
Tuhantu
seperangkat Senin tiba-tiba datang,
melompat dari almanak di linimasa ini
empat akar berpilin
tak kunjung tiba di ini kamar,
padahal kutunggu ia sampai rasa
kantuk hampir tandas diteguk secangkir kopi
di tempat shoping,
Yu mengenakan mata kiriku untuk memindai warna.
katanya aku ini mirip pacarnya
yang jadi buruh di negeri tetangga
25 butir tema chatting, buyar di lantai basah.
apa
yang lebih besar dari angan, selain ingin. apa
yang lebih lebar dari pandang, selain bimbang. apa
yang lebih tinggi dari mimpi, selain dengki. apa
yang lebih akbar dari Tuhan
– diam-diam kau bilang hantu!
Mataram: katalisator Gustu-mereka, Yu bilang
lawan dan kawan: patahan bimetal di lantai 2 mall baru
si seksi partner song bilang, “sungai akbar cyber-ruang remaja: sungai tanpa dasar!”
di linimasa ini
Senin nyemplung ke dalam botol jadi vodka
di sini-sana, papi-mami
tidak ngeh telah kehilangan selaput dara putrinya
di jejaring sosial,
para pemabuk membikin kitab suci
dengan bahasa mereka
sendiri. “kami ini tuhan kecil.”
2015
Kau dan Kami
matahari 17:40
ada matamu mengintai dari celah rimbun daun-daun
merah; seperti darah menstruasi pertama gadis SMA
merah; seperti dua buah bola neraka
mungkin kau pikir aku dan Yu belum sampai di kubur ibumu
tubuh kami telah dua jam lamanya dikerumuni batu-batu nisan
seperti dua butir gula pasir di sarang semut pinggir jalan
mungkin kau pikir aku dan Yu tidak ngeh setiap kau buntuti kami dari jarak yang kau anggap aman
yang tidak kau tahu dari kami:
kami ini pandai mengendus, seperti tokoh-tokoh dalam sinetron Ganteng-Ganteng Srigala
mengendus bau tubuhmu yang mengepul sampai ke alam mimpi kami
yang bikin malam-malam kami jadi tidak nyaman lagi untuk dihuni
yang kau tidak tahu dari kita:
kau dan kami tidak akan pernah saling mempersilakan duduk untuk minum bir di tengah Senin
kau minum bir sendiri. kami minum bir tidak sampai lupa diri
yang bikin aku dan Yu resah sampai sore:
dengan doa paling panjang pun, kami belum bisa membujuk Tuhan untuk tidak membiarkanmu leluasa jadi bayang-bayang kami di Gunungsari
2015
Sejumlah Peristiwa yang Hilang
kemarin di belakang rumahmu itu, Ram. aku kehilangan sejumlah peristiwa yang sore ini memantul-mantul dalam kepalaku
andai bisa Tuhan kabulkan, aku minta itu diulang. agar aku bisa menangis dalam kesedihan yang manis. agar aku bisa gembira merayakan masa-masa menjelang tua
tapi bisa apa aku, Ram. jarum jam sudah berangkat sekian putaran. berangkat tidak untuk kembali ke asal
ya, dalam risau separah ini, aku putuskan untuk pulang dari hening jalan panjang ini
2015
Setelah Gerimis
benar yang kau bilang kemarin itu, Ram
setelah gerimis sabtu ini, tidak tampak lagi tukang pos datang mengantar surat ke alamat paling tua di seberang jalan sriwijaya itu
di samping mushola, perempuan yang kita panggil Yu itu, membisiki aku: “tiap-tiap alamat hanya akan membawa seseorang memasuki dongeng muram. tidak menuju pulang.”
ini semacam perang rahasia yang tidak akan pernah selesai, pikirku. di sisi lain, aku yang diam-diam dibaptis di belantara mataram ini; tetap saja menyimpan keraguan yang kemarin; sebab sebagai tamu di rumah orang, ada semacam skejul menampung urusan-urusan pribadiku. ya, persis seperti yang pernah kau bisik padaku di gunungsari dulu itu, Ram
2015
Minggu Sore-Sore
tiap minggu sore-sore
dapat kau lihat sepasang garis merah melintas di atas kepalaku
terang sekali. seperti api
jika sudah begitu; kututup jendela dan pintu
kupanggil Yu, yang bersedih di depan jarum jam
dia pun bilang, “kita mesti berkemas. tidak ada alasan untuk tidak berangkat ke sarang mereka.”
kami berpandangan
sampai akhirnya pada diri masing-masing, kami berucap, “aku tidak sendiri.”
2015
Yu
di Udayana Minggu pagi
ia pelihara burung-burung pada sisi dalam pahanya
sejak musim gugur turun di tanah kelahiran
belakangan ini
ia tak risih pada mereka yang datang dari Sesela dan Kekeri
“sering seringlah datang kemari, Yu, agar tak mati burung-burung itu; sebelum tua usiamu,” begitu mereka selalu bilang
Yu acuh saja
sebab ia hanya merayakan romantisme musim gugur
“burung sekadar jalan mencapai awang,” bisiknya pada diri
radiasi suhu tubuh bikin layu bunga-bunga di kepala
gugur ke arah persemayaman tali pusar
ia tak peduli
musim gugur di Udayana Minggu pagi
Yu menggembalakan burung-burung
burung-burung yang menetas dari dalam kepala mereka yang datang dari Sesela dan Kekeri
2014
Pengusung Matahari
dari selatan, mereka mengusung matahari menuju Dopang, atau mungkin juga ke Guntur Macan. tubuh letih sisa-sisa perang. bau hari, lekat. angin sudah tak bersuara lagi di atas kepala. peluh menghamdallahi. mereka tak mengeluh atau sekadar berbagi tentang rupa luka; sebab sejak lepas dari rahim, tak pernah tubuh mereka dihinggapi tato bermotif luka. cukup bagi mereka matahari, menghepiendingkan cerita
ini kemenangan di bawah naungan matahari. kemenangan kesekian. setara usia mas kawin di genggaman inaq. ini kegembiraan temurun-turun di tubuh tahun. bermuara di ketukan terakhir pada pintu, sehabis salam yang diucap pelan
sebagian mereka tidak mengganti pakaian. lampu-lampu dinyalakan
2014
- Sejumlah Peristiwa yang Hilang; Puisi Gustu Sasih - 24 November 2015
Muara Ibrahim Husein
Taraf kusir naik dan kuda semakin melarat, air liur yang menetes saat teradang berlari dicambuk telah mengucur darah…