Di gelanggang sabung ayam, ayam-ayam jago berkumpul. Semuanya berjenis ayam bangkok. Ayam-ayam itu sahut-sahutan berkokok, mengibas-ngibaskan sayap, masing-masing unjuk kejantanan. Jika satu didekatkan dengan yang lain, mereka akan mencakar-cakar tanah, menurunkan sedikit sayapnya, memekarkan rambut kepalanya, mengisyaratkan siap bertarung.
Jauh dari gelanggang sabung ayam itu, di sebuah toko buku (anggaplah toko buku paling representatif di negara ini), buku-buku disusun dan ditata rapi, dipisahkan berdasarkan kategorinya. Sekarang mari kita fokus hanya ke rak buku sastra. Di sana ada novel, buku puisi, kumpulan cerpen, esai-esai sastra, teori sastra, kritik sastra, dan lain-lain yang berkenaan dengan sastra. Buku-buku itu ada yang ditulis oleh pengarang yang mutunya diakui di banyak penjuru, ada yang ditulis oleh penulis “medioker” yang kualitas teksnya tak dapat serta-merta dibilang buruk, ada pula yang ditulis oleh penulis populer yang karyanya laris manis lebih karena kepopuleran namanya ataupun karena “keringanan” teksnya untuk dicerna.
Sebelum kita cerita lebih jauh soal watak orang-orang di toko buku itu, kita tengok dulu gelanggang sabung ayam tadi. Orang-orang di sana sibuk memperhatikan ayam-ayam yang gelisah karena ingin segera bertarung. Tua muda, pehobi berpengalaman maupun pehobi baru, pejudi sejati, maupun pejudi amatir. Pada ayam-ayam tertentu yang menarik perhatian, mereka akan berkerumun, meneliti si ayam dengan saksama, mulai dari bentuk dan warna paruhnya, jenggernya, lehernya, kakinya, sayapnya, hingga kaki dan tajinya.
Tidak seperti orang-orang di toko buku tadi yang kebanyakan terjebak pada popularitas nama si penulis dan frasa “best-seller” dalam menentukan buku yang akan dibaca, para pehobi ayam aduan di gelanggang itu tidak akan sesembarang itu dalam memilih ayam yang akan dibeli atau didukung (dalam taruhan). Mereka paham betul ayam seperti apa yang jago tarung. Ayam yang jenggernya terlalu tinggi dan melengkung ke bawah biasanya kurang bagus untuk dilaga dibanding yang berjengger pendek dan tegak. Paruh ayam yang bagus untuk diadu biasanya berwarna kuning cerah dan tebal, sewarna dengan kakinya (para pehobi biasa menyebutnya dengan istilah paruh tembus). Semakin tebal paruh, semakin kokoh dia sehingga pukulannya akan semakin keras dan menyakitkan bagi lawan.
Para pembeli buku di toko itu sangat jarang ada yang peduli soal rajutan teks dari buku yang mereka beli dan baca. Hal sedetail itu barangkali terlalu merepotkan untuk mereka pikirkan. Lain halnya dengan para pemain sabung ayam di gelanggang itu. Supaya tak salah pilih, mereka cermati setiap inci tubuh si ayam. Mereka tahu lubang hidung ayam petarung yang kuat biasanya kecil, tidak besar. Lubang kecil ini membuat ayam bernapas dengan lebih efisien, tidak mudah ngos-ngosan saat bertanding. Tentu saja ini perlu dibarengi dengan latihan fisik jauh-jauh hari sebelum diadu. Leher ayam jago yang bagus adalah tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Leher panjang akan membuat ayam menjadi kurang lincah meski bagus ketika ayam memepetkan badan dengan lawan (dapat menyerang dari arah belakang kepala lawan). Sebaliknya, leher yang pendek memang membuat ayam lincah, tetapi sulit untuk mengunci leher ayam lawan ketika saling memepetkan badan.
Pada bagian kaki, ayam petarung yang hebat biasanya memiliki otot paha yang besar dan padat, yang terlihat pipih jika dilihat dari depan, mirip seperti otot kaki belalang. Otot paha seperti ini akan membantu si ayam leluasa saat mengangkat badannya untuk menghantam (baca: mematok) lawan. Otot paha yang kuat juga akan membuat si ayam bergerak lebih gesit. Sementara kaki ayam jago yang bagus prinsipnya sama seperti leher, yakni sedang-sedang saja. Kaki yang terlalu besar membuat ayam lamban, sedangkan kaki yang terlalu kecil membuat ayam sulit menopang berat tubuhnya. Dan untuk taji, biasanya yang bagus adalah yang tidak terlalu panjang. Taji yang terlalu panjang berisiko melukai tubuh si ayam sendiri alih-alih lawannya.
Tingginya selera pasar dan standar kualitas dari para pemain sabung ayam ini berbanding terbalik dari apa yang terlihat di toko buku yang konon selain paling representatif, juga paling kapitalistik itu. Sementara rekam jejak penulis buku di genggaman orang-orang (yang mengaku) pencinta sastra di toko buku itu tak pernah mereka periksa; bagian sayap, dada, dan ekor pun tak luput dari perhatian para pehobi sabung ayam. Sayap yang bagus adalah yang rapi, dalam arti senantiasa terangkat ke atas, tidak jatuh ke tanah. Dada ayam yang garang adalah yang busung, menandakan si ayam tak mau dikalahkan oleh pejantan lain. Sedangkan ekor yang bagus adalah yang melengkung ke bawah, atau istilahnya “ekor kuncup”.
Saya memahami seluk-beluk pasar ayam sabung karena semasa kecil saya hobi menonton adu ayam. Paman saya adalah pemain sabung ayam yang disegani. Setiap hari Minggu, saya diajak Paman ke gelanggang ayam. Oleh paman saya sering diberi beberapa ekor ayam yang masih kecil untuk saya pelihara. Saya beberapa kali mencoba melatih ayam pemberian Paman agar jadi ayam yang hebat, namun selalu gagal.
Selain ayam, dulu saya juga hobi adu ikan cupang. Itu berlangsung selama hampir sepuluh tahun, mulai dari saya masih SD sampai akan masuk SMA. Hobi itu membuat saya paham bagaimana pasar ikan cupang.
Dapat saya katakan, selera bacaan sastra di toko buku tadi juga tak lebih baik dibanding selera para pemain adu ikan cupang ini. Setidak-tidaknya, siapa pun yang pernah terlibat dalam laga ikan cupang pastilah tahu membedakan mana ikan cupang aduan dan mana yang untuk hiasan. Siapa pun yang tergolong penggemar adu ikan cupang akan dapat dengan mudah membedakan jenis ikan cupang yang durasi tandingnya bisa sampai berjam-jam, dari jenis ikan cupang yang sudah akan didapatkan pemenangnya hanya dalam waktu belasan menit. Ikan cupang jenis katong adalah yang dimaksud pertama; sedangkan ikan cupang jenis padi (dengan tutup insang berbercak hijau), yang dulu dapat ditemui di rawa-rawa di dekat persawahan yang ditandai dengan adanya buih, adalah yang dimaksud kedua.
Para pehobi sejati ikan cupang adu pasti tahu seluk-beluk ikan cupang yang bagus untuk dilaga, dalam arti kuat, tidak mau menyerah (lebih memilih mati ketimbang lari), sisiknya tidak mudah terkelupas, dan napasnya tahan lama. Pada umumnya, ikan cupang aduan yang tangguh adalah yang badannya ramping; sisiknya kecil-kecil, rapi dan rapat; dasinya (sirip perut) pendek; sirip dadanya besar dan tebal; dan umurnya sudah mencapai lebih dari enam bulan.
Sekarang, 15 tahun lebih sejak saya meninggalkan dua hobi itu, saya mulai membaca karya sastra. Sebagaimana dalam setiap hobi, tentu pehobi bacaan sastra perlu tahu mana karya yang berkualitas dan mana yang tidak. Untuk tahu, seorang pehobi seperti saya perlu belajar. Dan karena ini menyangkut sastra, perkara memperoleh pengetahuan tentang karya sastra yang bagus berikut pengarangnya, tidaklah mudah, setidaknya tidak semudah mempelajari ciri-ciri dan sifat ayam jago dan ikan cupang adu. Yang sering terjadi saya perhatikan, para pehobi bacaan sastra terjebak pada popularitas nama si penulis dan kelarismanisan karyanya ketimbang menyelam dan menguji mutunya.
Ironisnya, buruknya “selera pasar” bacaan sastra ini diperparah (jika bukan dibentuk) oleh kapitalisme dalam dunia perbukuan. Sebuah penerbit kapitalistik bahkan baru-baru ini membanalkan istilah pujangga dengan memasukkan beberapa nama yang saya kira jauh dari kata pantas untuk menyandang gelar agung tersebut.
Dalam analogi yang saya buat sebagai perbandingan tadi, mereka seperti orang yang tak tahu membedakan mana ikan cupang mana anak ikan sepat; mana ayam bangkok mana burung kutilang. Hanya karena menulis beberapa tulisan yang laris manis, penulis-penulis “medioker” dan seorang penyanyi lantas diberi gelar pujangga. Seorang selebritas bertampang rupawan yang menulis kata-kata yang mendayu-dayu langsung dianggap telah menulis puisi yang apik dan menyentuh.
Situasi ini membuat saya ingin bertanya kepada para pemain dalam gelanggang sastra kita. Kepada para penerbit dan toko buku kapitalistik, sebenarnya apa yang ingin kalian capai? Pencerdasan kehidupan bangsa atau keuntungan semata? Kepada para pesohor (selebritas) yang menulis, kalian serius ingin belajar menulis teks sastra atau sekadar unjuk eksistensi diri belaka supaya dianggap sebagai artis yang intelektual? Lalu, tak ketinggalan, kepada khalayak pembaca, kalian serius ingin menikmati karya sastra yang bermutu atau cuma takut ketinggalan bacaan yang populer?
Kalau situasinya seperti ini, saya jadi tak ragu mengatakan bahwa selera pasar ayam sabung dan ikan cupang adu masih lebih baik ketimbang selera bacaan sastra kita. Pemain-pemain baru sekalipun tidaklah akan sampai terkecoh membedakan ayam bangkok dari burung gagak, atau membedakan ikan jenis katong Thailand dari ikan gobi Jerman.
Saya sendiri pun termasuk pehobi baru dan angin-anginan dalam dunia bacaan sastra. Kadang baca, kadang tidak. Kadang belajar, tapi lebih sering tidak. Pengetahuan saya masih sangat miskin. Namun, karena kemiskinan pengetahuan itulah hendaknya kita jadi lebih berhati-hati dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan sebuah karya sebagai bagus, apalagi sampai memuja pengarangnya, apalagi sampai menyebut pengarangnya sebagai pujangga.
Juga hendaknya, kita tidak buru-buru menyebut kata-kata yang diketik dengan di-enter-enter sebagai sajak, menyebut racauan sebagai cerpen, menyebut cerita yang agak panjang sebagai novel ataupun novela, menganggap catatan harian sebagai karya jurnalistik sastrawi. (*)
- Selera Pasar Ayam Sabung, Ikan Cupang, dan Bacaan Sastra - 18 March 2020
- Musim Mangga di Kampung Staman - 25 October 2019
- Sisa Makanan - 13 September 2019
Mohammad Lutfi Maula
Tabik buat penulisnya!
Che guegue lulu
Kenapa penerbit lain tidak melakukan hajatan banding dengan kontes serupa memilih pujangga2 adiluhung sesuai selera dan objektifitas mereka (yang sesungguhnya subjektif juga)? Bosen ah kapitalis2 meluluk huhu..
Anak Lanang
Menurut saya, itu semua bergantung pada pembaca. Pilihan seorang pembaca ada dua, yaitu butuh dan minat. Dikatakan butuh, karena pembaca ingin mengetahui apa isi dari karya tersebut, dan bermanfaat bagi kebutuhan dirinya. Jika dikatakan minat, pembaca di luar dari kata butuh, namun ada faktor yang ada dari karya tersebut. Seperti kebiasaan, yang dilakukan terus menerus.
wi gung
kualitas tulisan seseorang analog dengan ayam jagoan. Bila tulisan itu jadi informasi penting kw 9 pun juga oke.
Agus
Menurut aku karna kita aja yg goblok hehehehe
Lokdai
luar biasa …
Fauzia
Mantap