Sebelum menjelma sebatang mawar, lampau, aku hanya seorang perempuan tua penjual kembang yang selalu sepi dan sendiri—lantaran dicerai mati suami. Aku datang dan berjualan kembang di depan makam ini semenjak tahun 1945. Sejak negeri ini dinyatakan merdeka.
Suamiku adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang jasadnya ditanam di makam ini. Dulu, aku ikut berjuang bersamanya. Suamiku berdiri di garda depan dengan para prajurit lain, mengokang senjata dan bambu runcing. Sedangkan aku, di bagian dapur umum, menyiapkan amunisi perut bagi para pejuang di garda depan. Namun, itu sudah berlalu lama sekali dan mengerut menjadi ingatan tua yang meringkuk dalam kepala.
Dan inilah yang kemudian terjadi….
Untuk mengelabui kesendirian yang merajam masa tuaku, aku memilih berjualan kembang di depan makam ini. Menemani suamiku. Sepanjang sisa umurku, aku selalu berharap bisa segera menyusulnya ke alam kekal. Namun, harapan itu seperti lintang yang tinggi dan tak bisa dijangkau. Aku masih terus hidup. Aku masih terus bertahan. Bertahun-tahun. Sepi kawan. Sepi pembeli. Rasanya, tubuh tuaku tak bertambah semakin tua, namun juga tak berubah menjadi muda. Aku menjelma arca yang bernapas dan terduduk di depan makam menunggui dagangannya: serangkaian kembang sekaran yang tak pernah dilirik orang.
“Bagaimana, Nyi, kembangnya sudah laku? Saya lihat kembang-kembang itu tak pernah layu,” sesekali orang lewat menyapa. Hanya sesekali.
Aku tersenyum dan menatap gundukan kembang yang rasanya abadi itu.
“Di sini memang tak ada peziarah, apalagi orang yang mau nyekar. Lebih baik Nyi berjualan di dekat makam China. Di sana banyak yang pegang uang, juga banyak yang butuh kembang.”
Namun aku tak pernah beranjak. Kakiku seperti akar pohon yang telah tertancap ke dalam bumi, di tepi makam ini. Di dekat jasad suamiku yang lebur tertimbun tanah. Mumur tertimbun waktu.
Saban hari, aku senantiasa berdoa. Supaya kerentaan ini disudahi saja, supaya kesepian ini diakhiri saja, supaya aku bisa bertemu suamiku di sana. Namun begitulah, aku terus saja bertahan. Dilangkahi siang dan malam. Dilampaui waktu dan musim.
Pada kemarau, terik menjerang tubuhku sampai layu. Dan pada penghujan, guyuran air menimpa badan tuaku sampai kuyu. Hingga pelan perlahan, tanpa kusadari, tubuhku terasa aus. Seperti tanah di bantaran sungai yang digerus arus. Arus itu bernama waktu. Membuatku mengabu. Aku mengabu. Tanpa sesiapa peduli. Tanpa sesiapa tahu. Aku luruh dan menyatu dengan tanah yang kupijak di tepi makam ini. Dan dari tanah itulah kemudian tumbuh tubuh baruku: sebatang pohon mawar. Pohon yang batangnya kini telah menjulang, merambat ke pagar-pagar makam, meneduhi tepian makam dan menghiasinya dengan bunga-bunga abadi.
Seiring waktu, makam ini pun mulai dijamah tangan pemerintah. Makam ini diperbaiki. Dijadikan serupa taman. Ada penjaga yang dibayar untuk membersihkan rumput dan memangkas pohon perdu. Area pusat pemakaman telah dikelilingi pagar besi yang dicat rapi. Tapi, area di luar makam ditanami bunga-bunga dengan tata letak yang cantik diselingi bangku-bangku beton yang berjajar. Berdiri gagah pula patung-patung pahlawan yang aku sendiri tak kenal.
Orang-orang datang beramai-ramai pada pagi dan sore hari. Mengajak anak-anak mereka, keluarga mereka, dan pasangan-pasangan mereka. Mereka bermain. Jalan-jalan. Menikmati udara yang mewangi bunga. Berfoto-foto, dan bahkan berpacaran. Orang-orang itu datang ke makam ini bukan untuk menghormati para pahlawan, mereka datang hanya untuk menyenangkan diri mereka sendiri. Beberapa di antara mereka suka memetik bunga-bungaku, mengendusnya, menyelipkannya di telinga, dan mencampakkannya ke tanah jika sudah bosan.
Tidakkah mereka tahu, aku tumbuh di sini dan memekarkan bunga-bungaku yang ranum bukan untuk mereka tebas dan lalu mereka campakkan, tapi untuk para pahlawan di makam ini. Supaya orang-orang memetik beberapa kuntum dan menaburkan kelopaknya ke atas makam para pahlawan. Ke atas makam suamiku tercinta. Tapi sungguh, mereka tak pernah memahami yang diam. Hingga suatu senja, aku mendapati seorang gadis kecil yang bercakap-cakap dengan ibunya. Mereka duduk tepat di sebelah semak-semak tubuhku yang berduri.
“Ibu, mengapa pohon mawar ini batangnya besar sekali dan rimbun sekali? Aku tak pernah melihat pohon mawar sebesar dan serimbun ini,” tanya gadis kecil itu pada ibunya.
Sang ibu terseyum. “Kau mau dengar cerita?” balas ibunya.
Gadis kecil itu mengangguk.
“Konon, dulunya, pohon mawar ini adalah seorang manusia. Seorang perempuan penjual bunga. Ia berjualan di sini selama bertahun-tahun, tapi tak seorang pun mau membeli dagangannya. Dan perempuan tua itu tak pernah peduli meski kembang dagangannya tak pernah laku. Ia hanya ingin berada di sini. Di dekat makam ini.”
“Mengapa ia melakukannya, menjual kembang di sini?”
“Kabarnya, salah seorang pahlawan yang dimakamkan di dalam itu adalah suaminya. Perempuan penjual bunga itu selalu kesepian, ia tak punya anak, makanya ia memilih berjualan bunga di dekat makam suaminya yang konon seorang pejuang.”
“Mengapa orang-orang tak mau membeli kembang dagangannya?”
“Mmm… mungkin karna tak ada yang mau nyekar.”
“Mengapa orang-orang tak mau nyekar? Padahal kan ini makam pahlawan. Kata Bu Guru, pahlawan itu adalah orang-orang yang berjasa pada negeri ini.”
Si ibu mengangguk, mengiyakan.
“Kalau makam ini benar-benar makam pahlawan, mengapa orang-orang tak mau nyekar? Sampai sekarang sepertinya juga tak ada yang nyekar ke makam ini.”
“Bagaimana mau nyekar, makamnya saja digembok dan dipagari pagar besi.”
“Mengapa harus diberi pagar?”
“Supaya makamnya tidak dirusak dan dikotori.”
“Memangnya siapa yang mau merusak dan mengotori makam para pahlawan?”
Si ibu menggeleng. “Orang-orang yang tak bertanggung jawab mungkin.”
“Kasihan sekali pohon mawar ini,” bisik si gadis kecil kemudian, sambil menatap tubuhku dengan tatapan pilu.
“Tapi itu kan cuma cerita,” simpul ibunya.
Tiba-tiba gadis kecil itu bangkit dari duduknya, ia berjalan pelan menatap bunga-bungaku yang merah menyala. Sejurus kemudian, ia memetik bungaku yang paling rendah, memetik beberapa kuntum dan berjalan buru-buru menuju pusat makam. Tubuhnya yang mungil menerobos ke sela-sela pagar besi yang rapat. Di antara puluhan makam itu, ia merompes kelopak bunga-bungaku dan menaburkannya secara rata ke atas tiap-tiap makam. Termasuk makam suamiku. Detik itu tubuhku bergetar. Batang-batang dan daunku ingar-bingar. Beberapa kelopak bungaku mulai berguguran.
“Hei, Bocah, apa yang kau lakukan di situ, kau tidak boleh masuk. Tidak boleh bermain di situ,” teriak seorang penjaga makam, “kau belum bisa baca, ya!”
Penjaga makam itu berjalan gegas menuju pusat makam, hendak menyusul gadis kecil itu—dan mungkin hendak menyeretnya keluar. Namun, mendadak langkahnya terhenti. Seperti mata para pengunjung lain, matanya pun terpaku menatap semak tubuhku. Semak mawar tua yang bergetar. Semak mawar tua yang menggugurkan ribuan kelopaknya yang berkilap-kilap di jantung senja. Tepat di jantung senja.***
Surabaya–Malang
- Keladi Bercak Darah - 22 November 2024
- Hantu Hutan - 26 July 2024
- Hakim di Dapur - 26 January 2024
zi zi
merinding bacanya… bagussss
layung kemuning
pohon mawar itu menangis haru
Havidz Antonio
Bagus. Saya suka.
nugroho fadillah
Merindiiingg bacanya, suka banget
#Ar_rha
keren. Secara terbuka dan tertutup, cerpen ini kaya makna.