Kalau ada satu hal yang piawai Ning lakukan, maka itu adalah tersenyum. Kau tak bisa menyandingkan senyumnya dengan kesangaran dua pasang mata yang tengah menatap Ning. Alih-alih terlihat gentar menghadapi paklik dan bulik-nya, Ning tersenyum tenang. Padahal wajah mereka telanjur memerah; jangan-jangan sebentar lagi dor! Meledak berhamburan sebab terlampau tegang.
Cokro, bapak Ning, hanya berdeham berusaha memecah ketegangan. Kedua saudaranya yang telah beranak pinak di tanah rantau itu pun tampak kikuk. Yang perempuan menegakkan tubuh tambunnya, sementara yang lelaki membetulkan letak kacamata. Dihindarinya betul mata Cokro, sang kakak tertua, yang jelas-jelas lebih menakutkan. Padahal siapa yang tahu, kalau sebenarnya ada takut juga di hati Cokro.
Apa Ning merasa senyumnya bisa meredakan gulana di hati mereka? Senyumnya terkenal di penjuru desa. Berkat lengkung di bibirnya itu, Ning didamba banyak pemuda yang leleh hatinya disengat senyum hangat. Namun, siapa berani coba-coba memimpikannya? Sebagai satu-satunya anak Cokro, mantan Kades Dawuhan, yang sampai harus berganti istri tiga kali demi bisa menimang bayi, Ning dijaga betul oleh bapaknya. Ditatakan jalan hidupnya, dihamparkan masa depannya. Mana berani mereka yang bukan siapa-siapa, menggantungkan asa meminang Ning. Ngimpi!
“Pokoknya Ning musthi diruwat!” Bulik Wati bangkit dari duduknya. “Buang sial. Ning itu manandang sukerto.”
Cokro menatap makin tajam. Bisa-bisanya Wati menyebut keponakannya sendiri itu manandang sukerto—tak putus ditimpa sial hingga harus diruwat. Kepal tangan Cokro makin erat, menahan sesuatu di dadanya. Namun, Ning bergeming. Senyumnya belum luntur.
“Apa lupa saat masak besar di kawinan Kuncoro, Ning menyenggol dandang sampai nasinya tumpah semua. Kualat, Nduk, kualat!” Makin terdengar culas saja kalimat Wati di telinga. Meski begitu, dia tak berani memandang Cokro yang merah wajahnya makin matang. “Ruwat dia, Mas, daripada makin sial hidupnya. Duh Gusti, nasib anakmu, Mas.”
Semalang apa Ning? Memang, sejak insiden yang disebutkan Wati, ditambah lagi ibu Ning yang sudah tiada, Ning bolak-balik sakit. Satu hari demam berdarah, satu hari lainnya campak, dan macam-macam lainnya. Kemudian, ia menjanda di genap usia dua satu. Setahun menikah dengan lelaki pilihan Cokro, yang sudah ditimbang bibit, bobot, dan bebetnya betul-betul, Ning tak kunjung hamil. Lalu, suaminya meninggal karena kecelakaan, tepat seminggu setelah Ning terkena PHK dari pabrik tempatnya bekerja di kota. Cokro pun memboyong Ning kembali ke kampung agar dia bisa berduka dengan tenang.
Sayang, setibanya di sana, Ning berhenti melakukan banyak hal, termasuk memasak, berkebun, membaca buku, atau menonton berita. Dia cuma duduk-duduk sambil tersenyum. Awalnya Cokro senang. Ning tak meraung-raung meratapi kepergian suaminya serta hidupnya yang terjun bebas. Namun lambat laun, Cokro cemas. Hidup Ning mendadak tak lagi bergerak.
Cokro tak habis pikir. Untuk apa Ning tersenyum seperti itu? Jujur, jika begini, dia lebih suka Ning menangis gero-gero, bahkan depresi; tak mau makan atau tidur. Beda sekali dengan Jum, bakul pisang di pasar, yang nyaris mati dengan menyilet nadi, hendak menyusul almarhum sang suami. Sungguh, ketenangan Ning ini tidak wajar.
“Saya tidak setuju, Mas Cokro, Mbak Wati.” Kuncoro membuka suara. “Saran saya, dibawa saja ke psikolog atau psikiater. Semua musibah yang Ning alami mungkin memukul batinnya. Nasihat medis dan logis,” dia menekankan kata terakhir, “lebih baik untuk Ning.”
Pelipis Cokro mulai berdenyut. Apa Kuncoro kira Ning sudah hilang akal? Gendheng sinting miring sampai harus digelandang ke psikiater? Geram kini bergerumbul di tenggorokan Cokro.
“Bukan berarti gila, Mas,” lanjut Kuncoro, seakan tahu isi benak kangmasnya. “Kita ini orang awam. Mereka lebih berpengalaman menganalisis kondisi kejiwaan Ning.”
“Jangan mentang-mentang kamu kerja di rumah sakit, terus apa-apa harus disembuhkan dengan cara medis. Ning ini lain. Dia mesti diruwat.” Wati tak mau kalah.
“Ini zaman modern, Mbakyu.” Kuncoro balas ikut berdiri.
“Cukup!” Denyar di pelipis Cokro berubah menjadi godam yang menghantam.
Dia menatap Ning yang dulu pasti beringsut menunduk, dengan bahu bergetar, tiap Cokro memasang aksi nyaris menghardik. Sekarang, Ning membalas sorot geramnya dengan senyum. Seakan badai duka tak pernah mampir mengubrak-abrik hidupnya. Malah justru hati Cokrolah yang kini habis diluluhlantakkan senyum anak perempuan semata wayangnya.
***
Ning mengenakan terusan putih yang menjuntai sampai ke mata kaki. Apa ini Ning yang sama, batin Cokro. Sepanjang ingatannya, Ning anak penurut. Cokro cukup sekali menggunakan nada tinggi, maka Ning sigap melakoni apa pun. Masih lekat di ingatannya, Ning selalu bangun dini hari dan menyusul ibunya menyambut pagi dengan terampil. Tak ada bantah. Kata tidak pun tiada pernah.
Suatu waktu, di tengah persiapan pernikahan Kuncoro, Ning menghampiri. Dia bilang ingin potong rambut pendek, sedikit di bawah telinga. Cokro tak mengizinkan, sebab baginya perempuan lebih ayu bila berambut panjang. Namun, Ning diam-diam menyelinap. Dipangkasnya rambut itu, bahkan lebih pendek dari yang diusulkan. Ketika pulang, wajahnya berseri. Mungkin kala itu, Ning senang bisa membuktikan teori bapaknya salah. Perempuan tetap cantik, entah panjang atau pendek rambutnya.
Mungkin penat oleh hajatan atau jengkel melihat ketidakpatuhan, Cokro marah besar. Ning kecil takkan lupa mata buas bapaknya dan nada kasar yang mengguncang kediamannya. Ibu pun tak sanggup meredakan amarah bapak. Ning hanya berdiri tersudut, menatap takut-takut. Di matanya, bapak berubah menjadi Batara Kala yang siap menelannya bulat-bulat. Dengan terhuyung, dia berjalan ke dapur. Hatinya yang terkesiap membuat langkahnya tak waspada hingga menjatuhkan dandhang berisi beras yang tengah ditanak. Buliknya menjerit-jerit, menyumpahinya kualat. Ning tercekat melihat bapaknya datang mendekat, makin berang meradang.
Sejak itu, senyumnya menguap lenyap. Diganti kepatuhan yang tak terbantahkan, yang makin menjadi-jadi selepas ibunya meninggal lima tahun lalu.
Aroma ratus dupa meruap. Ning mengerjap ke arah bapaknya sebelum Ki Dalang mengantarkannya duduk di balik kelir wayang, di atas hamparan kain mori bertabur kelopak mawar. Cokro melihat ke arah bilah bambu yang merentang di atas kelir, ditumpangi lembar-lembar batik aneka corak—termasuk kain batik sindur dan bango tulak—serta pari sagedeng atau empat ikat padi yang ditata saling berdampingan.
Cokro tak mengira akhirnya mengiyakan usul Wati untuk meruwat Ning. Sungguhkah anaknya itu manungsa sukerto—yang diincar Betara Kala untuk dimangsa sehingga harus diruwat. Di dada dan dahinya harus ditulis mantra Kalacakra dan Sastra Balik yang akan menghindarkannya dari kemalangan.
Masih jelas terekam pembicaraannya dengan psikiater rujukan Kuncoro yang merawat Ning. Pria setengah baya dan berkacamata itu berkata tak ada yang salah dengan putrinya.
“Tapi, Ning,” Cokro berhenti sejenak, “berubah sejak itu.”
“Itulah cara Ning mengolah kesedihannya.”
“Saya lebih suka kalau dia menangis. Bukankah begitu cara manusia, terlebih perempuan, dalam berduka?”
“Berarti Ning bukan perempuan kebanyakan. Sejauh apa Bapak mengenal Ning?”
Sampai detik gending mengalun dan wayang gunungan digetarkan oleh tangan Ki Dalang sebagai penanda diawalinya lakon Murwakala, Cokro belum sanggup menjawab itu. Ning gadis penurut. Apa pun yang Cokro pilihkan, pasti Ning iyakan. Mulai dari rambutnya yang harus panjang, pilihan sekolah, sampai calon suami, Cokro yang memutuskan. Tak peduli apa Ning suka atau tidak, mau atau enggan; termasuk upacara ruwatan malam ini.
Sinar lampu blencong memanjangkan siluet Ning. Tegaslah jarak di antara mereka; bapak dan anak perempuannya yang saling cinta tapi tak tahu bagaimana melafalkannya.
Sepanjang ruwatan, Cokro menggenggam tangannya kuat-kuat. Sungguh, dia lebih suka Ning meratap. Terasa lumrah ketimbang duduk dan senyam-senyum saja. Lama-lama dia takut melihat senyum itu. Apa terasa jahat bila dia berdoa agar Ning tak tersenyum lagi?
***
Seperti sebelumnya, Ning duduk di bale bambu pendopo depan rumah, menghadap timur untuk menyambut pagi. Apa dia berharap matahari bisa membasuh gelisahnya? Cokro tak habis. Psikiater sudah. Ruwatan tuntas. Belum ada yang berubah dari Ning. Dia masih belum mau melakukan apa-apa selain tersenyum.
Ditambah lagi kasak-kusuk dari sepenjuru Desa Dawuhan. Ning sinting, begitulah mereka memanggilnya di balik punggung Cokro. Hati siapa yang tak perih mendengarnya. Anaknya tidak gila; sama warasnya dengan mereka yang memanggilnya Ning Sinting.
Begitu matahari meninggi, Ning perlahan masuk. Rumah itu terbagi dua sayap yang dihubungkan selasar panjang. Ujungnya mengarah ke halaman belakang. Cokro memelihara ayam dan kambing di sana, bersanding dengan pohon pisang, pepaya, dan belimbing wuluh. Sekitar satu jam, Ning berdiri di pintu halaman belakang. Matanya bergerak mengekor anak-anak ayam berlarian, kambing yang sibuk memamah rumput yang bertumpuk nyaris sama tinggi, desir daun pohon belimbing wuluh digoyang angin, serta pepaya-pepaya mengkal yang berdesakan di batang kerempeng.
“Kamu lihat apa, Ning?”
Seulas senyum menyambut Cokro. Tanpa berkata, Ning melemparkan pandangan ke anak kambing yang menyusu di sudut kandang.
“Bapak ingat, dulu Ning kecil pernah minta dibelikan kambing? Ning dan Bapak, sama-sama jalan ke pasar, gandengan, milih-milih kambing, terus akhirnya pulang bawa kambing yang aku namai Urip?”
“Kamu masih ingat?”
“Lha iya, Pak,” senyum itu mengembang terus lebar. “Waktu itu, Ning bahagia sekali. Setiap pagi, Bapak membangunkan Ning untuk sama-sama memberi makan Urip, sampai-sampai bau prengusnya Urip nempel di baju Ning. Ning pengin kembali ke masa itu.”
Cokro menaikkan alis. Belum pernah Ning bicara sepanjang ini semenjak kepulangannya, terlebih setelah Cokro menyeret-nyeretnya ke upacara ruwatan dan konseling di Rumah Sakit.
“Ning senang sekali waktu itu.” Kali ini anaknya itu menatap erat, berusaha menembus pekatnya bola mata hitam Cokro.
“Memangnya selama ini kamu tidak senang, Ning? Bilang sama Bapak, kamu mau apa. Bapak akan selalu cari jalan supaya kamu senang.”
“Untuk senangnya aku, atau senangnya Bapak?”
Senyum itu lagi. Lama-lama Cokro muak melihatnya. Ditariknya kasar tangan Ning sampai ke depan cermin besar berbingkai ukiran jati di samping lemari pajang. Cokro dan Ning menghadapi bayangannya sendiri. Yang satu geram. Yang lainnya tenang tersenyum.
“Berhenti tersenyum, Ning!” bentak Cokro.
“Bukannya senyum itu artinya bahagia? Bapak pikir Ning tidak bahagia?”
“Mana bisa bahagia setelah semua yang kau alami? Semua kemalanganmu. Ini tidak wajar, Ning. Caramu senyum itu.” Cermin memantulkan raut wajah Cokro yang kesal. “Bapak tidak mau tahu. Mulai sekarang kau harus menangis.”
“Bahkan untuk tersenyum atau menangis, harus seizin Bapak?”
Ning mengerjapkan mata. Di matanya membayang tahun-tahun di mana dia mati jiwa. Dimatikan oleh angkuh sang bapak. Dia ingin kesadaran hidupnya kembali. Apa bapaknya tahu, Ning ingin hidup dengan keputusan yang dia ambil sendiri, lewat kesadarannya sendiri? Tidak. Dia hanya ingin tersenyum. Itu kehendaknya, bukan bapaknya.
“Nangis, Ning!”
Cengkeraman tangan itu menguat, secerlang kembang di bibir Ning yang merekah. Sepanjang hari, sampai malam berganti pagi yang baru, Cokro duduk di belakang Ning. Siapa bisa tahan melihat bayangan yang terpantul di cermin? Senyum Ning kuat, menolak menguncup. Sementara wajah cemas Cokro tak lagi bisa mengembangkan senyum. Kulitnya kisut, mengerut seakan menua lebih cepat dari detik jam.
Tak lama Cokro meraba pipinya. Air matanya jatuh. Air mata yang seharusnya milik Ning bertahun-tahun lalu. Perempuan itu hanya tersenyum melihatnya. Sesuatu tergenapi di dadanya.
- Senyum Ning - 19 February 2016
Initial A
Epic nih, penuh makna.