Sepulangnya dari berburu nyambek di pagi yang senyap itu, dia dikagetkan dengan berita tentang matinya Mbah Darto, laki-laki tua yang pernah berjasa padanya. Sumarno segera meletakkan dua ekor buruannya ke dalam bak mandi plastik yang paling besar—nyambek–nyambek itu masih hidup, mereka hanya diikat keempat kaki dan moncongnya dengan tali-tali rapiah—lalu bergegas mengganti pakaiannya yang bau lumpur rawa.
Anjingnya menatap dirinya yang tampak linglung gelisah, sambil terus saja menjulur-julurkan lidah. Air liurnya menetes sedikit ke ubin. Jika saja istri majikannya tahu tentang liur yang membasahi ubin itu, pasti anjing itu akan digebuk kepalanya dengan gagang sapu atau apa pun yang ada di dekat mereka yang bisa digunakan untuk alat pelampiasan marah. Istri majikannya tidak menyukai anjing, apalagi yang tidak bisa diatur. Tetapi karena anjing itulah satu-satunya yang membantu suaminya berburu untuk menafkahi hidup, perempuan itu pun memilih bungkam. Tapi setiap kali anjing itu berlaku jorok layaknya binatang yang dinamai “anjing”, dia pasti akan marah-marah hingga malam. Hingga matanya lelah dan tertidur.
Setelah mengganti pakaian, Sumarno keluar dari kamar dan mencari-cari topi kesayangannya, topi yang juga diberikan Mbah Darto padanya. Kepalanya celingukan, sasar mencari-cari. Tapi bagaimanapun dia menelanjangi setiap sudut rumahnya, dia tetap saja tidak menemukan topi berwarna hitam itu.
Sekonyong-konyong dia menemui istrinya di dapur dan bertanya padanya tentang topi, tetapi perempuan itu hanya menggeleng-geleng saja sambil terus melumat bumbu-bumbu di atas cobek. Sumarno pun bersungut-sungut, mengatai istrinya perempuan gila yang pikun, yang tidak becus menjaga barang kesayangan suaminya. Mendengar itu istrinya berkacak pinggang sambil mengacung-acungkan ulekan ke arah Sumarno dan memecahkan bibirnya dengan sumpah serapah yang bertubi-tubi, tapi Sumarno tidak peduli lagi. Telinga lelaki itu sudah bebal, sudah tidak mempan lagi untuk ditembus oleh suara-suara bising istrinya.
Dalam kegelisahannya tentang Mbah Darto, dan kegamangannya pada sang istri, Sumarno pun akhirnya memutuskan untuk bergegas keluar rumah walaupun tanpa sebuah topi.
Rumah Mbah Darto berjarak satu desa dengan rumah miliknya. Dia mengendarai motornya yang berdengung pecah-pecah memekak telinga, melewati ladang-ladang tebu yang sudah menginjak usia panen. Anjingnya duduk dengan anggun di depan motor, masih menjulur-julur lidah dan menikmati buih-buih angin yang berkesiur pagi itu. Dia memutuskan untuk mengajak anjing itu, karena bagaimanapun anjing itu pernah menjadi kesayangan Mbah Darto sebelum akhirnya laki-laki tua itu mewariskan padanya sebagai tanda cinta. Dan dia berpikir anjing itu juga punya hak untuk melepas kepergian pemilik pertamanya yang hari ini sudah memilih mati dengan gantung diri.
Dalam perjalanannya, dia berkelana pada ingatan-ingatan tentang Mbah Darto. Dia mundur beberapa langkah ke belakang, menempatkan kaki-kaki kenangannya pada tujuh belas tahun lalu ketika Mbah Darto pertama kali menemukannya tergelincir di bibir sungai. Ketika itu usianya masih delapan tahun, dan dia sedang berusaha menggapai-gapai layangannya yang tersangkut di sebuah pohon kers yang tumbuh di pinggir sungai.
Setelah tubuhnya tercebur begitu lihainya ke dalam sungai itu, dia hanya melihat gelap. Gelap yang basah. Dia merasa tubuhnya diputar-putar sebelum akhirnya sebuah tangan mencengkeram erat lengan-lengan kurusnya dan mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Dan begitu membuka mata dengan mulut yang megap-megap, dia melihat seorang laki-laki berdiri di tengah-tengah sungai yang membelah punggungnya hingga sebatas dada.
Sejak itulah dia mulai mengenal Mbah Darto. Dari laki-laki itu pulalah dia mewarisi kemampuan berburu. Dulu, Mbah Darto sering mengajaknya berburu belut, nyambek, dan juga kodok hijau di sawah atau di rawa-rawa kecil di desanya. Mereka akan memasang umpan di siang hari pada liang-liang, dan menghampirinya pada malam hari untuk menarik tali umpan dan menemui belut-belut sawah itu menggantung pasrah di ujungnya.
Jika musim hujan datang tangkapannya akan lebih banyak lagi, karena kodok-kodok suka bernyanyi di malam hari dan itu sebuah kebodohan yang sangat fatal. Kesenangan konyol yang pada akhirnya membuat pemburu-pemburu kodok itu mengetahui keberadaan mereka.
Dalam ingatannya tentang Mbah Darto, Sumarno tidak menemukan satu pun sisi keputusasaan dari laki-laki itu. Baginya Mbah Darto adalah sosok penuh keriangan, penuh cinta. Laki-laki yang tubuhnya dipenuhi benih-benih semangat yang Sumarno yakin benih-benih itu tidak akan pernah lenyap atau hilang begitu mudah.
Memang pernah satu kali laki-laki tua itu pernah memerlihatkan wajah murung yang tidak biasa. Itu dua tahun lalu, ketika istri terkasihnya pergi di suatu siang yang menyengat. Waktu itu Sumarno menemani Mbah Darto berhari-hari, hingga duka-dukanya menghilang. Hingga laki-laki tua itu bisa menerima kepergian perempuannya yang terkasih itu.
Sudah barang tentu perempuan itu adalah seorang istri yang lembut dalam bertutur, terlebih pada suaminya. Sumarno pernah berkeinginan mencari perempuan yang sama seperti istri Mbah Darto, tetapi pada waktu-waktu yang telah dilaluinya, dia hanya mendapatkan perempuan yang bermulut busuk.
Dulu istrinya itu adalah gadis yang ramah dan baik. Kalimat-kalimat yang pecah dari bibirnya adalah yang sebaik-baiknya ucapan. Tapi semenjak tiga tahun pernikahan mereka, watak lembut itu menguap, berganti menjadi sosok yang lebih pandai mencaci daripada memuji. Dan ketika Sumarno marah, istrinya itu akan lebih marah lagi. Seolah-olah zaman sekarang memang sudah bukan musimnya seorang istri memiliki mulut-mulut yang semanis lelehan madu, yang bisa tertunduk diam dan mendengarkan kekecewaan suami-suami mereka. Dunia sudah terjungkir balik.
Ah, Sumarno menepis sesalnya tentang perempuan yang dinikahinya itu. Dia melajukan motornya semakin lesat setelah menerobosi suasana pikuk sebuah pasar yang berdiri di antara dua desa. Anjingnya mengendus-endus udara. Bau daging mentah yang campur aduk di udara membuat liurnya semakin menetes-netes. Dia ingat sejak semalam dia belum makan apa pun. Majikannya tiba-tiba lupa, padahal pagi ini adalah waktunya dia untuk menikmati tulang-tulang kepala ayam yang direbus dengan garam.
Gerbang Desa Kaliampoh sudah menampakkan wujud di hadapannya, Sumarno semakin melajukan motor. Sebentar lagi dia tiba di rumah Mbah Darto. Sebentar lagi, setelah melewati sawah-sawah yang membentang di sisi kiri desa, yang dulu adalah tempat dirinya dan Mbah Darto menghabiskan malam-malam. Ya, sebentar lagi dia akan tahu mengapa Mbah Darto menggantung dirinya di dahan pohon randu.
***
Mula-mula yang tampak adalah putra bungsu Mbah Darto yang berdiri di depan pintu gerbang rumahnya, menyambut para pelawat. Konon semenjak menikah pemuda itu tinggal bersama orang tua istrinya di Jombang. Itu tempat yang sangat jauh dari tanah kelahirannya ini.
Sumarno menghampirinya, lalu menjabat tangan pemuda itu yang pada akhirnya dibalas dengan gelengan berkali-kali. Dia menepuk-nepuk bahu pemuda itu, melontarkan sungkawa yang teramat dalam serta ucapan-ucapan serupa nasihat agar pemuda itu tabah dan nrimo.
Setelah dirasa cukup berbincang, Sumarno memutuskan untuk melanjutkan langkahnya. Halaman rumah Mbah Darto memang luas, penuh ditumbuhi pohon-pohon mangga dan pisang. Hanya satu pohon randu yang tinggi menjulang, tepat di samping rumah, dekat dengan jendela kamar Mbah Darto. Sumarno melihat pohon itu dengan pandangan ngeri ketika dirinya melangkah masuk ke halaman. Di situlah leher laki-laki penyelamatnya dipatahkan oleh seutas tali, hingga dia tercekik dan mati.
Anjingnya masih mengikuti dengan tekun di belakang kaki-kakinya. Dia baru menyadari hal itu. Sebelum dia masuk ke dalam rumah, dia membalikkan badan dan memandang anjingnya. Matanya menyorot sedih, menatap mata anjingnya dalam-dalam.
Seolah paham dengan binar-binar bola mata majikannya, anjing itu meletakkan pantatnya ke tanah, duduk. Dia menegakkan kepalanya sejenak, membalas tatapan majikannya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk meletakkan kepala itu ke tanah. Dia tahu dia harus menunggu. Hanya menunggu.
Sumarno melanjutkan langkahnya, dia memasuki ruang tamu dengan khidmat. Orang-orang keluar-masuk, sebagian duduk di samping jenazah, sebagian hanya melongokkan kepala lalu pergi. Para perempuan berkerudung duduk di teras, bercengkerama penuh ketenangan dengan tangan-tangan yang terus saja bergerak meronce bunga-bunga. Sumarno mengamatinya sekilas, lalu segera masuk ke dalam rumah dan duduk di samping jasad Mbah Darto yang sudah diselimuti jarit bertumpuk-tumpuk.
“Lebih baik memang seperti ini.”
“Apa maksudmu?”
“Mbah Darto. Memang sudah sebaiknya dia seperti ini daripada terus-terusan kesepian.”
“Istrinya sudah pergi, anak-anaknya, dan juga anjing-anjingnya. Dia sudah tidak punya siapa-siapa di rumah ini.”
Mendengar bisik-bisik itu hati Sumarno trenyuh. Boleh jadi itu benar, karena sesudah Mbah Darto mati bunuh diri tidak satu pun yang mengetahui tentang kebenaran di balik sebuah kematian. Bisa saja memang kesepianlah alasan seseorang lebih memilih mati.
Mbah Darto memang memiliki tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan, tapi kesemuanya sudah menikah dan tinggal di kota-kota yang berbeda. Sejak istrinya pergi, sejak anjing-anjingnya dihibahkan, laki-laki itu tidak memiliki siapa pun lagi yang mau membagikan waktu bersama dirinya. Tidak juga Sumarno yang sekarang sudah beristri.
Biarlah orang-orang itu beranggapan demikian, batin Sumarno. Biarlah mereka semua tidak mengetahui satu rahasia yang tersimpan rapat-rapat di antara malam, sawah-sawah, dan gubuk lusuh yang sudah bertahun-tahun menjadi langganan Sumarno dan laki-laki penyelamatnya.
Ya, biarkan saja itu terjadi. Sumarno hanya butuh mengizinkan orang-orang itu bicara tentang betapa kesepiannya Mbah Darto sebelum dia mati.
Sidoarjo—2015
- Sesudah Mbah Darto Mati Bunuh Diri - 26 February 2016
academic Indonesia
Bagus ceritanya, partisipasinya boleh ke academicindonesia.com