Warung kopi (warkop) sudah banyak bermetamorfosis menjadi kafe. Maksud saya, jumlah kafe sekarang semakin banyak sedangkan warkop malah banyak yang mengkeret. Pertanda apakah ini? Warung burjo yang dulu mudah ditemukan di sudut-sudut kota Jogja, sekarang namanya pun berganti Warmindo dan burjo menghilang dari daftar menu. Di dunia ini, tidak ada yang benar-benar berjaya rupanya. Dulu, SMS begitu digdaya, mengalahkan surat cetak yang butuh 15 hari saat pertama kali dikirim dari kantor pos untuk sampai ke Amerika, sedangkan SMS hanya butuh waktu kurang dari 3 detik. Lalu, SMS dikalahkan oleh BBM, dan BBM digusur oleh WhatsApp. Semua kurun waktu itu singkat sekali.
Demikianlah, sunnatullah memang tidak dapat dilawan. Jadi, tidak perlu ada yang perlu benar-benar dirisaukan dalam hidup kecuali hanya sebatas wajar saja. Betapa profan isi dunia ini hingga yang berjaya di pagi hari, bisa bangkrut di malam harinya.
Apa beda warkop dan kafe? Masukilah, definisinya ada di kedua tempat itu. Namun, untuk menjelaskannya secara gamblang, itu gampang. Warkop itu singkatan dari warung kopi, tapi juga menjual nasi pecel, sedangkan kafe jualan kentang goreng dan makanan ringan. Di warkop, biji kopi disangrai di atas wajan, di kafe, biji kopi masuk ke roasting machine atau oven; di warkop, biji kopinya produk tumbukan, di kafe berasal dari mesin grinder. Beda-beda istilah saja, English dan Indonesia. Namun, warkop dan kafe sama-sama menjual cappuccino. Bedanya, cara bikin cappuccino di warkop cukup dengan menyobek bungkusnya seperti menyobek sampo, sedangkan di kafe harus repot pakai alat ini dan itu. Jadi, tak perlu mengeluh soal harga, jelas beda, sebab orang kita sudah tahu bedanya warkop dengan kafe sekalipun mirip-mirip, seperti mereka tahu perbedaan Carry dan Camry.
Soal kopi, saya termasuk penggemar, penikmat semata, tapi sangat jarang masuk ke warung kopi. Satu di antara warkop yang pernah saya singgahi adalah sebuah warung di daerah Pademawu, dekat Masjid Sotok, Pamekasan. Yang awal mula membuat saya tertarik terhadap warkop ini adalah walaupun warung ini kecil dan agak kotor, bangunannya buruk, dindingnya banyak yang bolong, tetapi tamu-tamunya selalu banyak. Saya butuh waktu lama mengintai untuk sampai pada kesimpulan ini.
Peristiwa ngopi di warkop dekat masjid ini memang terjadi beberapa tahun lalu. Kala itu, pagi sekali, sekitar pukul 6 lewat sedikit, saya duduk di ujung bangku panjang warung tersebut. Seperti seorang pelancong yang tidak tahu arah jalan, saya memesan secangkir kopi untuk memulai pembicaraan. Namun, busana dan tampang, mungkin juga gerak-gerik saya, membuat lelaki berpeci haji bermotif sulam emas dan mengenakan celana pendek itu terangsang untuk menanyakan dari mana asal saya.
Merupakan kebiasaan masyarakat Madura (sebab beberapa kali saya memperhatikan hal ini): jika Anda menanyakan alamat kepada sekelompok orang yang sedang berkumpul, umumnya mereka akan menjawab serempak, saling menunjukkan dan hampir bersamaan. Akibatnya, ketika saya bertanya arah jalan, saya tidak mampu membagi lirikan mata untuk suara di satu mulut dan suara satunya di mulut yang lain karena 2-3 orang yang ada di warung kopi itu ngomong semua, menunjukkan arah semua. Betapa “ghateh” (grapyak) mereka itu, demikian hati kecil saya berkata.
Kopi sudah disuguhkan dalam sebuah cangkir keramik kecil. Di bawah lepek tertera jenama yang sangat terkenal, “Sango–Made in China”. Saya mengelih. Tampaknya, biji-biji kopi itu baru disangrai dan ditumbuk. Aromanya masih semerbak dan kuat. Saya pun menduga, biji kopi ini hasil tumbukan, manual, bukan hasil gilingan mesin mengingat tampak “sa’ar” (biji kopi yang tidak terlalu halus dan tidak larut/mengendap; kemerumpul) yang memenuhi permukaan.
Saat ini, banyak kafe bermekaran di kota-kota besar. Konon, kebutuhan kopi dunia terus melonjak. Indonesia mungkin tidak akan perlu ekspor kopi dua tahun mendatang, kata Lia Zen, sudah bakal habis untuk kebutuhan negeri sendiri. Pernyataan ini tentu bukan asal ngomong sebab Lia sendiri adalah seorang aktivis kopi sekaligus juga konsultan kafe.
Yang patut juga diperhatikan, pertumbuhan kebutuhan masyarakat terhadap kopi dapat dibukukan sebagai naiknya daya beli atau apakah semacam indikasi bahwa selera masyarakat telah berubah secara besar-besaran? Yang dulu nongkrong di warkop seperti di warung dekat masjid Sotok itu, kini nongkrongnya juga pindah ke kafe. Yang mengkhawatirkan dari fenomena ini pun juga ada, yakni daya tahan manusia untuk bergosip: makin kuat, makin lama. Dengan fasilitas Wi-Fi yang disediakan oleh pemilik kafe—satu hal yang tidak ada di warkop pada umumnya—ketika seorang pengunjung kafe membayar 4–5 ribu itu bukan berarti semata-mata membayar harga kopi, tapi juga membayar harga suasana dan juga harga kouta yang dia akses.
Saya menyeruput kopi sehirup lagi, berbarengan dengan seorang lelaki berseragam cokelat muda, dibalut jumper abu-abu, yang masuk, duduk, dan memesan kopi.
“Kok pagi sekali, Di?” tanya lelaki berpeci sulam emas yang duduk di dekat saya kepada yang lelaki yang baru datang.
“Iya. Ada urusan sebentar.”
“Kalau ada tugas mengajar, langsung berangkat ke sekolah, jangan jualan ayam dulu.”
Yang bertanya barusan meneruskan ucapannya diiringi tawa kecil. Sementara lelaki berbaju seragam cokelat muda diam saja, mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Dari pembicaraan dua arah ini saya tahu kalau lelaki yang baru datang tersebut adalah seorang guru yang mungkin kebetulan juga nyambi jualan ayam.
“Yah, kalau sudah dapat sertifikasi kerjanya yang betul. Jangan datang ke kelas pukul 8 dan masih suka pulang sebelum Zhuhur,” Satu suara menimpali.
“Iya. Sekarang cuma namanya saja dapat sertifikasi, kerjanya tetap sama dengan sebelumnya, tidak ada perubahan.” Lelaki ber-jumper itu menjawab, seperti membela diri.
“Kalau aku malah kasihan sama si sukwan-sukwan (sukarelawan) itu. Pukul 6 pagi sudah di sekolah. Mereka terima tugas ganti dari si penerima sertifikasi. Guru bersertifikasi malah pulang lebih awal. Tugasnya diberikan pada si sukwan.”
Dalam hati saya membatin, terus terang, tampang orang yang mengenakan celana pendek ini mirip—maaf kalau saya sebut—pengayuh becak, namun omongannya mirip orang dinas dari sebuah direktorat jenderal di Kemendiknas. Bedanya, dia hanya cukup mengenakan celana pendek untuk mengucapkan kata-kata bijaksana ini.
Dan kita tahu, kata-kata bijak itu muncul dari mana saja, oleh siapa saja. Akan tetapi, yang menyampaikannya akan turut menentukan, seberapa efektif kata-kata tersebut mengandung kebijakan atau mengundang kebajikan. Sebab itulah, ketika mendengarkan kata-kata bijak, bahkan anggaplah itu sebuah hadits, seorang muslim tetap akan menerimanya sebagai kebenaran, namun belum tentu dapat menerimanya dengan penghayatan. Artinya, ia hanya akan mendengarkan sebuah ungkapan yang bijak namun tidak mengubahnya menjadi lebih bijak karenanya.
Sama seperti itu, ketika saya mendengarkan pernyataan dari seorang pakar kopi bahwa kafein kopi dapat memacu detak jantung lebih cepat dan hal itu justru baik asalkan pada takaran yang benar, saya akan lebih mudah mengamininya ketimbang saat saya mendengarkannya bukan dari pakar kopi, semisal mendengarkan dari orang yang baru belajar minum kopi cuma ngomongnya sudah ke sana-kemari karena bermodalkan Wikipedia. Dengan analogi yang sama, contoh ini dapat dijajarkan dengan contoh ajaran persoalan-persoalan agama yang disampaikan oleh bukan ahli agama. Teks tetap akan diterima, tetapi tunggu dulu soal apakah ia dapat dipahami dengan benar dan dijalankan atau tidak. Maka, yang paling tepat adalah mendengarkan pernyataan yang benar dari pakarnya.
***
Matahari mulai naik. Jalanan semakin ramai. Saya beranjak dari kursi dan membayar harga secangkir kopi.
“Seribu,” kata ibu tua penjaga warung.
Setelah membayar, mengucapkan salam, saya pun melangkah ke arah sepeda motor. Masih sempat saya dengar lanjutan perkataan tambahan dari lelaki tadi, “Sertifikasi cuma demi duit. Uangnya diambil, kerjanya tetap sama seperti yang sudah-sudah.”
Setelah saya menyalakan mesin dan menjalankan sepeda motor, saya tidak tahu apa lagi yang akan disampaikan lelaki setengah baya itu. Yang jelas, pagi itu, saya melepas seribu rupiah untuk secangkir kopi dan sebuah pelajaran penting tentang “sertifikasi guru” dari seorang lelaki berpeci haji namun bercelana pendek. Dia adalah lelaki yang omongannya mirip orang dinas dari sebuah direktorat jenderal di Kemendiknas. Bedanya, dia hanya cukup mengenakan celana pendek untuk mengucapkan kata-kata bijaksana ini.
- Puisi M. Faizi - 14 May 2024
- Menerjemahkan Kemustahilan - 22 October 2020
- Akal Sehat: Antara Akal yang Logis dan Hati yang Sakit - 14 October 2019
M Faizi
danke banyak dan terima kasih
Mohammad Iqrom
Tulisannya renyah, kyai. Semoga terus dilancarkan berkarya, dan semoga pula saya bisa mengikutinya. Amin.