Selasa Wage

paulbondart.com

Kabut masih mengambang di Pegunungan Muria. Mengambang dan melayang menuruni bukit-bukit, menyelimuti pepohonan. Ia membungkus lembah, menjadi hamparan kapas tipis yang terbang ringan seperti impian. Kabut Muria yang terus menggantung di kedalaman mata Markonah.

Kesedihan ditinggal lelakinya, Sukri, menuju negeri di atas langit, membuat Markonah sunyi.  Sunyi seperti gunung. Mungkin sunyi untuk seumur hidup. Ia masih ingat, Sukri mati pada hari Selasa Wage. Pada hitungan  neptu 3,  pasaran 4, yang  jika dijumlah akan jatuh pada hitungan 7.  Markonah orang Jawa. Ia tahu bahwa Selasa Wage, hitungan 7,  akhirnya harus dianggap sebagai hari celaka. Hari taliwangke,—hari kematian anggota keluarga, yang tulahnya berlaku bagi dirinya dan anak-anak.

Orang Jawa tak pernah bepergian pada hari yang dianggap celaka. Orang Jawa tak akan pernah memulai sesuatu yang baik pada hari yang dianggap sial. Membuat rumah, melamar gadis, mengawinkan anak, dan semua hal baik yang sepantasnya dilakukan. Hari celaka adalah hari yang harus dihindari.

Selasa Wage kuwi dina taliwangke, dina cilaka, tumraping keluarga awake dhewe,”  begitu selalu nasihatnya pada anaknya, Sukardi. Markonah tak pernah bosan mengingatkan, mengulang-ngulang nasihat serupa pada semua anaknya. Ia tak ingin anak-anak, termasuk yang paling bungsu, mengalami hal serupa. Mendapat kesialan lantaran ketidakmengertian. Meski ia tahu, anaknya pasti  membantah. Sukardi, dan juga yang lain, selalu mengatakan bahwa semua hari itu sama.

“Selasa Wage, Selasa Wage, selalu itu yang diomongkan Ibu. Aku bosan,” begitu  ucap Sukardi sambil pergi meninggalkan ibunya. Markonah hanya menghela napas. Ia kadang heran pada zaman yang sudah mulai berubah. Anak-anak seperti sengaja menyepelekan nilai-nilai yang telah diwariskan para leluhur. Anak-anak yang entah kenapa, memilih untuk tidak percaya jika ibunya tengah berbicara. Mungkin sebagai seorang ibu, ia sudah dianggap terlalu bodoh.

Maka hanya kesibukan yang mampu menghibur Markonah. Di dalam gundukan arang kayu, tempat satu-satunya dunia yang masih menghargainya. Tempat di mana ia bisa bicara sendiri, sambil memilah-milah arang kayu yang sudah matang untuk dijual. Arang kayu Markonah yang dikenal memiliki kematangan sempurna untuk berbagai keperluan,—terutama para pedagang sate, mi Jawa, serta pedagang angkringan yang biasanya akan berdatangan pada hari menjelang sore. Arang kayu berwarna hitam mengilat, keras dari kayu terpilih. Keahlian Markonah yang diwarisi dari suaminya, Sukri,  sebelum  suaminya terbang menuju negeri di atas langit. Negeri yang entah kenapa, ia percaya bahwa tempatnya di atas Gunung Muria, di atas kabut yang selalu ia pandangi dengan sunyi.

Sebab di sanalah, di lereng Gunung Muria, jenazah Sukri dimakamkan.

***

Kabut selalu mengambang di mata Markonah.

Kabut kematian suaminya, Sukri, yang selalu berkelebat meski tahun terus berganti. Sukri tidak pernah sakit, dan ia juga tidak dalam kondisi sakit ketika ajal menjemputnya. Badannya bugar, tubuhnya sehat. Sukri adalah pekerja keras: mengolah ladang, membuat arang. Ia selalu bergerak, selalu bermandi keringat untuk menghidupi lima anak. Pada pagi itu, Selasa Wage 17 Maret, Sukri bersin tiga kali. Kemudian mati.

Mati begitu saja. Meninggalkan dirinya. Meninggalkan lima anak,—empat perawan dan satu bungsu lelaki.

Tak ada yang bisa disalahkan, karena Gusti Allah sudah menghendaki. Juga tak perlu menyalahkan Sukri yang mewariskan hari Selasa Wage, sebagai hari celaka yang digariskan untuk keluarganya. Tugas ia sebagai istri, adalah menjaga dan mengingatkan kepada anak-anaknya, untuk melindungi keselamatan mereka. Melanjutkan hidup, merawat apa yang tersisa, meskipun dengan penuh kesedihan.

Betapa singkat usia merangkak. Seperti masih kemarin ia melihat lelaki telanjang dada yang berkilat dibalut debu arang kayu itu, tersenyum malu-malu padanya. Dan ia tak mampu membalas senyuman lelaki, sebab mukanya terasa panas dan dadanya terlalu kencang berdegup. Ia menunduk, menyodorkan keranjang bambu tempat arang kayu yang harus dipenuhi, kemudian buru-buru pergi.

 “Markonah, namaku Sukri. Bolehkah aku berkunjung ke rumahmu?” ia mendengar suara lelaki itu berteriak.

Itulah suara paling mendebarkan yang pernah ia dengar. Suara paling indah. Lalu serombongan utusan datang ke rumahnya untuk melamar. Menikah, punya anak, membangun rumah, menggarap ladang, dan melihat suatu hari lelaki itu tiba-tiba mati.

“Kenapa seseorang harus mati, Sukri?”

“Karena Gusti Allah menghendaki begitu.”

“Aku tidak tahan harus hidup sendiri.”

“Kamu harus tabah.”

“Aku ingin menyusulmu, Sukri.”

“Tidak boleh.”

“Kenapa tidak boleh, Sukri?”

“Karena itu memang tidak boleh. Bagaimana nanti dengan anak-anakmu, anak-anak kita.”

“Baiklah, Sukri, baiklah. Tapi kenapa seseorang harus mati, Sukri?”

“Karena Gusti Allah….”

7 hari, 40 hari, 100 hari, kemudian 1000 hari,—itulah kewajiban selanjutnya yang tidak boleh dilupakan. Memperingati kematian, dengan mengundang para tetangga dan juga saudara untuk berdoa. Memberi mereka semua makanan, dan mereka yang datang membawa segala hal yang diperlukan untuk sebuah peringatan: beras, mi, kelapa, telur, bahkan  ayam dan sumbangan berupa uang meskipun tak seberapa. Alangkah indah hari peringatan kematian suami, di mana semua orang datang untuk mengenangnya. Mereka, para tetangga dan saudara itu, akan kembali mengingat nama almarhum suaminya, menyebut-nyebut nama Sukri, setidaknya dalam doa yang dipimpin oleh seorang ustad. Itulah hari di mana ia merasa terhibur, dan merasa memiliki banyak penolong. Di hari itu ia akan kembali menangis, mengulang tangisan sedih yang ingin ia perdengarkan pada semua orang. Lalu para tetangganya akan berkata, “Sabar ya, sabar. Suamimu sudah dikehendak Gusti Allah. Dia sudah tenang di sana.”

Hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, semua anak-anaknya masih berkumpul. Tapi tepat setahun, satu per satu anak-anaknya pergi. Mereka pergi ke kota untuk bekerja. Empat anak perawan yang sakit hati lantaran tak tahan dengan berbagai gunjingan. “Anak perawan sudah tua, sudah umur 19 tapi belum menikah,” itulah gunjingan pertama dari tetangga yang ia dengar untuk anak sulungnya. Lalu disusul gunjingan untuk anak perawan yang ke dua. “Ia sudah mulai melirik-lirik lelaki! Padahal kakaknya saja belum ada seorang lelaki pun yang sudi melamarnya. Dasar tak tahu diri!”  Kedua adiknya, usia 14 dan 12 akhirnya juga ikut, “ Kasihan Mbakyu Siti dan Mbakyu Jumini, tak ada yang menemani. Katanya ada pabrik kerupuk yang membutuhkan banyak pekerja perempuan untuk membungkusi kerupuk ke dalam plastik.”

Tinggallah Sukardi. Anak sulung lelaki, yang selalu siap membantah setiap ia memberi nasihat tentang betapa pentingnya melihat hitungan hari jika ingin terhindar dari marabahaya, yakni pada setiap hari Selasa Wage, hari taliwangke bagi keluarga.

Selasa Wage kuwi dina taliwangke, dina cilaka, tumraping keluarga awake dhewe.

“Ah, betulkah? Apakah Simbok ingat, kalau Mbakyu Siti dan Mbakyu Jumini, pergi dari kampung ini pada hari Selasa Wage? Buktinya tidak ada apa-apa. Keduanya selamat sampai ke kota, dan hingga sekarang mereka masih bekerja. Bahkan sempat beberapa kali mengirimi Simbok uang dari hasil mereka bekerja. Selasa Wage, Selasa Wage, aku bosan mendengarnya.”

Peringatan hari ke-1000 kematian Sukri, empat perawan anaknya yang kini tinggal di kota, tak ada satu pun yang datang. Mereka hanya mengirimkan uang serta permohonan maaf kalau pada hari itu, mereka tidak diizinkan pulang oleh majikan tempat mereka bekerja.

***

Setiap kabut melayang di kaki Gunung Muria, ia selalu melihat Sukri melambaikan tangannya. Seperti masih kemarin, seperti baru saja terjadi, saat ia datang membawa sayur dari ladang dan bapaknya sudah menunggu di depan pintu. “Kamu akan menikah dengan seorang lelaki, Markonah. Namanya Sukri. Besok siang rombongan dari keluarga Sukri akan melamar. Kamu harus mau. Kamu beruntung karena Sukri pandai bekerja.”

Usia merangkak, tahun berganti, dan ia kini sendiri. Empat anak perawan titipan Sukri, yang mereka besarkan dengan penuh sukacita, akhirnya juga pergi. Mereka lebih memilih kota, dua di antara anak perawan itu kemudian menikah, dan dua lagi sisanya seperti tak ada lelaki yang mau datang melamarnya. Tentu ia sedih. Tentu ia malu pada gunjingan tetangga yang makin menjadi-jadi. Mereka bahkan tega mengatakan, bahwa dua anak perawannya menjadi pelacur di kota.

Kemudian Sukardi, anak lelaki bungsu yang setia merawatnya, menemaninya di rumah, pada akhirnya juga harus pergi.

“Aku mau menikah dengan gadis tetangga desa, Mbok. Aku akan bangun rumah di sana. Kalau Simbok mau, ikutlah pindah ke sana. Minggu depan, Selasa Wage, aku mau memulai pembangunan rumah. Semua bahan sudah ada, Simbok tidak usah ikut mikir. Aku sudah menabung lama untuk bisa membangun rumah sendiri.”

Selasa Wage. Kenapa harus Selasa Wage? Markonah menatap Sukardi dengan putus asa. “Kenapa Selasa Wage, Sukardi? Bukankah….”

“Itu hari kematian Bapak. Dan aku ingin mengingatnya. Aku ingin mengenangnya. Maka aku harus mulai membangun rumah pada hari Selasa Wage. Bahkan nanti, aku juga mau melamar pada hari Selasa Wage, dan  kalau mereka setuju, aku juga ingin menikah pada hari Selasa Wage.”

“Cukup, Sukardi! Hentikan rencanamu. Apakah kamu tidak juga mengerti, kenapa Mbakyumu Siti dan Jumini sampai sekarang tidak juga mendapat jodoh lelaki yang mau menikahi? Itu karena dulu, mereka pergi ke kota pada hari Selasa Wage!”

Mbakyu Siti dan Mbakyu Jumini pada saatnya akan mendapat jodoh. Simbok tidak perlu khawatir. Mereka hidup di kota, dan perempuan di kota tidak perlu harus menikah pada usia muda. Banyak perempuan seusia mereka yang belum menikah, dan tidak menjadi omongan apa-apa. Mereka memang memutuskan untuk tidak menikah sementara waktu,  karena tidak ingin adik-adiknya terganggu sekolah, termasuk aku. Mereka ingin semuanya lulus SMA, bahkan kuliah. Apakah Simbok tak mau juga mengerti, kenapa aku sekarang bisa mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi? Itu semua jasa Mbakyu Siti dan Mbakyu Jumini. Simbok tak perlu khawatir. Setelah aku menikah nanti, Mbakyu Siti dan Mbakyu Jumini juga pasti akan menyusul menikah. Banyak lelaki yang mau melamarnya. Simbok tak perlu cemas. Simbok tak perlu takut.”

***

“Sukri, apakah kamu masih di sana?”

“Aku masih di sini.”

“Lihatlah ubanku. Seluruh rambutku kini telah berwarna putih.”

“Aku bisa melihatnya.”

“Kenapa kamu harus mati, Sukri?”

“Karena Gusti Allah menghendaki begitu.”

“Bolehkah aku menyusulmu, Sukri?”

“Tidak boleh.”

“Kenapa tidak boleh?”

“Karena setiap orang harus sabar menunggu waktunya tiba.”

Markonah terus berbicara, di tengah gundukan arang kayu yang tak pernah ada satu pun bisa menandingi kualitasnya. Jenis kayu yang dipilih, cara pembakaran, cara penimbunan, cara mengatur tumpukan, semua rahasia yang telah diwariskan Sukri padanya. Hampir semua orang tahu, arang kayu terbaik pasti dibuat oleh Markonah. Dan setiap pedagang selalu berebut datang ke rumah Markonah, pada setiap hari menjelang sore.

Kabut turun di lereng Gunung Muria. Tempat jenazah Sukri terbaring dengan tenang. Kabut yang serupa asap penimbunan arang kayu, yang membuat Markonah selalu betah di sana. Ia betah lantaran bisa bertemu Sukri, membayangkan Sukri, dan berbicara dengan Sukri. Terkadang ia tertawa. Terkadang ia menangis. Hidup memang harus terus berjalan, meskipun dunia semakin terasa sepi.

Jayadi K Kastari
Latest posts by Jayadi K Kastari (see all)

Comments

  1. Rolyta Nur Utami Reply

    Hmm, ada yang ganjal sih. Pada bagian awal, Sukardi dikatakan sebagai anak bungsu, namun masuk pada bagian cerita sepertinya penulis lengah hingga mengatakan bahwa Sukardi adalah anak sulung. Tetap karya yang bagus!

    • Anonymous Reply

      Bagus banget. Sederhana namun dalam isinya

  2. Safira Indah Puspita Reply

    Ya ampun, saya nangis bacanya 😢😢
    Entah kenapa cinta markonah terasa sekali

  3. Herna indriani Reply

    Bagus….

  4. Anonymous Reply

    terdapat bagian cerita yang hampir sama dengan keluarga ku,,,, aku tau kedua kakak yg sampai hari ini belum menikah, berjuang untuk kami adik”nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!