Di Suatu Tempat Asing, Seorang Kakek Tua Hidup Sendiri; Puisi Mutia Sukma (Yogyakarta)

kakek di suatu senja
Sumber gambar
Di Suatu Tempat Asing, Seorang Kakek Tua Hidup Sendiri
:Agam Wispi

Engkau yang tak tercatat dalam buku sejarah
Yang sepi dan mati di benua jauh
Datanglah, datang pada diriku
Yang riuh mengenangmu

Aku bayangkan,
Sebelum hari terakhirmu
Kamu yang tua dan duduk di muka pintu
Mengintip ke luaran yang dingin
Syalmu hampir rusak
Kacamatamu sudah tak jelas saat digunakan

Kamu yang tua,
Tertunduk mengenang kampung halaman
Aku yang muda membayangkan kotamu
Jauh, jutaan kilometer menuju ke arahmu

Oh, suhu yang berada di bawah enol derajat
Di rumah jompomu yang bersih
Para pelayan yang giat, menambah kayu ke pendiangan

Kamu yang menangis mengingat tanah jauh
Memandang ke luaran
Tanpa api dan pendiangan
Tanpa syal dan kacamata
Betapa dekatnya dirimu pada kehangatan

 

Ironi pada Sebuah Cafe Kecil Depan Gedung Asia Afrika

Pukul tiga pagi
Di saat embun mulai basah dipermukaan batako
Udara Periangan menusuk tulang
Aku memandang Braga dari sebuah cafe kecil

Sepi pengunjung

Di cafe kecil, lewat jendela yang kecil
Aku memandang
Para bule menari reggae di sebuah bar pinggir jalan
Lagu-lagu Bob Marley mengalun-ngalun sampai keluar

Pukul tiga pagi
Saat embun mulai basah di permukaan batako
Dan udara Periangan menusuk tulang
Aku membayangkan mereka melepas tegang

Seusai konfrensi Asia Afrika

Mata mereka masih menyisakan lelah perjalanan jauh
Pesawat yang delay dan kestabilan negara yang rawan
Maka dipeluk dan kecuplah para gadis bar itu
Mungkin gemetar kelelakiannya,
Atau gemetar dalam diri, membayangkan perang dunia dan kemanusiaan

Pada dua diri yang saling bertentangan
Para bule yang kubayangkan sebagai peserta konfrensi Asia Afrika

Menari reggae

Mereka menenggak bir, tawa mereka mengambang di antara musik yang kencang
Mungkin sebelum pagi, sebelum harus kembali berdebat sengit
Bicara politik, bicara ekonomi, bicara kelaparan dan perang yang sangar

Para bule yang kubayangkan sebagai peserta konfrensi Asia Afrika

Menari reggae

Mereka menenggak bir, tawa mereka mengambang di antara musik yang kencang
Botol-botol telah kosong,
Para bule yang berpelukan dengan gadis bar berjalan keluar
Namun bukan menuju gedung Asia Afrika.

 

Cinta Gila

Apalah arti kembang api di tengah mandi cahaya
Apalah arti cintaku yang besar bagimu
Bila seluruh zat mencintaimu

Aku menjalankan peta nasibku
Kau rupanya yang menentukan tujuan
Aku menguasai ilmu pengetahuan, peta dunia dan buku-buku
Tapi kau lebih paham segalanya

Akulah pembuka lahan di daratan kering,
Memangkas rumput sahara dan membakar reranting
Dan menjadi pemilik atas wilayah temuan
Tapi ternyata, engkaulah penguasanya

Dengan anggur dan kitab suci, aku mabuk memujamu
Tapi pujaanku, mungkin takkan sampai kepadamu
Sebab aku bagai buah-buahan, yang berharap tumbuh di tepian

Sungai susumu

Tawan aku jadi kolonimu
Penjarakan aku dalam cintamu.

 

Seusai Peperangan

pada waktunya semua akan berakhir
saat aku tak lagi menyuapi si buntung atau menunjukkan

mana jalan tak beranjau bagi si buta

bunker kita begitu sederhana
tak cukup melindungi saat ada yang meledak
mengikuti berisik helikopter sewaktuwaktu
kita harus terbiasa dengan ini
menganggap segala yang ada di sekitar kita tak aman

dan berhatihati pada semua kenalan

jadi cacat tibatiba tak lagi rahasia
sebab lapar tak bisa ditunda dan kita hanya punya ladang

ubi yang menyisakan aroma mesiu

batang serta daunnya pun berubah tanda perintah

saling silang

yang tak tahan
tak perlu mati kelaparan atau tertembak di pucuk senapan
karena mereka punya cara mencintai diri sendiri
selama ada batu

tambang

juga telaga

maka tak perlu ada yang mati ketahuan
pada waktunya semua akan berakhir
kota begitu lengang
tinggal kampkamp yang tak berpenghuni seperti pernah ditinggali
si buntung berlarilari
meneriakkan namaku atau nama siapa saja yang tertinggal di kepalanya
namun tiada
tinggal tangisan saja, airnya akan menghijaukan reranting yang

bukan lagi milik burungburung

 

Perjamuan Setan

Bagi instalasi agus rianto

pagi ini kami datang ke sebuah perjamuan
bentuk meja yang bundar dan membuat aku

dan dia duduk berhadapan

arah duduk kami sengaja menghadap jendela
sebab membuat semakin leluasa memilih hidangan mana

yang akan disantap lebih dahulu

mengisi piring dan gelas kami yang kosong
merencanakan mana yang akan dimakan menjadi pembuka

dan mana yang akan dimakan selanjutnya

perjamuan ini rahasia
karena kami berencana makan seadanya
apa yang tertunjuk jari itulah yang akan kami santap

dengan nikmat

tak perlu minum anggur untuk memanaskan badan
sebab pertemuan kami dilingkupi banyak kehilangan

dan rasa dendam

kubiarkan mereka menghina kami
membangun sarang buih di sudut bibir mereka yang tebal
sebab nama yang telah lama disiapkan untuk mereka
hanya memperlancar rencana kematian mereka

yang cepat

kami membantu membukakan pintu ajal
dan mereka mengantar kami ke puncak kenikmatan

Mutia Sukma
Latest posts by Mutia Sukma (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!