Pada saat-saat akhir menjelang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan rezimnya “turun tahta” dan “mudik” sebagai rakyat biasa, satu tokoh ini mekar, mencuat. Popularitasnya bergerak mengikuti irama kurva dari kiri bawah ke kanan atas, dan malah makin kentara ketika Jokowi maju dan terpilih sebagai Presiden RI. Salah satu ciri cendekiawan, menurut Syed Hussein Alatas, yakni “mereka dijumpai di kalangan pendukung atau penentang pelbagai gerakan kebudayaan dan politik”, cukup bagi kita untuk menyebut tokoh itu ialah Boni Hargens. Boni itu cendekiawan Katolik yang (1) cerdas dan santun, (2) kritis dan analitis, (3) argumentatif dan profesional, serta (4) sangat “membenci” SBY dan amat “mencintai” Jokowi.
Boni familier seiring pelbagai kritik tajam yang ia layangkan kepada SBY dan rezimnya. Pada 2010 silam, dosen Fisip pada Universitas Indonesia (UI) itu menyebut SBY tengah membumikan politik kejahatan dengan cara menerapkan perangkat-perangkat demokrasi yang bertujuan membungkam suara rakyat dan lawan politiknya. Politik model ini, hemat Boni, bertalian erat dengan kediktatoran.
Lebih lanjut, ada dua modus operandi diktator, yakni yang hard dan yang soft. Persis, SBY doyan menggunakan cara yang soft. Selain itu, Boni, Pengamat Politik UI, menilai bahwa SBY cenderung lamban dalam menanggapi dan menyelesaikan aneka persoalan bangsa. Soal aksi massa yang berdemonstrasi dengan melibatkan kerbau dan hewan-hewan lain, putera Bumi Congka Sae yang meraih gelar doktor di Jerman ini berujar, “Presiden tidak perlu naik pitam soal kerbau. Berapa ekor pun mereka di istana, itu tidak penting untuk dibahas. Yang perlu dipertanyakan ialah, mengapa ada kerbau di istana?” Bukankah kerbau itu juga lambang kelambanan?
Contoh lainnya ialah debat Boni vs Ruhut Sitompul. Ruhut yang marah atas kritik Boni yang menilai 9 tahun SBY (baca: presiden Partai Demokrat bukan presiden RI) menakhodai RI jauh lebih buruk dibandingkan 1 tahun Jokowi mengayuh DKI Jakarta, menyebut Boni sebagai Pengamat Politik Hitam. Boni yang tahu baik soal martabat manusia (substansi penting yang juga digarisbawahi Mendiang Sri Paus Yoh. Paulus II) menilai “celotehan” Ruhut itu sebagai serangan beraroma rasis. Ruhut dilaporkannya kepada polisi dan Badan Kehormatan DPR lantaran martabatnya dilecehkan oleh politisi “ngawur” Demokrat itu. Dan pokok penting terakhir yang perlu diberi atensi ialah Boni tidak hanya cerdas dalam mengalamatkan kritik. Boni juga lihai menawarkan alternatif.
Pada momen peluncuran bukunya berjudul Demokrasi Radikal: Memahami Paradoks Demokrasi Modern dalam Perspektif Postmarxis-Postmodern, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe di FISIP-UI, Depok, Boni mengejawantahkan bahwa demokrasi radikal yang dikembangkan dari pemikiran dua Profesor Ilmu Politik (Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe) perlu mendapat porsi dan posisi di Indonesia. Boni menjelaskan, Laclau-Mouffe menyadari bahwa persoalan yang tidak mampu diselesaikan oleh demokrasi liberal adalah antagonisme (pluralisme bukan gangguan terhadap kepentingan demokrasi, melainkan ciri dasar yang membentuk identitas demokrasi) politik di tengah keberagaman nilai sosial dan politik. Hubungan antarkelompok berbeda kepentingan dalam demokrasi bukanlah hubungan permusuhan kawan-lawan (friend–enemy) melainkan hubungan persaingan bersahaja kawan-lawan (friend–friendly–enemy).
“Pancasila merupakan common space (ruang bersama yang menjadi tempat bertemunya kawan dan lawan demi bonum commune—kebaikan bersama) yang sudah disepakati sejak awal berdirinya republik ini. Kebangkitan politik identitas yang memakai jubah agama sebagai misal, sebetulnya dapat diredam jika masing-masing kelompok tidak saling berlomba ‘memperebutkan Indonesia’,” tuturnya.
***
Beberapa pertanyaan penting, (a) kiprah Boni Hargens, secara langsung maupun tidak langsung, berbicara apa kepada kita? (b) macam manakah Boni berbicara? (c) jika benar ada, landasan apa yang dapat melegitimasi wujud macam mana Boni berbicara itu? (d) dalam konteks kita, perlu atau tidak kita mendengar Boni berbicara? Status questiones-nya jelas.
Mari bersama kita menjawab.
Sepak terjang Boni Hargens, seyogianya mempresentasikan tekanan Mazhab Gramscian (antitesis terhadap Mazhab Bendaian-cendekiawan harus mengambil jarak dari politik kekuasan) bahwa cendekiawan harus mengambil bagian dalam politik kekuasaan dengan memilih memihak pada kelas atau kelompok tertentu. Tepatlah, Boni itu cendekiawan yang berpihak pada yang benar, yang terjun dalam konteks, yang tidak duduk cantik dalam hangatnya menara gading intelektualitas. Boni tajam dalam membaca konteks, jeli melacak arah perpolitikan, dan pandai memformulasikan isi gugatannya lalu angkat bicara. Tidak lupa pula, ideal setiap kritik yakni mesti dibarengi dengan solusi-alternatif, juga ditunjukkan olehnya. Ini jawaban untuk pertanyaan (a) dan (b).
Bicara soal landasan atau basis, perlu bagi kita untuk mempersempit cakupan. Karena Boni itu cendekiawan Katolik, inspirasi apa yang juga mesti memotori kita?
Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes memberi kita harapan. “Semua orang Kristen hendaknya merasakan panggilannya yang khusus dan khas dalam masyarakat politik. Di dalamnya mereka harus menonjol dengan teladannya, sejauh mereka terikat kepada tugas oleh hati nuraninya dan melayani pengembangan kepentingan umum sedemikian rupa, sehingga juga dengan fakta mereka membuktikan bagaimana wewenang diserasikan dengan kebebasan, usaha pribadi dengan kesetiakawanan dan kebutuhan-kebutuhan seluruh tubuh masyarakat, kesatuan yang baik dengan kebhinekaan yang bermanfaat.” (GS.art. 57). Landasan yang sangat bening dan valid.
Namun, hal konkret macam apakah yang dapat kita perankan? Perlukah kita mendengar dan terlebih menanggapi sepak terjang Boni?
Jawabannya tentu “ya”. Meminjam Arief Budiman, “Mahasiswa sedikit banyak dapat digolongkan ke dalam kelompok cendekiawan. Namun, berlainan dengan cendekiawan yang dapat dikatakan menempati kedudukan sosial tertentu, sifat khas mahasiswa yang penting dalam hubungan sosial adalah bahwa situasi selalu bercorak sementara.”
Arief rupanya bertutur soal konteks aktual yang menginisiasi cendekiawan mesti terjun. Selain mahasiswi/a, yang termasuk dalam golongan cendekiawan ialah juga para pemerhati politik, orang-orang muda yang belum “terkontaminasi”, para sarjanawati/wan, para aktivis demokrasi. Dan dalam kasus khusus, bagi para calon imam, imam, biarawan dan biarawati, awasan Paus Fransiskus mesti dibaca dalam bingkai refleksi tanpa suatu ambisi untuk menggusur tembok pembatas (break the limit). Berpolitik, “Yes!” – berpolitik praktis, “No!”.
***
Semata-mata karena kita mengerti tentang signifikansi demokrasi demi bonum commune dan napas demokrasi itu sejatinya tidak boleh dimanipulasi apalagi dieskploitasi oleh eksklusivitas kelompok tertentu dengan motif-motif sepihak, lantas apa kabar cendekiawan? Jika Alvin Gouldner menyebut cendekiawan sebagai manusia tapal batas, maka hic et nunc, di sini dan kini, hemat saya, cendekiawan juga adalah manusia “yang tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya”. Sepanjang usia demokrasi, spirit intelektualitas mesti secara kontinu terjelma dalam gugatan demi gugatan, penyembuhan demi penyembuhan. Sebab, sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, cendekiawan berharap juga dan percaya.***
- “Pulu” dan Ada yang Mulai Hilang - 16 February 2022
- Di Toto Kopi, Saya Duduk, Mulai Ragu, lalu Malu - 20 March 2019
- Siapakah Sesamaku? - 1 December 2016