Sudah hampir dua tahun ini Indra menenteng map berisi ijazah S1. Sudah selama itu pula ia kecewa, mulai ditolak satpam, resepsionis, HRD, ataupun pemilik perusahaan.
“Maaf, Anda belum memenuhi kriteria kami.” Demikian jawaban yang selalu diterima Indra. Wajah lesu dan muram langsung terukir di wajahnya. Hanya senyum yang dipaksakan saja yang diberikan kepada pewawancara itu. Sambil menyeret kaki, Indra mulai meragukan kualitasnya. Banyak pertanyaan miring yang ditujukan kepada dirinya.
Sejenak, Indra duduk di pot taman kota untuk memikirkan sesuatu yang selama ini jarang ada di benaknya. Tentang diri dan perjuangannya. Deru knalpot dan asap kotor mengotori mukanya, seperti nasibnya saat ini. Hidup itu kejam.
Indra hanya bisa menatap jalanan dengan nanar. Ia mulai berani menanyakan kepada Tuhannya tentang keadilan hidup. Ia melihat orang kaya yang dengan seenaknya membuang makanan. Tak lama, makanan itu dipungut oleh gelandangan.
Hujan mulai mengguyur. Indra berteduh di emperan konter ponsel yang sepertinya sudah lama tutup. Diamatinya rolling door yang penuh grafiti kreatif anak-anak muda. Seandainya muda lagi, tentu ia akan memanfaatkan hidupnya dengan baik. Menata ulang hidupnya agar tidak semenderita sekarang.
Seorang pengamen lewat di depan Indra. Pengamen itu sibuk menghitung uang receh hasil pendapatannya hari ini. Mata Indra nanar. Ia yang sudah mendapat gelar sarjana masih belum bisa mendapatkan uang semudah pengamen yang baru saja lewat.
Hidup itu bukan untuk mengeluh, namun berusaha. Setiap orang pasti mempunyai kontraknya sendiri dengan Sang Khalik. Hanya saja, kita melupakan itu. Ketika kita ditiupkan ke dunia, pastinya sudah menyetujui proposal yang ditawarkan Tuhan. Inilah penenang Indra selama ini.
Namun sekarang, penenang itu memudar. Ia mulai membayangkan bagaimana nasibnya nanti. Siapa yang mau dengannya nanti, jika untuk menghidupi diri saja tidak bisa. Atau, apakah dia selamanya akan hidup dalam kontrakan seraya terus-menerus harus menyerahkan upeti kepada induk semang kos. Kepalanya langsung mengenyut. Ingin ia menangis di tempat itu.
Hujan tak kunjung reda. Perut tak bisa diajak kompromi. Ia merogoh saku, uang yang tersisa lima ribu. Tiga ribu untuk pulang, dua ribu untuk makan.
Indra menatap angkringan di sebelahnya. Ia merasa iri dengan para tukang becak di sana. Walau penghasilannya pas-pasan, mereka dapat tertawa lepas sambil menikmati kopi hitam panas pekat dalam dinginnya hujan. Mereka tidak membicarakan setoran hari ini, tentang anaknya sudah makan atau belum, pun tabungan pendidikan anak nanti.
Hidup itu berat. Beberapa petuah guru ngajinya dulu terngiang. Tidak usah kau kejar harta, nanti akan datang dengan sendirinya. Ia pun mulai meragukan petuah itu. Bagaimana tidak dikejar? Kalau tidak mengejar sama saja tidak makan. Ia merogoh saku dan mengambil ponsel bututnya yang pernah ia coba gadaikan lima puluh ribu namun ditolak. Layarnya sudah menunjuk jam empat sore.
Sejenak, ia iseng membaca pesan-pesan di ponselnya. Tapi sebentar kemudian, ia justru semakin muram. Dibacanya beberapa pesan dari teman yang bertanya tentang kabarnya di perantauan.
Kapan pulang? Jangan pelit, pasti sudah sukses kan di sana!
Kalau pulang beliin batik Jogja. Itung-itung zakat penghasilanmu.
Tolong cariin kerja di Jogja buat keponakanmu, ya. Daripada di sini dia cuma mabuk-mabukan.
Perasaan Indra tercabik-cabik dengan tingginya harapan teman dan saudaranya di kampung halaman. Mendadak, ada pesan baru masuk. Namun belum sempat dibuka, ponselnya mati karena habis baterai. Indra hanya bisa mengutuk ponsel butut yang sudah lima tahun menemaninya.
Hujan tak kunjung reda. Indra menunda kepulangannya ke kos. Pikirannya terbang, membayangkan seandainya tidak ke Yogya. Atau jika biaya kuliah sampai dia lulus digunakan untuk usaha saja.
Juga ingatan tentang beberapa teman kuliahnya yang dulu mengajak kerja sampingan, namun ditolaknya karena ingin konsentrasi kuliah. Pengalaman itulah yang sering ditanyakan pemilik perusahaan. Tentunya itu tidak bisa dijawab.
Lamat-lamat, adzan Maghrib terdengar. Kakinya segera menyeret badan Indra menuju sumber suara. Dirinya melepas sepatu dan menaruh barang bawaannya di loker masjid. Diambilnya air wudhu dan masuk masjid.
Dalam doanya, ia meminta dibukakan pintu rezeki. Suasana saat itu sangat khusyuk. Puluhan orang menghadap Sang Pengadil dengan hati sejujur-jujurnya.
Selesai shalat, ia duduk di beranda masjid sambil menunggu waktu Isya tiba. Sejenak, ia teringat suasana kampung halamannya. Saat pulang mengaji dan mampir masjid. Atau saat Ramadhan dan berebut makanan saat selesai tarawih. Atau pula ketika Lebaran dan meledakkan petasan ramai-ramai. Alangkah indahnya kenangan itu. Ia pun rindu dengan kedua orang tuanya. Bagaimana kabar mereka sekarang? Senyum pun mengembang di wajahnya.
Selesai shalat Isya, Indra pulang ke kos naik bus. Ia bisa melihat pemandangan indahnya Yogyakarta pada petang hari. Lampu-lampu mulai dihidupkan dan aktivitas hiburan malam dimulai. Dunia melepas penat setelah seharian kerja atau belajar seharian.
Namun bagi Indra, ini bukan dunianya. Ia merasa seperti para pegawai hiburan malam itu. Orang-orang yang berusaha mengumpulkan pundi rupiah untuk masa depan.
Tiba di kos, Indra memasak mi rebus karena uangnya sudah menipis. Tidak lupa, ia mengecas ponselnya yang sudah mati. Beberapa teman kos dengan baik hati memberikan nasi putih untuk teman mi rebus dan segelas teh panas kepadanya. Di kamar 2×3 meter itu berkumpul manusia-manusia senasib dan sepenanggungan.
Mereka membicarakan tentang apa itu hidup, hidupku, hidupmu, dan idealisme yang masih mereka pegang erat. Tidak lupa, juga sekitar obrolan peluang kerja. Beberapa info lowongan pekerjaan pun datang.
Indra mengantongi beberapa nama perusahaan yang membutuhkan jasanya. Senyum pun mengembang. Ia bisa menikmati empuknya tikar dengan tenang.
Besok masih ada harapan, kata batinnya. Ia memandangi eternit kamar kos yang mulai kusam.
Saat akan memejamkan mata, ia ingat kalau tadi mendapat pesan singkat. Ia pun menghidupkan ponselnya dan mencari pesan yang baru masuk. Indra tertegun setelah membaca pesan yang masuk. Pesan dari orang tuanya.
Nak, jika memang susah cari kerja di Jogja, lebih baik pulang dan mengelola kebun yang ada saja. Mak dan Bapakmu sudah tua.
“Tenang saja, Mak. Anakmu ini pasti akan sukses di perantauan,” kata Indra. Ia yakin besok akan diterima kerja. Semua syarat sudah dia punya. Memang Budi, temannya, memberi kabar ini agak terlambat karena besok hari penutupan.
Indra mulai membayangkan kerja di sebuah penerbitan. Menulis dan mengedit naskah adalah kegemarannya. Selama ini pula, ia bisa bertahan hidup karena mengedit naskah skripsi beberapa adik kelasnya.
Bayangan peluang diterima kerja sangat tinggi. Setidaknya jika diterima nanti, ia tidak perlu mengirit uang makan. Pekerjaan ini juga bisa dijadikan batu lompatan untuk karier yang lebih mentereng. Ia ingin membahagiakan orang tuanya secepat mungkin.
Mendadak, Indra terdiam. Ia bingung, apa orang tuanya akan bangga dengannya nanti? Mereka sudah tua. Ia harus tahu dengan yang dibutuhkan orang tuanya saat ini. Pikirannya kalut. Ia memilih untuk konsentrasi cari kerja dulu. Diambilnya buku tata bahasa dan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk dipelajari. Tidak lupa, ia memasang alarm supaya bisa shalat Tahajjud.
Sesuai perkiraan, Indra terjaga di sepertiga malam. Sejenak dinikmatinya suasana syahdu yang tercipta. Tetes gerimis yang berirama, juga beberapa binatang malam yang terus berbunyi menjaga keseimbangan malam dan siang agar tetap indah. Setelah minum air putih, dia bangkit dari kasur dan mengambil air wudhu. Air mengaliri mulut, hidung, dan beberapa organ tubuh lainnya. Suaranya gemericik, membuat kuping tetap awas serta selalu kagum dengan-Nya.
Selesai shalat, ia minta dibukakan kebimbangan hatinya. Ia serahkan takdir hidupnya kepada-Nya. Ia hanya berusaha ikhlas. Ditatapnya lekat-lekat sajadah. Air matanya keluar dan bergulir di tulang pipinya yang keras ditempa alam. “Mak, Yah. Indra melakukan apa yang Indra yakini.”
***
Siang memuncak. Matahari membakar kulit siapa saja yang lewat. Indra baru selesai mandi dan menyiapkan berkas-berkasnya. Tiba-tiba, ia tertegun. Tidak butuh waktu lama, ia langsung panik. Tas yang dipakainya kemarin tertinggal di masjid.
Dia segera berpakaian rapi dan bergegas menuju masjid tempat shalat kemarin. Dia harus berpacu dengan waktu. Sebab selain lokasi masjid dan tempat dia akan mendaftar kerja bertolak belakang, juga waktu yang mepet membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ia tidak ingin jerih payahnya selama ini hilang sia-sia.
Setengah jam kemudian, dia sampai ke masjid dan membuka loker tempat kemarin menaruh tas. Kosong! Kepanikannya memuncak. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tulangnya serasa dilepas satu per satu. Tidak ada kekuatan untuk menyeret kakinya.
Badannya roboh dan tersandar di dinding masjid. Pikirannya gelap. Mimpi-mimpinya hilang dan berganti dengan jerat-jerat suram. Ingin rasanya menjadi anak kecil dan menangis sekencang-kencangnya. Ijazah yang selama ini dia perjuangkan musnah. Tidak terbayang pengorbanan yang keluar untuk selembar kertas itu. Satu-satunya senjata yang dia punya sudah hilang.
***
Mimpi-mimpi sudah buyar. Indra tercenung di kamar kos. Diberesinya perkakas kamar. Dijual ponsel bututnya untuk menambah modal. Indra merasa inilah jalan yang diberikan kepadanya. Tidak boleh bergantung kepada sesuatu. Indra mulai memikirkan sisi positif yang diterimanya. Ia memutuskan pulang dan membangun daerahnya.
Sebagai sarjana, ia harus berpikir untuk membuka lapangan kerja dan mengembangkan daerahnya, tidak bisa terus-menerus ikut dalam arus. Lagi pula, kedua orang tuanya sudah merindu akan dirinya. Apa lagi yang bisa diberikannya? Hanya satu, menemani masa tua mereka. Sedikit demi sedikit, senyum terkembang di bibirnya. Inilah jalan yang diberikan-Nya.
- Mbah Karjo - 29 April 2016
- Seorang Lelaki dan Selembar Ijazah - 14 August 2015
Nisrina Lubis
dewa ayey!
EDI AH IYUBENU
Nggak nyangka iso nyerpen dewa….
Nisrina Lubis
anak sastra hohoh!
Anonymous
keren
Anonymous
sepertinya pengalaman penulis…hehehe
Nawawi
Ditunggu cerpen berikutnya