yang sebetulnya haus kasih sayang itu dari Surga.
Tuhan mengajari Dama nama benda-benda, berikut fungsi dan sifatnya. Tak berapa lama diciptakanlah Waha sebagai pasangan Dama. Keduanya kemudian digoda iblis untuk memakan buah terlarang di Surga. Tuhan menghukum Dama dan Waha dengan menurunkan mereka ke Bumi. Selama beberapa lama terpisah, sejoli itu akhirnya bertemu kembali, beranak pinak, anak-anak mereka bersaing dan berbunuhan, menikah, beranak pinak, dan seterusnya.
Sampai di sini kita dapat mengenali bahwa Alkudus bukan hanya mengambil bentuk, melainkan juga kisah-kisah dalam kitab suci agama Judaisme, Kristen, dan Islam; yang dikumpulkan lalu dimodifikasi sana sini. Berkebalikan dengan prinsip-prinsip kreasionisme yang diyakini banyak agama di dunia, Alkudus tercipta dari apa yang telah ada, bukan dari yang tiada.
Kita, misalnya bisa membandingkan tokoh Yahmur dengan Nabi Ibrahim As., Baras dengan Nabi Ayub As., Filasiah dengan Siti Maryam (Bunda Maria), Saiy dengan Nabi Isa As., dan Erelah—kecuali kenyataan bahwa ia seorang perempuan—dengan Nabi Muhammad Saw.
Dalam pembacaan yang lebih lanjut, agama-agama di luar tradisi Abrahamik pun ikut ambil bagian dalam menyumbangkan ajaran masing-masing; dari Zoroastrianisme, Buddha, Hindu, Confucianisme, Baha’i, Scientology, hingga agama-agama yang oleh para pemeluknya tak ingin disebut sebagai agama, macam: sosialisme, anarkisme, feminisme, enviromentalisme, semiologi dan sebagainya.
Penulis buku ini saya kira tidak hendak menyajikan suatu agama atau aliran kepercayaan baru, melainkan tafsir ulang atas ajaran-ajaran agama dari dunia nyata. Beberapa tafsir malah seperti gugatan, bahkan koreksi atas nilai-nilai agama non-fiksi yang rentan penyimpangan, disertai kritikan mengenai cara beragama umat manusia belakangan ini.
Diceritakan, misalnya, Waha, yang dapat diparalelkan dengan Hawa dalam tradisi Abrahamik, diciptakan dari tanah yang sama dengan yang dipakai Tuhan untuk menciptakan Dama (semacam Adam dalam agama-agama Samawi). Ini berbeda dengan apa yang diisyaratkan al-Qur’an, bahwa Hawa diciptakan dari tubuh Adam, atau secara spesifik, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian, dari tulang sulbinya. Efek yang ditimbulkan dari ini adalah adanya kesan egaliter antara lelaki-perempuan dalam ajaran agama Kaib. Semacam antitesis dari apa yang selama ini dipahami secara patriarkis dalam agama-agama Abrahamik bahwa perempuan, sepenggal tulang bengkok yang rentan retak itu, tak lebih dari sekadar subordinat; bagian tubuh yang harus senantiasa dijaga dan diluruskan, dan tidak memiliki urgensi untuk bergerak maju. Menghadirkan sosok perempuan pertama yang berasal dari bahan yang sama dengan lelaki pertama adalah semacam gugatan atas narasi besar tentang relasi gender yang berkembang dalam agama-agama terbesar di dunia masa kini.
Kesan ini kemudian dikuatkan dalam bagian lain perihal larangan membeda-bedakan peran lelaki-perempuan dalam masyarakat. Lelaki tidak hanya bertugas sebagai pekerja, sementara perempuan tidak boleh melulu menjadi pendoa. Semua peran boleh dibagi dan dipertukarkan tergantung kemampuan tanpa memandang ekspresi gender masing-masing. Aroma feminisme makin kuat dengan dijadikannya Erelah yang seorang perempuan sebagai nabi terakhir dalam agama Kaib. Kejadian ini jelas-jelas tak punya preseden dalam agama Abrahamik, yang malah dalam berbagai kesempatan, kerap memperlakukan perempuan yang mengaku nabi atau orang suci sebagai aib atau ancaman yang harus diringkus dan dimusnahkan.
Gugatan lain, misalnya dapat kita temukan dalam penyebutan Rihat sebagai malaikat yang menjaga matahari dan dapat memulai kiamat ketika waktunya tiba. Dalam ajaran Islam posisi ini dipegang oleh malaikat Israfil. Namun, berbeda dengan Israfil yang meniup sangkakala, Rihat memecahkan matahari sebagai ketukan palu perceraian antara semesta dengan segenap makhluk yang mendiaminya. Laku ini seolah hendak menyejajarkan diri dengan teori-teori fisika kuantum tentang bagaimana semesta memasuki masa kedaluwarsa sebelum sirna sama sekali.
Upaya untuk berada segendang sepenarian dengan sains terlihat pula penggambaran Dessal, malaikat yang berlari untuk membuat bumi berputar pada porosnya; terdengar seperti penolakan atas sejumlah ayat Abrahamik yang bila dibaca secara literal akan mengindikasikan bumi sebagai planet yang datar, bergeming, dengan matahari serta benda-benda angkasa lain mengitarinya serupa ritus pemujaan sebuah agama kuno.
Kitab ini juga memiliki tendensi untuk menjawab sejumlah problem manusia kekinian. Misalnya tentang bagaimana menangani pertengkaran di antara pasangan yang sedang ngambek (4:148-159), larangan untuk bersikap kepo (7:1-6), dan larangan mengolok-olok orang yang belum punya anak setelah lama menikah (8:1-14). Sebagai kitab suci, Alkudus sangatlah kekinian.
3
Pertanyaan Kepada Akal
Dalam dunia penulisan fiksi, didaktisme adalah cacat yang fatal; jalan licin yang menggelincirkan ide-ide brilian hingga terperosok dalam jurang mediokritas. Taburan pesan moral yang ditampakkan secara verbal, merupakan tanda kepayahan seorang penulis fiksi. Karya-karya semacam ini akan menghasilkan cemooh yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Kalau cuma ingin menggurui tidak usah bikin novel, bikin buku khutbah Jum’at saja.”
Sekarang, bagaimana jika novel yang ditulis tersebut benar-benar mengambil bentuk kumpulan khutbah bahkan, dalam kasus Alkudus, sebuah kitab suci? Taburan aforisma dan kalimat-kalimat rentan kutip tersemat di banyak bagian. Dan ini merupakan syarat untuk menguatkan logika bentuk penceritaan. Ujian tidak lagi dipikul sendiri oleh penulis, tetapi diserahkan kepada pembaca. Mampukah pembaca bersabar dan bertahan dengan narasi seperti ini? Sejak awal, Alkudus membuka dirinya sebagai sebuah kitab suci rekaan, lengkap dengan silsilah para nabi dan catatan-catatan kaki yang menjelaskan Asbabun Nuzul atau penyebab turunnya masing-masing ayat, diselingi Sabda Suci yang dalam tradisi Islam sepangkat dengan Hadist.
Secara eksperimental gaya antiplot semacam ini bukanlah hal baru. Seni prosa modern cukup sering diwarnai novel-novel dengan gaya penceritaan anti-mainstream. Milorad Pavić menulis novel Dictionary of Khazar yang berbentuk kamus, Peter Zilahy dengan The Last Window-Giraffe yang berbentuk ensiklopedia, Alain de Button menulis On Love yang bergaya esai filsafat, Martin Suryajaya menulis Kiat Sukses Hancur lebur yang kelihatan seperti buku motivasi seorang pemabuk.
Namun, dibanding bentuk-bentuk lain tersebut, membuat kitab suci fiktif bisa menjadi lebih berisiko. Pertama dan kedua adalah soal didaktisme dan kejemuan seperti yang sudah disinggung di atas. Ketiga, adalah rentannya fiksi semacam ini mendapatkan reaksi keras dari para fanatik dan pembaca letterlijk di luar sana. Saya kadang membayangkan, apa yang kira-kira terjadi andai kata saat ini Asef Saeful Anwar menjadi tokoh publik atau politik yang dikenal luas masyarakat, atau paling jauh ikut sebuah pemilihan kepala daerah? Apakah label penista agama akan juga dilekatkan padanya?
Seorang Asef, menurut terkaan saya, tidak akan memedulikan kecaman keras orang-orang yang tak bisa membedakan mana fiksi mana fakta, atau yang menganggap gugatan dan kritikan sebagai sebuah hinaan. Yang paling penting baginya adalah bagaimana mendamaikan pemikiran-pemikiran besar—berdasarkan wahyu atau penalaran pribadi—ke dalam suatu wacana yang saling memahami. Terutama di kondisi seperti yang sedang dihadapi masyarakat belakangan ini, yaitu kondisi perpecahan dan polarisasi akibat perbedaan yang sebetulnya telah ada berabad-abad lamanya. Perbedaan yang kemudian, oleh politik praktis yang tidak sehat, dipecahkan jadi gelombang-gelombang kebencian. Gelombang kebencian yang kemudian dikuatkan oleh aksi segelintir orang yang merasa tafsirannya atas Tuhan adalah yang paling sahih dan suci.
Mengutip apa yang pernah dikatakan intelektual muslim NU, Ulil Abshar Abdalla, dalam sebuah tulisannya di jejaring Facebook, di tengah maraknya multikulturalisme saat ini, polemik antar agama sudah dipandang sebagai sejarah masa lampau. Yang paling penting adalah untuk membangun saling pengertian.
Asef Saeful Anwar, dengan Alkudus-nya, melakukan upaya saling pengertian ini lewat sastra. Berhasil atau tidak, itu berpulang kembali kepada pembaca dengan kedewasaan dan akal sehatnya masing-masing.
Sebagaimana firman Tuhan agama Kaib dalam Alkudus Surat Diris Ayat 105: Sebaik-baik pertanyaan adalah yang ditujukan kepada akal.***
- Sebuah Pertanyaan Terhadap Akal - 26 August 2017
- Tadi Tidur di Mana? - 18 August 2017
- Puisi-Puisi Jamil Massa; Kepergian Seorang Penari - 21 March 2017
Novi
Ketika penulis adalah seorang yang berani, tentu juga demikian untuk pembaca. Harus berani bertanya pada akal setelahnya.