LALU tibalah Munawar di Amerika. Alamat yang diberikan Misbun membawanya ke flat sewaan yang terletak di lantai empat gedung bertingkat 23 di San Fernando Valley, distrik yang berjarak kurang lebih 17 kilometer dari Hollywood.
Flat ini memiliki satu kamar tidur, satu ruang tengah sempit, dan dapur serta kamar mandi yang saling berdempetan, dengan dua jendela kecil yang menghadap ke arah rel layang. Tiap kali kereta lewat, seisi flat akan bergetar dan membuat persendian terasa ngilu.
Misbun juga tidak tinggal sendirian. Seorang laki-laki Puerto Rico dan seorang Jerman keturunan Aljazair berbagi tempat dengannya. Sepekan sekali (kadang dua kali) datang laki-laki lain, tinggi besar berkulit gelap; Hector Luis Delgado, lahir dan besar di Buenos Aires dan mengaku pernah bertuhankan Diego Maradona meski dibanding Boca Juniors ia justru lebih menyukai Estudiantes de La Plata.
Setelah lima pekan, Munawar tahu, kecuali Hector, tiga laki-laki lain punya hak yang sama untuk tidur di kamar. Mereka patungan untuk harga sewa dan Misbun barangkali membayar sedikit lebih banyak hingga mendapatkan jadwal tidur di kamar tiga kali dalam sepekan.
“Waktu meninggalkan Argentina, tidak pernah kubayangkan kalau di sini, untuk sekadar tidur di atas kasur pegas yang tak pula terlalu empuk, akan jadi kemewahan yang sulit didapat,” katanya kepada Munawar, lantas tertawa terbahak. Waktu itu Misbun tidak pulang dan ia memberikan jadwalnya untuk sang kompatriot.
Hector sudah empat tahun di Amerika. Selama itu pula ia sedemikian rupa harus terus menjaga semangat untuk kucing-kucingan dengan petugas imigrasi. Hector memang masuk secara ilegal, menumpang kapal barang demi cita-cita memperoleh pekerjaan di Hollywood; pekerjaan apa saja, tak peduli besar atau kecil atau remah-remah recehan sekali pun, lalu bermain film, lalu menjadi bagian dari kelompok selebritas paling terkenal sejagat raya.
Miguel Gustavo Sanchez Rudolfo dan Djamal Fouad Kadir punya mimpi yang sama. Djamal ahli bertukang dengan spesialisasi konstruksi kayu. Saat remaja ia membaca kisah Harrison Ford dan sejak itu terus memelihara harapan dalam kepalanya.
“Di dunia ini kukira tidak ada yang tak bisa diulang, ya, kan. Termasuk keajaiban,” katanya.
Djamal benar. Keajaiban boleh berulang. Pun mimpi dan harapan. Namun, di lain sisi ada hal yang kerap terlupa: ujung-ujung dari segenap keajaiban ini, segenap mimpi dan harapan ini, pada dasarnya tak pernah sama. Selalu ada belokan yang sering kali bahkan terlalu tajam.
Maka, memang bukan Star Wars yang datang kepada Djamal. Bukan George Lukas, melainkan Simon Wong, perantauan dari Tianjin yang membuka rumah duka khusus untuk orang-orang China di Los Angeles.
Mula-mula Djamal ikut dalam proyek perombakan tata letak rumah duka ini. Tidak ada yang istimewa sampai satu hari secara tak sengaja didengarnya percakapan Simon Wong dan istri perihal rencana merestorasi lukisan keluarga. Djamal mengajukan diri untuk mengerjakannya. Pada Simon ia mengaku pernah berguru pada Gerhard Richter.
Entah benar entah ngibul, entah pula Simon Wong tahu atau tidak tahu perihal betapa besar nama Gerhard Richer sebagai pelukis di Jerman, nyatanya pekerjaan ini selesai dan Simon Wong merasa sangat puas lantas menawarkan kepada Djamal pekerjaan lain yang lebih aduhai.
“Tuan Wong bilang, jika lukisan tua yang sudah lapuk dan rusak di sana-sini saja bisa diperbaiki dan dibikin jadi indah lagi, mestinya tidak ada masalah dengan wajah mayat. Ini sesungguhnya pemikiran keliru. Permukaan kanvas jelas berbeda dari kulit manusia yang sudah tak bernyawa. Namun aku memang tetap mengambil pekerjaan ini. Aku masih punya mimpi dan butuh uang untuk mewujudkannya,” kata Djamal tiap kali ada yang bertanya perihal pekerjaannya. Djamal sudah beberapa kali mengambil kelas akting dan pernah satu kali mendapatkan peran kecil di panggung Broadway.
Atas alasan serupa Miguel bekerja di kelab malam, tempatnya pertama kali bertemu Misbun. Namun bukan sebagai pramusaji, atau pemain band, atau bartender, tukang campur minuman keras seperti Misbun, melainkan penjaga pintu merangkap tukang pukul. Miguel berharap suatu hari kelab kedatangan Leonardo Dicaprio, atau Brad Pitt, atau Johnny Depp, atau Matthew McConaughey, atau siapa pun aktor atau aktris papan atas Hollywood. Miguel membayangkan mereka, dalam mabuk-mabuk yang telah melewati batas, akan terlibat keributan, dan ia berada di sana, di waktu yang tepat, untuk melakukan aksi penyelamatan yang gemilang. Lalu sebagai bentuk balas jasa para pesohor tersebut akan membawa dan mengenalkannya pada Martin Scorsese atau Quentin Tarantino, atau Steven Spielberg, atau barangkali Christopher Nolan. Tak apa berperan sekadar lewat dulu. Miguel lebih percaya diri dari Djamal. Ia yakin punya bakat akting alamiah, yang jika diasah dan terus diberi kesempatan, akan sampai setidaknya selangkah di belakang Benicio Del Toro.
Berkebalikan yang lain, Munawar pada awalnya sama sekali tidak punya bayangan tentang Hollywood. Ia tak pernah bermimpi jadi selebritas, jadi bintang film yang terkenal seantero dunia. Buktinya, sedari SD sampai SMA tak pernah ia lolos untuk ambil bagian dalam pertunjukan drama 17 Agustusan dan pengetahuannya menyangkut seni peran memang berhenti pada beberapa film Chuck Norris dan beberapa film Amitabh Bachchan. Maka jangankan Hollywood, bahkan dalam khayalannya yang paling liar sekali pun Munawar tak berani membayangkan dirinya bisa menjejakkan kaki di Amerika. Seingat Munawar, negeri terjauh yang ia bayangkan, selain India dan Arab Saudi, adalah Jepang. Seorang tetangganya di Lubukpakam bekerja sebagai buruh pabrik sekrup di Kyoto selama lima tahun, dan sepanjang waktu itu berhasil menebuskan untuk ayah dan ibunya beberapa petak sawah, lima ekor kambing yang kemudian beranak pinak jadi 19, satu sepeda lipat, tiga sepeda motor, serta membangun ruko dua setengah tingkat yang sekarang dijadikan adiknya sebagai tempat usaha reparasi kulkas dan televisi.
Munawar terpesona. Setelah tetangga itu kembali dari perantauan lantaran kontraknya tidak diperpanjang, Munawar sering mendatanginya dan banyak bertanya-tanya dan seiring itu mulai mempersiapkan keberangkatan. Ia mulai menabung sembari pelan-pelan belajar Bahasa Jepang lewat Google dan video-video tutorial yang ditemukannya di YouTube.
Namun, kepulangan Misbun untuk berlebaran (pertama dalam 12 tahun), persisnya pada satu momentum kencing bersebelahan di toilet restoran ayam goreng cepat saji usai nyaris seharian bersilaturahmi ke rumah beberapa sahabat lama, membuat rencananya berantakan.
“Oimakjang, setelah sekian lama, beliau ternyata belum banyak berubah, ya, War. Masih tetap lucu dan menggemaskan. Apakah dalam rupa kanak-kanaknya itu beliau belum pernah sampai pada kedewasaan juga?”
Kalimat Misbun meliuk, tapi Munawar paham ke mana arahnya. Ia tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan, samar tepatnya, dan Misbun tertawa panjang.
“Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu, kawan, tapi ini memang kejutan yang menyenangkan,” ucapnya setelah tawa reda. Namun sesaat berselang air mukanya berubah serius. “Kalau kau mau, aku ada tawaran menarik untukmu.”
“Tawaran apa?”
Misbun tidak segera menjawab. Ia menarik resleting dan mengancingkan celana, lalu melangkah mendekat dan berbisik ke telinga Munawar. Mata Munawar langsung membeliak.
“Bangsat gila!” serunya.
Misbun tertawa-tawa lagi. “Tak usah marah. Santai saja, lah. Aku, kan, cuma menawarkan. Kalau kau mau, ayo, kubantu. Tidak mau, ya, tak apa.”
“Bangsat!”
Munawar geram. Sedikit tersinggung juga. Namun, kurang lebih lima bulan kemudian, setelah hafal luar kepala nomor telepon berikut alamat dan nama flat yang dituliskan Misbun di atas secarik kertas lantaran dibacanya berulang-ulang puluhan kali saban malam, Munawar meninggalkan Lubukpakam dan terbang selama hampir 27 jam (Kualanamu-Kuala Lumpur, Kuala Lumpur-Taipeh, Taipeh-Los Angeles) untuk menjemput tawaran itu.
“Kau yakin, War?” tanya Misbun.
Untuk kali kesekian Munawar bertanya perihal tawaran Misbun, dan untuk kesekian kali pula Misbun melontar kalimat tanya serupa. Tanya berjawab tanya, masih dengan nada yang sama seperti saat Munawar meneleponnya dari Lubukpakam dan bilang bahwa setelah ia timbang-timbang matang, tawaran Misbun dirasanya menarik dan oleh sebab itu sayang dilewatkan.
“Yakin, lah. Kenapa rupanya?”
“Tidak apa-apa.”
“Maksudmu bagaimana?”
“Tidak apa-apa.”
“Perasaanku tiba-tiba jadi tak enak. Aku jauh-jauh terbang dari kampung kita. Ribuan kilometer. Duduk berjam-jam lamanya di pesawat sampai ujung-ujung jari kakiku kebas kaku. Tak bersisa tabunganku. Kau jangan bilang kalau ini semua cuma omong kosong. Jangan bilang sebenarnya tawaran itu tidak ada.”
Misbun menggeleng cepat. “Tidak, tidak! Ada! Tawaran itu ada. Aku tak bohong. Hanya saja…”
“Hanya saja apa?”
“Kau yakin?”
“Sepertinya justru kau yang tak yakin.”
“Aku hanya khawatir.”
“Khawatir apa?”
“Kau tidak siap.”
“Aku siap! Aku yakin! Kau tidak perlu khawatir.”
Munawar merasa ia telah menimbang semua aspek dan kemungkinan dengan cermat. Namun, seperti kekhawatiran Misbun, ia memang belum siap. Ia melewatkan satu perkara penting. Iya, tak selintas pun Munawar memperhitungkan reaksi lawan-lawan mainnya, para perempuan serba cantik aduhai dengan tingkat keberanian yang serba mencengangkan itu. Reaksi berupa senyum disertai kerling yang sangat boleh jadi menyiratkan perasaan separuh takjub separuh geli, yang kemudian, setelah barangkali tak mampu lagi ditahan akhirnya meletupkan tawa sampai berderai-derai.
Selebihnya adalah rangkaian berita yang ditayangkan media-media tempatan. Beragam judul. Beragam sudut pandang. Namun, hanya satu yang memilih garapan dari sisi Munawar, laki-laki malang dari Indonesia yang mengamuk memporak-porandakan seisi studio lantaran tersinggung lawan mainnya menertawakan ukuran kelaminnya.
Dipaparkan dengan gamblang bagaimana Munawar kalap. Ia berdiri bugil dan berteriak-teriak di atas ranjang, lantas melompat menerjang kamera dan lampu-lampu. Ia membanting perangkat audio. Memecahkan dan menghancurkan kaca-kaca dan properti lainnya. Jika saja tidak segera diringkus petugas keamanan studio dibantu sejumlah kru, niscaya Munawar bakal meneruskan serangan ke perempuan-perempuan yang menertawakannya.
Munawar digelandang ke kantor polisi dan di sana sempat mengamuk lagi setelah mendengar perempuan-perempuan yang membuatnya meledak kembali tertawa-tawa saat memberikan kesaksian. Mereka bilang pada dasarnya sudah tahu akan terlibat dalam produksi film tentang seorang laki-laki yang didera masalah psikologis, minder, lantaran atas ukuran kelaminnya dan berupaya menjalin hubungan-hubungan percintaan yang serba panas untuk membangkitkan kepercayaan diri. Dengan kata lain sebenarnya mereka sudah siap lahir batin. Namun, ternyata tetap gagal menahan diri untuk tidak tertawa.
“Kami tahu akan kecil, tapi tidak menyangka sekecil itu.”
Munawar mungkin saja bakal mendekam lebih lama dalam penjara andaikata Misbun tidak meminta bantuan seseorang yang dikenalnya di bar. Seorang peminum yang canggih, yang kerap menggumamkan puisi-puisi sedih kala sudah sampai di batas kesadaran, yang belakangan ia tahu merupakan diplomat di KBRI—diplomat ulung yang telah malang-melintang di berbagai negara dan punya rekam jejak cemerlang dalam menyelesaikan perkara-perkara yang melibatkan orang-orang Indonesia brengsek, yang tetap saja brengsek walau berada di negeri orang.
Lewat lobi-lobi sengit ia berhasil membebaskan Munawar tanpa syarat.
Munawar ditampung lima hari di konsulat, dan kurang lebih 24 jam sebelum jadwal keberangkatan ke Indonesia, ia menelepon Misbun dan memintanya membujuk sang diplomat agar membantu mengubah keputusan. Munawar tidak mau pulang.
“Aku malu sekali. Orang-orang di kampung kita pasti sudah tahu,” kata Munawar.
Dari seberang terdengar suara berdecak. “Mana bisa sembarangan begitu, Kawan. Kau kira ini soal ecek-ecek? Ada prosedur. Ada aturan dan undang-undangnya.”
“Aku tahu, tapi rasa-rasanya aku memang tak sanggup pulang. Mau ditaruh di mana mukaku ini. Mungkin pun sekarang kabarnya sudah sampai ke Medan.”
“Sulit.”
“Tolonglah.”
“Aku coba.”
“Terima kasih.”
“Lalu kau mau ke mana?”
“Kalau bisa ke Jepang.”
“Jepang?”
“Iya, kenapa?”
“Kau yakin?”
“Yakin sekali! Kenapa?”
“Tidak apa-apa, War.”
“Bangsat! Aku tak percaya lagi kalau kau bilang tidak apa-apa.”
Munawar tertawa. “Kau jangan tersinggung, ya. Kukira, dibanding mereka orang-orang Jepang itu, ukuranmu tetap saja tak lebih besar.”
“Bangsat!”
“Bagaimana kalau ke Kamboja saja?”
Munawar masih mendengar suara tawa Misbun, bahkan setelah ia membanting telepon itu sampai hancur berkeping-keping.
Medan, 2023
- Arisan Keluarga - 21 June 2024
- Selebritas Paling Terkenal Sejagat Raya - 22 December 2023
- Tiga Komik, Tiga Koran, Satu Basuki - 9 February 2017
Hotma D.L. Tobing
Boleh juga nih ya. Selamat atas cerpen ini. Salam sehat.
sabrina
wah pak tengku agus khaidir, sudah lama sekali tidak baca karya beliau. dulu semasa kuliah pernah mewawancarai beliau dan membaca karyanya, semuanya memperlihatkan sisi jurnalistiknya yang apik.