Sepatu Itu Cerita, Percakapan Itu Sepatu

Pada awal abad XX, Tirto Adhi Soerjo tampil sebagai pengarang dan jurnalis. Ia mahir menulis cerita dan berita, mengumumkan keampuhan bumiputra setelah “dikutuk” bodoh oleh penguasa kolonial, dari masa ke masa. Ia menggubah Njai Ratna (1909) untuk menampilkan para tokoh dalam dilema identitas menanggungkan abad “baroe”, abad bercorak modern khas Eropa di tanah jajahan.

Tirto Adhi Soerjo memberi deskripsi Njai Ratna Poernama saat dolan ke Pasarbaroe: “… berpakaian kebaja berenda poetih, saroeng Banjoemas berlatar poetih, bersepatoe pantoffel perlak hitam, berkaos soetera berkembang merah toea, mengenakan mantel laken, bergeloeng sanggoel seperti njonja-njonja.” Tampilan mengejutkan di mata orang-orang: perempuan bumiputra berdandan mirip perempuan Eropa.

Kemunculan tokoh lelaki turut dideskripsikan lengkap oleh pengarang: “Sedang Ratna berdiri ditempat itoe datanglah dari oedik seorang djedjaka bersado, berpakain netjis, berperawakan tegap dengan wadjah jang sepadan. Ia berkain batik parangroesak, bersepatoe pantoffel hitam, berkaos hitam, berdjas smoking lena poetih, kemedja baroe jang dibeli dari toko, kerah berdiri dengan dasi strik hitam ketjil, berdestar dengan pinggiran batik, pet dengan dasar hitam, berpasmen sedjari jang dimoeka sadja dipokok atasnja klep, sedang ditengah diatas pasmen terdapat bordiran keemasan seekor oelar melilit tiang dikoepingin oleh daoen oranje. Pet ini menandakan ia seorang moerid sekolah dokter.”

Ratna melihat itu menjadi “berahi”. Tirto Adhi Soerjo memang menggunakan kata “berahi” bagi keterpikatan Ratna pada lelaki berdandanan “baroe” di Hindia Belanda. Dandanan dua tokoh memastikan sepatu turut mengesahkan keinginan tampil baru di awal abad XX. Tampilan berkiblat Eropa. Di kaki, sepatu itu tanda penerimaan segala godaan dari Eropa. Jumlah bumiputra bersepatu masih sedikit, memungkinkan ada buatan pesona dan perhatian di mata publik. Sepatu pada lelaki dan perempuan dalam cerita gubahan Tirto Adhi Soerjo pun bisa disimak ulang di buku berjudul Sang Pemula oleh Pramoedya Ananta Toer (1985).

Pram memberi perhatian pada busana dan sepatu. Lelaki asal Blora dan pengagum Tirto Adhi Soerjo itu perlahan menjadi necis setelah bersepatu pada masa 1930-an. Sang ibu mengumpulkan uang diberikan ke Pram saat menempuh studi di Surabaja. Uang digunakan untuk membeli sepatu. Pada masa awal 1930-an, sepatu bermerek Bata telah beredar di Indonesia. Pram tampil gagah dan necis dengan mengenakan sepatu Bata. Sepatu berharga mahal. Kenangan itu turut tercantum di buku berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995).  Pram itu lelaki bersepatu dalam detik-detik ingin mengerti diri, modernitas, dan Indonesia. Pram tampak terpengaruh Tirto Adhi Soerjo dalam menggubah sastra, tak meluputkan mendeskripsikan tampilan berbusana para tokoh. Sepatu tak dilupa.

Perkara sepatu dan dua tokoh kondang itu sempat dijadikan contoh bagi Adrian Vickers dalam penjelasan di buku berjudul Sejarah Indonesia Modern (2011). Buku mengenai sejarah dengan bekal teks-teks sastra. Sepatu diartikan ikhtiar kaum bumiputra ingin setara dengan Eropa. Dulu, sepatu itu benda terpilih di kalangan bumiputra memiliki jabatan di birokrasi kolonial. Pemerintah memiliki aturan dalam busana bumiputra. Penampilan tampak ingin “terlalu” Eropa tentu larangan. Pada awal abad XX, sepatu mungkin masih dipandang “mukjizat” bagi belasan orang bumiputra saja di tanah jajahan.

Keputusan Pram bersepatu tak lagi seperti suasana awal abad XX. Pada masa murid-murid bumiputra mulai masuk ke sekolah-sekolah “modern” buatan pemerintah kolonial dan institusi partikelir, sepatu mulai sanggup terbeli dan berada di kaki-kaki bocah sampai kaum pergerakan politik. Pada 1924, buku cerita berjudul Si Samin gubahan M Kasim memiliki peristiwa bermakna mengenai sepatu. Samin meminta pada bapak untuk dibelikan sepatu. Permintaan memicu perdebatan sengit.

Sang bapak marah dan menuduh: “Apa goena sepatoe? Anak orang kaja-kaja sadja dan berpangkat sadja jang patoet bersepatoe.” Samin malah menjawab bahwa ada dua teman (Samaun dan Talap) sudah bersepatu di sekolah. Bapak tetap saja mengomel berlagak orang terbijak: “Ja, itoelah orang bodoh! Lihatlah si Talap itoe roemahnja besar sedikit dari sangkar boeroeng. Pekerdjaan iboenja menerima oepah menoemboek tepoeng. Adalah ia patoet bersepatoe meniroe-niroe orang kaja? Itoelah orang jang tak tahoe dioentoengnja, jang diseboet orang tak tahoe kadar diri.” Samin, bocah hidup di Sumatra, berharap turut mengalami zaman “baroe” dengan bersepatoe tapi mendapatkah khotbah bapak mustahil merdu. Sepatu telah impian bagi bocah-bocah berbarengan janji ingin pintar dengan cara bersekolah. Nasib Samin tak seberuntung Pram saat remaja mulai mengerti penampilan dan sadar sepatu dalam bergerak di “jalan” modernitas.

* * *

Pada saat Pram berjalan dengan sepatu, iklan-iklan sepatu bertaburan di pelbagai surat kabar. Kaki bertelanjang atau cuma bersandal mendapat peran agar mulai beralih ke pembentukan umat bersepatu. Sekian mereka bersaing mendapat pembeli dan pemuja. Bata teranggap idaman bagi orang-orang di Indonesia. Di terbitan De Openbare School edisi Agustus 1939, memuat iklan berukuran cukup besar dari Bata. Gambar 8 model sepatu dipamerkan dengan propaganda: “Pegi sekolah pakailah sepatoe Bata!” Iklan mengarah pada murid-murid. Bersekolah mengenakan sepatu mungkin menambahi gairah belajar dan memintarkan ketimbang cekeran.

Pemilik sepatu semakin bertambah pada masa-masa berbeda. Pada masa 1950-an, Soekarno ingin pemajuan pendidikan dan peninggian mutu sekolah. Pesan besar dibarengi bisnis alat tulis, seragam, buku pelajaran, dan sepatu. Bata telah mendapat perhatian berkepanjangan dari publik. Di kaki, orang-orang mengingat Bata. Bisnis pada kaki terasa menggiurkan. Sepatu itu duit dan gengsi mendandani manusia Indonesia di masa revolusi. Berlarilah dengan sepatu! Revolusi tanpa sepatu itu pamer malu! Indonesia bersepatu, Indonesia modern!

Pada masa 1950-an, iklan-iklan sepatu pelbagai merek bermunculan tapi Bata tetap saja memikat. Bata di kaki Pram telah mendapat penerus dari para murid atau remaja masa 1950-an. Di majalah Garuda edisi Agustus 1951, terpampang iklan sepatu Bata. Ada tujuh model untuk dipilih pembeli menuruti selera dan isi dompet. Pesan pengiklan: “Bisa dapat diseluruh Indonesia dengan harga jang ditetapkan.” Kita menduga toko-toko menjual sepatu itu berdiri di puluhan kota seantero Indonesia. Bisnis kaki telah bersebaran dalam hitungan puluhan tahun.

Di sekolah, murid-murid mengenakan sepatu demi kepantasan dan pengisahan belajar di zaman modern. Model-model sepatu terus berubah sesuai selera buatan dari Eropa atau dipaksa sesuai situasi Indonesia. Satu model sepatu di kaki murid jarang bisa digunakan untuk pelbagai peristiwa: upacara dan olahraga. Kebutuhan sepatu olahraga mulai dipenuhi dengan bahan berasal dari karet. Iklan sepatu itu tampil di majalah Merdeka edisi 4 Desember 1954. Gambar seorang murid sedang  mengikat tali sepatu. Lihat, sepatu itu bersanding dengan piala! Gambar mungkin bercerita agar murid menggunakan sepatu karet untuk menjadi juara dalam lomba-lomba olahraga. Keuntungan mengenakan sepatu karet menurut Jajasan Penjelidikan dan Pemaian Karet (Bogor): “murah, awet, ringat, hygienis.” Pesan jangan terlupakan: “Hampir semua para pelatih olahraga memakai sepatu-sepatu karet. Sepatu-sepatu karet olahraga adalah kokoh dan lembut. Kaki terlindung olehnja setjara tepat. Dengan memakai sepatu karet olahraga, orang dapat mentjapai prestasi olahraga jang tertinggi.” Sepatu itu anggaplah turut membentuk kehormatan Indonesia saat para murid turut dalam lomba-lomba meraih medali atau piala.

* * *

Sepatu-sepatu memiliki kekhasan dan kesesuaian peristiwa. Pada masa 1980-an, puluhan juta orang Indonesia bersepatu. Di sekolah, pabrik, dan kantor, orang-orang bersepatu. Pengenaan sepatu memunculkan lakon para tukang semir. Dulu, di terminal, depan gedung bioskop, stasiun, atau kantor, para tukang semir berharap mendapat rezeki dengan membuat sepatu orang-orang tampak bersih dan kinclong. Balada tukang semir sering bertokoh bocah. Mereka menjadi tukang semir untuk turut menambahi pendapatan di keluarga atau ongkos sekolah. Sepatu bersemir dijadikan patokan gengsi. Sepatu kotor dan lusuh mengesankan si pemilik gagal mengerti kaki dan penampilan.

Model-model sepatu terus bertambah. Pada saat Indonesia mulai memiliki jalan-jalan beraspal semakin panjang dengan peningkatan jumlah mobil, bisnis sepatu memiliki sasaran baru. Di luar mobil, sepatu-sepatu untuk dinas atau bisnis mungkin bersua semir agar bersih selama digunakan di kantor. Pilihan sepatu saat mengendarai mobil berbeda dari sepatu kantoran. Pada masa 1980-an, orang-orang memiliki mobil dibujuk mengenakan sepatu khusus.

Iklan sepatu berurusan mobil terdapat di majalah Tempo, 17 Mei 1980. Iklan sehalaman dengan gambar unik: sepatu seperti mobil. Sepatu dengan empat roda. Imajinatif! Bujukan bersumber dari Italia. Penjelasan pengiklan Wimo: “Italia, pelopor mobil berprestasi tinggi, telah merancang dan berhasil menciptakan sepatu khusus untuk mereka yang suka mengemudi.” Orang bermobil diharapkan bersepatu khusus selama mengemudi. Sepatu itu memenuhi ketentuan: “tepat, selamat, santai.” Orang-orang belum bermobil mungkin cemburu ingin mengenakan sepatu khusus mengemudi becak, sepeda onthel, sepeda motor, dan andong. Sepatu semakin diberi makna unik dan menguatkan gengsi, melampaui imajinasi para tokoh dalam cerita gubahan Tirto Adhi Soerjo atau biografi Pram saat remaja pada masa 1930-an.

Sepatu pun bahasa dalam mengartikan Indonesia. Iklan berbeda dipamerkan Tempo edisi 8 Februari 1992. Iklan bergambar dan bercerita Indonesia. Iklan diselenggarakan oleh AdWork Advertising dan Tempo. Dua sepatu beda wajah dan nasib sedang bercakap. Sepatu bermulut memilih bicara dengan bahasa Inggris dan Indonesia. Lihat, sepatu dengan mulut terbuka mungkin asal Indonesia jika kita membaca ucapan mencampur bahasa Inggris dan Indonesia! Sepatu itu berkata: “I dari Indonesia, sir!”

Jawaban atau perkataan sepatu itu mengawali penjelasan penting: “Memang, pada kenyataannya daya saing produk sepatu kita di luar negeri telah semakin meningkat. Walaupun demikian, tetap saja masih ada persepsi umum bahwa produk-produk buatan negeri ini masih belum memenuhi standar spesifikasi internasional.” Harga diri Indonesia di mata dunia dipengaruhi sepatu. Indonesia ingin dilihat sebagai negara bersepatu dengan rupa cakep dan awet sepanjang masa. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!