Semoga Pak JK Sehat Selalu

  1124156Jusuf-Kalla-PMI-2-780x390

Hidup berisik, maut jadi kesunyiannya.

Jakarta berisik, mudik jadi kesunyiannya.

Sebagaimana Jum’at adalah kesunyian bagi 6 hari keberisikan, maka Ramadhan adalah kesunyian bagi 11 bulan keberisikan.

Tua dan berisik, TOA-TOA keladi namanya.

(M. Faizi)

Saya ngikik sendiri membaca postingan kiai dari Guluk-Guluk Madura ini. Secara personal saya sangat kenal baik, sehingga mudah sangat untuk membayangkan ekspresinya jika membacakan puisi nakalnya itu. Makanya, saya jadi ngikik sekali.

Berisik dan sunyi.

Khittah-nya, yang suka berisik itu anak muda dan yang khusyuk dalam kesunyian itu orang tua. Sebab menjadi tua secara eksistensial (baik dari sudut pandang psikis, ekonomis, sosial, hingga spiritual) seyogyanya menahbiskan diri menjadi kendo, selow, kalem.

Fitrah eksistensial ini tentu takkan otomatis berlaku mutlak-universal. Normal tidak akan pernah ada bila tidak ada yang tidak normal, bukan?

Mari berpikir santai saja, bahwa hal-hal demikian merupakan buah kerja manis setan mencerabut khittah seorang yang tua untuk tetap berisik. Kian banyak tetua yang berisik, kinerja setan kian brilian.

Setan amat sangat pilu menghadapi anak muda yang sunyi, yang telah meninggalkan khittah darah mudanya untuk berisik. Sebaliknya, setan sangat riang bila sukses menjerat para tetua untuk terus berisik, sebab itulah pertanda paling fitrah akan hilangnya kesempatan eksistensial untuk tafakkur dan tadabbur.

Mau muda atau tua, setan ndak suka pada manusia yang bertafakkur dan bertadabbur. Lantaran melalui dua media yang menuntut kesunyian inilah manusia bisa menjernihkan hati dan pikirannya. Sunyi adalah sambiloto setan; berisik adalah ice coffee latte-nya.

Para bakul motivasi sering menggambarkan situasi ideal sunyi itu dengan kalimat: “Menjadi tua itu keniscayaan, menjadi bijaksana itu pilihan.” Waw, sadaaappp!

Tua sudah pasti, bijak belum pasti; uzur sudah pasti, sunyi belum pasti. Kira-kira demikianlah sindiran jlebnya.

Boleh jadi memang muncul, meski segelintir, anak muda yang takzim pada sunyi; menjadi bijaksana. Ini penyimpangan dari kelaziman, sebuah diskontinuitas atas rezim peradaban, begitu dawuh Michel Foucault. Yang demikianlah-demikianlah tentu tidak bisa dijadikan parameter mainstream. Sebab itu anomali. Anomali yang progresif.

Di sebelahnya, jelas jauh lebih banyak orang tua yang menjadi sunyi; menjadi bijaksana. Ini memang kepatutan yang niscaya. Mainstream-nya. Bukan anomali.

Bahwa di antara kaum uzur itu lalu muncul sesosok atau segolongan orang yang tetap berisik, mereka pun layak diberi pangkat “penyimpangan dari kelaziman, sebuah diskontinuitas atas rezim peradaban”. Sayangnya, bila Foucault mengidealkan “diskontinuitas” itu sebagai counter atas rezim mainstream dalam mekanisme antitesa menuju sintesa baru, maka keberadaan golongan uzur nan berisik ini justru menjadi anomali yang mundur. Alias kebangeten, nyebahi!

Blejeti saja pandangan ini secara umum: jika kau sudah berumur lebih dari 60 tahun, apalagi 70 tahun, apa lagi sih yang kau kejar selain kuburan? Apa lagi yang lebih penting untuk didahulukan selain bersikap kendo di tengah dinamika hidup ini? Apa lagi yang lebih indah selain rajin ke masjid, perbanyak dzikir, pergencar ngaji, sembari nimang cucu, menatap menantu, mengelus rambut uban istri, menulis diary, dan makan malam bersama sanak keluarga?

Sebagai Wapres, kita tahu Pak JK sudah sangat uzur. Bonus umurnya dibanding Rasulullah sudah sangat melimpah. Plus kesehatan yang diberikan Gusti Allah yang tak terperi. Saat kebanyakan orang seangkatannya telah berkalang tanah, atau masih hidup tetapi kian lelah dan pikun, atau bahkan sangat rindu kematiannya, beliaunya ini tampak begitu bregas dan bersemangat. Luar biasa! Nikmat Tuhan yang mana lagikah yang masih perlu didustakan?

Sering saya sibuk memikirkannya, Pak JK ini apa ndak kepingin mudik ke Makassar gitu, ngumpul sama anak-cucu, nimang cicit, nyantai di tepi pantai, minum orange juice sehabis ngaji sejuz, sembari nulis diary sukses hidupnya, ketimbang terus riweuh berpolitik yang kita tahu so-called hakpret-mbelgedes.

Tetapi, pikir saya lagi, Pak JK bukanlah saya; bukanlah kebanyakan kalian. Pak JK adalah diskontinuitas! Tekstur liat Pak JK yang selalu tahan hujan badai politik hakpret-mbelgedes itu kemungkinan berpangkal pada dua hal ini:

Satu, beliaunya ini sangat berhati mulia dengan memilih mengabdikan sekujur hidupnya pada politik hakpret-mbelgedes demi kesejahteraan ratusan juta rakyat Indonesia yang bernilai tukar Rp. 13.300 per dolar.

Dua, beliau mengabdi pada politik hakpret-mbelgedes untuk membuktikan validitas teori the survival of the fittest Charles Darwin: hanya ikanlah yang bisa hidup di air, hanya kucinglah yang bisa ambekan di darat, hanya mbelgedeslah yang bisa bertahan di dunia hakpret-mbeldeges.

Saya serius meneliti kedua kemungkinan tersebut.

Teori survival telah membuktikan bahwa tidaklah mungkin seorang banci tahan berada di antara para koboi; penyuka Minions tahan di antara para Spartan; seorang bromocorah ada di antara para pelantun qira’ah jelang Subuh.

Hidup ini selalu menyediakan dunianya masing-masing, habibatnya. Bahwa antarhabitat itu sesekali beririsan, itu alamiah belaka. Tetapi mengharap irisan habibat penggila koplo duduk manis di habitat jamaah masjid, jelas itu langka sekali. Atau anomali. Untuk tidak disebut keajaiban.

Sudah pasti, sebagai ketua Dewan Masjid Indonesia, Pak JK karib benar sama masjid. Itulah dunianya. Kalau kok kini beliaunya menggagas tim pemantau suara pengajian kaset yang keras dan tidak beraturan; untuk mengukur tingkat kebisingan suara TOA; sebab itu memicu polusi suara yang mengganggu; apalagi ngajinya kaset itu tak berpahala sehingga tiada guna; inilah sampel anomali antarhabitat itu. X di satu sisi, sekaligus Y di sisi lain. Bagai hibrida. Laa ilaa haula’ wa la ila haula’. Ora rono ora rene.

Itu satu. Kedua, sebagai Wapres, beliaunya ini luar biasa energik lho. Jangankan di tingkat dalam negeri, di level internasional pun beliau inilah Wapres tertampil. FYI, di Amerika Serikat yang ditahbiskan sebagai mbahne demokrasi, posisi Wapres hanya ban serep formalitas saja bagi presiden. Ia hanya mengurusi hal-hal yang sifatnya formal-administratif, dan kalaupun sesekali tampil ke khalayak harus atas seizin presidennya. Catat: sesekali dan seizin presiden.

Pak JK yang energik tentu beda. Jangankan cuma ngomentarin apalah-apalah di televisi yang dijamin lebih kilat dibanding statemen presiden sendiri, beliaunya ini juga tangkas banget mengambil keputusan-keputusan yang mendahului presiden.

Hebat, kan?

Di era SBY periode pertama, kemelut dana talangan BLBI itu, siapalah yang mengambil keputusan? Sri Mulyani menyebut nama beliaunya ini.

Lalu bola panas revisi UU KPK yang dikomandani habibullah Fachri Hamzah sejak dulu banget seiring terbugilinya koruptor sapi itu. Siapalah yang menendang bola bahwa presiden Jokowi menyetujui revisi UU KPK itu selain beliaunya ini, meski kemudian Jokowi memberikan jawaban yang berbeda.

Sekali lagi, hebat, kan?

Tak pernah ada di dunia ini “ban depan” disalip “ban belakang” bahkan sampai ke level pikiran dan nuraninya kecuali di sini.

Dengan melihat kehebatan-kehebatan ini, rasanya patut sekali bagi kita untuk beramai-ramai mendoakan Pak JK agar selalu sehat, waras, dan nggenah. Bila memungkinkan, mumpung masih Ramadhan, mari gagas gerakan shalat Hajat nasional dengan doa khusus untuk beliaunya.

 

Jogja, 24 Juni 2015

Sumber gambar: nasional.kompas.com

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. M Faizi Reply

    He, he, lumayan dikutip, hihihi, bakal dapat honor juga nih kayaknya

    • EDI AH IYUBENU Reply

      Haaaa

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!