Tercatat dalam sejarah, perbudakan di Amerika merupakan tragedi paling tragis yang bikin hati teriris sepanjang peradaban manusia di muka bumi. Bagaimana tidak? Sejarah ini sudah sejak lama dimulai ketika “bumi baru” itu ditemukan para pelancong Eropa.
National Geographic edisi Mei 2012 mencatat, pada tahun 1526 perbudakan di Amerika dimulai ketika warga Afrika didatangkan oleh orang-orang Spanyol. Selanjutnya tahun 1619, sebanyak 20 orang Afrika dijual kepada pemukim asal Inggris di Jamestown, Virginia. Sejak itu perdagangan budak Afrika menjamur.
Kemudian tahun 1808, Amerika melarang impor budak dari Afrika. Tapi kebijakan tersebut justru menyebabkan perdagangan budak di dalam negeri meningkat. Di tahun 1861-1865, meletuslah Perang Saudara antara wilayah Utara yang menentang perbudakan dengan wilayah Selatan yang mendukung. Pada tahun 1865, setelah perang berakhir dengan kemenangan pihak Utara, sebanyak 4 juta budak dinyatakan merdeka.
Fase selanjutnya, isu perbudakan menjadi wacana yang cukup booming sekitar akhir 1970-an. Tak terkecuali negara besar seperti Inggris, Spanyol, Prancis, dan kawan-kawan. Munculnya gerakan Pembebasan Hak-hak Sipil yang dipelopori Martin Luther King dan terbitnya novel-novel bertema perbudakan menjadi salah satu tanda awal meluasnya getuk tular isu tersebut. Berbarengan dengan itu, sayangnya, tak banyak film bertema perbudakan yang muncul, khususnya dari Hollywood.
Baru setelah desas-desus itu hampir tidak menjadi perhatian lagi, muncullah Steven Spielberg dengan filmnya, Lincoln (2012). Film ini mengangkat sepenggal kisah hidup Presiden Abraham Lincoln ketika berupaya meloloskan Amandemen ke-13 yang menghapus perbudakan. Di tahun yang sama, film besutan Quentin Tarantino, Django Unchained, ikut menggebrak. Film ini berkisah secara lebih personal tentang seorang bekas budak yang ingin membebaskan istrinya dari sebuah perkebunan milik orang kulit putih.
Masih dengan tema yang sama, 12 Years a Slave menyusul setahun kemudian. Film ini diangkat oleh sineas kulit hitam asli Inggris, Steve McQueen. Film yang ditawarkan oleh sineas yang juga berkulit hitam ini menjadi semacam autokritik. Kejutannya, film ini meraih nominasi film bergenre drama terbaik di ajang Golden Globe serta menyabet sembilan nominasi Oscar tahun 2014.
Film 12 Years a Slave diangkat dari novel autobiografi berjudul sama karya Solomon Northup. Penayangan perdananya di Toronto mendapat standing ovation serta isak tangis para penonton. Titik harunya ialah penyiksaan budak yang kejam selama periode tersebut. Dan akhirnya, dua puluh satu perkumpulan kritikus film di AS memilih 12 Years a Slave sebagai Film Terbaik tahun 2013.
Yang menarik, dari lima film terbaik keluaran Hollywood bertema perbudakan selama beberapa tahun terakhir, seperti Glory, Amistad, Lincoln, Django Unchained, dan The Help, juga 12 Years a Slave, menyajikan “tawaran autokritik” yang berhasil memboyong berbagai piala penghargaan.
Tak mau kalah, Selma (2014), besutan sutradara perempuan, Ava DuVernay, kemudian melengkapi rentetan film bertemakan kulit hitam. Berhasil masuk nominasi film drama dan sutradara terbaik, Selma menjadi satu-satunya film bertemakan kulit hitam dalam perhelatan Oscar tahun ini. Selma mengisahkan seorang aktivis pergerakan Pembebasan Hak-hak Sipil (SCLC), Martin Luther King (David Oyelowo).
Namun tak terduga, dalam perhelatan Oscar 2015, tak satu pun aktor ataupun aktris berkulit hitam yang berhasil memboyong piala Oscar. Begitu juga nasib Selma, kendati telah mengusung aktris sekaligus pembawa acara paling legend abad ini, Oprah Winfrey.
Apa ini kebetulan belaka?
Celakanya, Selma kurang tepat membaca momen!
Terlepas dari teropong incar-incar para kritikus film ataupun paparazi, juga di luar praduga tak bersalah tadi, Selma sejatinya menyajikan gagasan yang menarik sebagai tontonan alternatif. Menguak kisah seorang famous-legend Martin Luther King, Selma berhasil menghadirkan sosok pemerhati sekaligus pejuang Pembebasan Hak-hak Sipil di tengah kepemimpinan negeri mereka yang sekarang ini pun dibawahi oleh seorang berkulit hitam, Obama.
Namun sayang, Selma agaknya gagal momentum di hadapan antrean penguasa posisi teratas Oscar 2015 yang diisi film-film bertemakan biografi para saintis, seperti The Theory of Everything dengan Stephen Hawking-nya, Eddie Redmayne, dan Imitation Game dengan Alan Turring-nya, Benedict Cumberbatch. Belum lagi film-film sederhana namun penuh impresi seperti The Grand Budapest Hotel dan Bird Man. Selma, dengan gagasan besarnya, musti legowo atas “kegagalannya” di ajang piala Oscar itu.
Seperti halnya saya yang selalu akrab dengan gambar gerak ataupun lensa, yang juga harus legowo sama rumput tetangga yang memang lebih ngganjeni dan nggatheli, saya harus pula menerima film-film sederhana macam Bird Man dan The Grand Budapest Hotel yang lebih menggetarkan hati untuk sekadar menahan kedipan mata kiri ketika menontonnya.
Sulit digambarkan memang jika Anda belum menonton dan membandingkannya secara langsung. Tetapi saya tetap ingin membantu Anda di sini. Silakan Anda membayangkannya: berpacaran dengan pacar yang tidak lebih cantik daripada wanita pramusaji di kafe tempat Anda memadu kasih.
Anda mesti lebih bijaksana menyikapi tragedi tersebut, bukan?
Masih kurang gambaran?
Tak ada cara lain jika demikian. Selma memang mesti Anda tonton berikut film-film semacam 12 Years a Slave, Djanggo, dan teman-temannya. Jangan khawatir kekurangan stok tiket, rental VCD masih banyak, lapak VCD bajakan pun masih menjamur di setiap perempatan, lapak warnet pun masih setia penuh senyum melayani permintaan para pelanggan seperti roman kasir Indo**** yang setia menyediakan berbagai kebutuhan Anda.
Masih banyak jalan menuju Roma. Selamat menonton.
- Selma, “Si Hitam” yang Kurang Manis - 6 August 2015