Meskipun sisa tahun 2019 hanya akan ditemani oleh hujan yang berkepanjangan, sekiranya masih ada beberapa hari besar yang patut dirayakan. Masih ada Tahun baru Islam, Maulid Nabi Muhammad Saw., dan yang terakhir Hari Natal. Setelah itu, 2019 hanya akan menyisakan kenangan-kenangan penting yang tak ikut hanyut terbawa arus oleh derasnya hujan berkepanjangan, mengisi ruang yang tersisa di dalam ingatan kolektif manusia di tahun-tahun yang akan selalu berdatangan.
Namun, tak begitu adanya dengan Haruki Murakami. Jikalau hari-hari besar selalu mendapatkan tempat utama dalam ingatan kolektif manusia, sehingga perayaannya takkan pernah luput walaupun setengah peradaban manusia mengalami amnesia, atau hilang ditelan bumi secara tiba-tiba layaknya yang dilakukan oleh Thanos, Haruki Murakami justru tidak lagi merasa bersemangat dengan perayaan hari-hari besar di Jepang yang dirayakan di sisa tahun 2019 ini. Semua itu ia letakkan jauh-jauh dari dirinya, sebab saat ini ia hanya memikirkan, dan juga menantikan kedatangan bulan Oktober 2019.
Selama penantian yang terasa amat lambat itu, ia mengalami kegelisahan yang mendalam layaknya kegelisahan yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam novelnya. 40 tahun lebih berkarya, meramu kisah menjadi sebuah cerita, membuka jalan baru bagi kesusasteraan Jepang, dan yang paling penting yaitu berhasil membangkitkan semangat literasi anak-anak muda Jepang yang keranjingan sake, pada akhirnya memaksa Murakami untuk mengharapkan sebuah pamrih atas segala hal mustahil yang berhasil ia lakukan: Nobel Sastra.
Cita-cita itu mungkin sudah pantas bersemayam dalam diri Murakami. Bagaimana tidak, selama menjadi pengarang, sudah begitu banyak kepentingan pribadi yang ia korbankan. Bisnis kafe jaznya yang sedang berada dalam kondisi stabil ia tutup demi menjadi seorang penulis. Nikmatnya sake, Marlboro, dan tidur pukul empat subuh harus ia ganti dengan konsumsi rutin sayur dan ikan rebus, menaiki tempat tidur pada pukul sembilan malam, bangun pada pukul lima subuh dan berlari setidaknya 20 km setiap sore—terkadang ia tambah dengan berenang sejauh 1500 meter. Belum lagi seringnya ia melakukan penolakan terhadap ajakan temannya untuk bersantai-santai di bar hingga larut malam. Tetapi yang paling ekstrem adalah pilihannya untuk tidak memiliki anak.
Tak ada alasan konkret tentang pilihannya untuk tidak memiliki anak. Namun pasti, salah satu alasannya untuk tidak memiliki anak adalah rasa tanggung jawabnya yang terlalu besar terhadap para pembaca karyanya, yang mana mayoritas adalah anak-anak muda Jepang. Terkadang kenyataan itu terasa terlalu berlebihan. Tapi itulah adanya Murakami. Mengambil risiko besar tampaknya sudah menjadi sebuah keyakinan mendarah daging dalam dirinya. Mana ada manusia yang begitu yakin meninggalkan bisnis satu-satunya hanya karena tiba-tiba memiliki rasa percaya diri berlebihan untuk menjadi seorang novelis ketika sedang menonton pertandingan bisbol di sore hari. Atau menolak mentah-mentah ajakan teman-teman demi mempertahankan konsistensi dan keseriusannya dalam menciptakan cerita. Memang orang seperti itu benar-benar ada, tetapi tidak akan mudah untuk ditemukan dalam kehidupan sehari-hari kita yang cenderung untuk memilih berada di dalam zona nyaman.
Murakami terlalu banyak mengambil risiko dalam hidupnya. Ketika Yukio Mishima, Yasunari Kawabata, dan Kenzaburo Oe masih menguasai iklim kesusasteraan Jepang dengan narasi-narasi yang dibalut bahasa langit, isu-isu yang mengharapkan kehidupan Jepang kembali ke zaman samurai, dan romantisme ideologi-ideologi yang telah membusuk, Murakami malah muncul dengan cerita-cerita paralel sarat akan surealisme yang dibimbing oleh tokoh-tokoh anak muda pencinta musik jaz, pencinta buku, dan penikmat kesunyian. Bahkan, tanpa sedikit keraguan, mahakarya George Orwell pun ia olok-olok dengan mengubah judul 1984 menjadi 1Q84.
Pada awal kehadirannya, tak sedikit respons buruk dari kritikus sastra menghantam karya-karyanya. Bahkan seorang penulis Jepang peraih Nobel Sastra tahun 1998, yaitu Kenzaburo Oe, mendapatkan julukan Pengkritik Haruki Murakami Paling Kejam—pernyataan ini tertera di sinopsis Kronik Burung Pegas yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit KPG—atas ketidaksetujuannya akan narasi-narasi lamban, bersifat personal dan absurd yang dibangun oleh Haruki Murakami. Pernyataan lain juga muncul dari Haruki Murakami sendiri ketika diwawancarai oleh The Guardian, ketika ia berkata bahwa ia adalah penulis yang terbuang dari kesusasteraan Jepang. Terasing bak seorang tokoh di dalam novelnya yang berjudul Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya.
Tetapi Murakami tetaplah Murakami. Keterbiasaannya akan kesunyian yang telah ia jalani membuatnya menjadi manusia yang bertanggung jawab dengan risiko yang ia ambil. Toh itu setidaknya menghasilkan sesuatu yang selalu ia pertimbangkan, yaitu bukunya yang selalu laris manis bak kacang goreng, diborong oleh anak-anak muda Jepang yang haus akan role model yang ia ciptakan dalam cerita-ceritanya. Maka tak heran, seiring berjalannya waktu, mau tak mau kritikus sastra Jepang—bahkan dunia—harus mengakui peran Haruki Murakami dalam kesusasteraan Jepang. Hal itu dibuktikan dengan terpilihnya The Wind-up Bird Cronicle sebagai penerima penghargaan Yomiuri Prize pada tahun 1995—sebuah penghargaan sastra bergengsi di Jepang—yang diserahkan langsung oleh Kenzaburo Oe.
Kini, karya penulis yang sangat terobsesi dengan musik jaz dan lari maraton itu sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 60 bahasa. Selain itu, Murakami juga telah menjadi sebuah ikon pop culture yang digandrungi oleh anak-anak muda di seluruh dunia, dan menamai diri mereka Harukist. Para Harukist itulah yang membangun kafe-kafe jaz yang memiliki kaitan dengan dunia Haruki Murakami, mempromosikan dunia-dunianya yang akan semakin dikenal luas. Tak menutup kemungkinan, jika sebentar lagi para Harukist di Indonesia juga akan melakukan hal yang sama. Sebab, belakangan sudah banyak buku-buku Murakami yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Jika berbicara kontribusi, mungkin fakta-fakta di atas setidaknya sudah dirasa mumpuni. Di saat buku sastra mengalami senjakala yang disebabkan masifnya penggunaan internet, Haruki Murakami—dengan karya yang sering kali dikatakan kritikus sebagai karya serius namun memiliki unsur-unsur yang mempromosikan pop-culture—mampu membangkitkan semangat literasi anak-anak muda yang sebelumnya keranjingan internet menjadi Harukist fanatik yang memberontak. Belum lagi dilihat dari segala risiko yang telah ia ambil sebagai penulis, rasanya penghargaan Nobel Sastra bukanlah suatu hal yang harus ia harapkan secara nyinyir, melihat dua tahun lalu, penerimanya seorang penulis diaspora Jepang-Inggris yang kualitasnya tak berbanding jauh dengan Murakami.
Saat ini, di usianya yang akan memasuki 71 tahun di awal tahun 2020 nanti, mungkin Murakami sering duduk termenung di salah satu dari beberapa tempat yang ia gambarkan di dalam novelnya. Mungkin saja saat ini ia sedang duduk di atas seluncuran taman bermain anak-anak, melihat ke arah langit di mana dua rembulan mengambang. Setiap malam ia akan duduk di sana, menunggu kedatangan bulan Oktober tepatnya saat panitia Nobel Sastra, pada akhirnya—setelah dua tahun lamanya absen menganugerahkan penghargaan kesusasteraan paling bergengsi di dunia itu karena skandal pelecehan seksual yang dilakukan terhadap salah satu panitia internal—menyebutkan dua peraih Nobel Sastra sekaligus. Penantian panjang yang akan segera berakhir itu membuat Murakami semakin gelisah. Dua pemenang sekaligus dalam satu tahun, akankah namanya menjadi salah satunya? Menjelang malam anugerah, setiap malam Murakami akan bertanya kepada dua rembulan: “Setelah belasan kali mendapat janji palsu, akankah kali ini aku menjadi salah satunya?”
Aomame
Sebagian harus diiyakan. Tapi memang tampak sangat berbau fiksi. keeekee. Untung masuk kelompo hibernasi. Kalau esai rada-rada gimana gitu.
Jusuf Fitroh
Eka sama Murakami?
Wkwk nebak-nebak asyik
Kreta Amura
Jujur mirip2 sensasinya, temponya lambat, penuh misteri dan sedikit absurd