Setelah Kematian Menyakitkan

(John Holmes, August 1981)

 

Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain. Setidaknya itulah yang Ali Sumarno yakini. Ia tidak mungkin pulang begitu saja dan mengetuk pintu hanya untuk membuat kaget istri dan anak-anaknya dengan menampakkan diri dalam wujud hantu. Lagi pula tidak tahu apakah mereka bakal mendengarnya? Orang-orang itu mungkin pingsan atau bakal lari begitu melihat wujudnya yang mengerikan atau malah ia sama sekali tak terlihat di mata mereka? Bahkan, lelaki itu sendiri tidak yakin bisa pulang tanpa tersesat dengan hanya mengandalkan sosoknya sebagai hantu. Apa ia bisa terbang? Apa hantu bisa lari secepat angin dan menembus tembok, gedung-gedung, kereta api, bahkan pesawat terbang?

Ali Sumarno memikirkan cara bagaimana supaya seseorang tahu ia belum lama ini mati dibunuh rekannya sendiri, lalu jasadnya dihilangkan dengan sesadis-sadis cara. Ia merasa cukup sudah kalah dalam perkelahian terakhirnya, lalu rekannya dengan bengis menggorok lehernya hingga putus. Ia merasa lebih dari cukup, tapi rekan itu sepertinya belum terpuaskan.

“Aku harus membalas dendamku dengan sebaik-baik cara. Maka, kamu harus mati dengan sesadis-sesadis cara,” kata rekannya.

Malam itu sungguh menjadi malam yang panjang. Menjadi mati bukan lantas kau diseret pergi malaikat maut ke tempat antah berantah yang hanya pernah ada dalam isi kepalamu sejak kecil belaka. Ali Sumarno barangkali belum tahu itu, sampai malam itu ia sepenuhnya tahu betapa menjadi mati bukanlah perjalanan pendek seperti ketika kau pergi berak ke toilet umum, yang mana perkara yang kau pikul hanya sebatas di dalam bilik kecil tertutup. Mati adalah perjalanan panjang yang menyakitkan dan itulah yang Ali Sumarno rasakan malam itu.

“Seandainya bisa dituliskan menjadi novel, tentu tak akan cukup dua ratus halaman. Aku bahkan yakin bisa menuliskannya dengan detail sepanjang kira-kira lima ratus atau tujuh ratusan halaman,” katanya suatu ketika, begitu bertemu dengan makhluk senasib dalam perjalanan panjangnya mengungkap kematian sendiri.

Namun, sebelum dialog itu berlangsung, Ali Sumarno tak tahu apa yang menanti di depan, selain menyadari ia tak dapat kabur dari rasa sakit akibat aksi lanjutan dari sang rekan. Menjadi mati, ternyata, membuat seseorang memikul sakit berkepanjangan yang setara dengan apa yang tubuh fana seseorang itu dapatkan. Seperti seseorang mengutuk dirimu dengan boneka voodoo. Seperti seseorang mengirim teluh atau santet, tetapi dari jarak yang cukup dekat sebab kau mampu melihat tubuh fanamu terbaring tak berdaya persis di depanmu. Situasi itu membuat Ali Sumarno hanya bisa mengutuk dan menjerit tanpa bisa menghentikan sang rekan yang terus saja mencincang-cincang tubuhnya yang sebenarnya telah kalah. Satu sabetan golok terasa bagai hantaman godam dari neraka di ruh Ali Sumarno dan sayangnya ia harus menelan lebih dari empat puluh sabetan. Tentu tidak termasuk ketika akhirnya sang rekan yang biadab itu menyulap tubuhnya menjadi potongan-potongan kecil. Seandainya pembunuh itu bisa mendengarnya, mungkin saja ia segera menjadi tuli, saking kuatnya jeritan derita Ali Sumarno.

“Lalu bagaimana?” tanya makhluk senasib beberapa lama usai malam mengerikan itu berlalu.

“Ia mengubahku menjadi sup dan menyantapnya malam itu, lalu malam besoknya, dan malam besoknya lagi. Setiap malam, dan kadang-kadang sore hari juga, ia santap sup yang dibuat dariku, dan itu ia perbuat seorang diri.”

“Saya perkirakan pasti dia sangat kelaparan.”

“Seharusnya tidak, dengan uang sebanyak itu yang dia dapatkan dari proyekku.”

“Tapi, bukankah Anda sebut tak ada lagi sisa-sisamu, kecuali tulang-belulang?”

“Ia melakukannya bukan demi rasa lapar.”

Ali Sumarno memang sakit hati, tapi dia tak berdaya. Tulang-belulang yang sangat mustahil dimakan serta oleh rekannya itu, dihancurkan sedemikian rupa, lalu ditaburkan di jalan raya menuju kota kecil yang nyaris sekarat di tepi pantai. Tentu dalam setiap proses biadab yang dijalani sang pembunuh itu, Ali Sumarno di sisi yang bersangkutan, meski tak bisa menampakkan diri, dan begitulah seterusnya ia terjebak sampai serpihan tulang belulang terakhirnya ditaburkan ke lubang toilet rusak di rest area terbengkalai di pinggiran kota.

Sampai sejauh itu, istri dan anak-anaknya tidak curiga. Bahkan orang-orang sekitar juga tak curiga. Ali Sumarno sendiri memang terkenal nakal sejak masih muda dulu dan begitulah orang mengenalnya hingga di kemudian hari ia mendapatkan dua orang anak dari istri yang legal. Pernikahan mereka digosipkan orang sedistrik sebagai pernikahan yang bukan berlandaskan cinta, sebab keduanya butuh untuk meneguhkan status belaka. Selain itu, semua orang tahu Ali Sumarno kerap bermain wanita di luar sana, dan begitu pula sebaliknya. Istrinya bahkan pernah mengajak menginap seorang kenalan asing dari sebuah diskotik baru di pusat kota ketika Ali Sumarno tidak pulang sebelas hari dengan alasan urusan pekerjaan, padahal bersenang-senang juga di luar kota bersama seorang wanita pekerja di sebuah karaoke remang di kota dekat pantai bernama Dewi. Tentu itu bukan nama sebenarnya. Dewi adalah nama yang disematkan begitu saja oleh lelaki itu sesukanya, sebab mengingatkannya pada mantan terindahnya di masa lalu, dan seluruh perjalanan bersama Dewi itu, dilakukannya bersama sang rekan.

Rekan itu bernama Mudakir. Ali Sumarno sudah lama mengenalnya dan menjalin kerja sama yang baik dengan lelaki paruh baya itu sampai suatu kali Mudakir mengajak dirinya menginap sebab tubuh Ali Sumarno mendadak demam setelah mobil mereka tak bisa dinyalakan dalam perjalanan bisnis di tengah kepungan hujan. Di sinilah sumber malapetaka. Ali Sumarno melihat kecantikan berlipat ganda di diri istri Mudakir, lantas menggodanya, dan tak butuh waktu lama; mereka pun berakhir di sebuah kamar motel busuk tanpa sepengetahuan Mudakir. Sejak itu mereka tidak pernah menemui Dewi, dan Mudakir sempat bertanya-tanya: “Perempuan mana lagi yang memikat hatimu?”

Mendengar itu, Ali Sumarno hanya tertawa terbahak-bahak. Mudakir yang goblok, begitulah pikirnya saat itu, seandainya kamu tahu, kurasa kita tak mungkin lagi menjadi teman.

Hubungan gelap mereka akhirnya terbongkar beberapa bulan setelahnya, lalu tidak pernah ada lagi kabar Mudakir; ia dan keluarga bagai menghilang ditelan bumi, dan tak ada yang bisa diperbuat Ali Sumarno selain terus mencoba melacak keberadaan mereka. Ia tak mau menyerah dan merasa sangat bersalah pada rekannya tersebut, tapi suatu hari Mudakir tiba-tiba telepon. Sebuah pertemuan diatur.

“Sebaiknya tidak perlu ada yang dengar pertemuan kita. Ini persoalan aib, dan aku tak mau mantan kolega-kolegaku tahu.”

“Baiklah. Aku hanya ingin meluruskan betapa kita seharusnya masih bisa menjadi rekan dan teman yang baik.”

Tentu tak ada sesuatu yang perlu diperbaiki, setidaknya bagi Mudakir. Peristiwa itu berlangsung cepat bagi Ali Sumarno yang tidak siap. Ia mati digorok dan habis di perut Mudakir yang telah lama menghilangkan jejaknya dari publik. Sempat ruh Ali Sumarno bertanya-tanya: ke manakah istri Mudakir yang serupa bidadari itu kini berada? Apakah perempuan cantik itu juga turut menyantap sup dirinya tanpa pernah tahu sup tersebut berasal dari perbuatan nakalnya di masa lalu? Ali Sumarno tak tahu dan tak pernah tahu. Ia tidak memusingkan apa pun lagi setelah tahu secara pasti jejak keberadaannya hilang total. Taburan terakhir tulang-belulangnya yang dihancurkan teronggok menyedihkan di lubang toilet busuk di rest area terbengkalai. Bagaimana mungkin ia bisa mengundang orang-orang untuk datang dan menangkap Mudakir atas perlakuan biadabnya ini?

Ali Sumarno hanya tahu yang tersisa darinya tinggallah seluruh pakaiannya yang terkubur di suatu tempat di dekat titik kematiannya. Ia pun berjalan gontai ke arah kota di mana dulu seluruh keculasan dan kenakalannya berlangsung. Ia tak bisa bicara pada siapa pun, bahkan apa pun. Ia merasa tidak terlihat siapa pun. Di suatu halte ia bertemu seseorang yang seperti terlihat senang begitu melihat wujudnya yang tak lumrah.

“Anda sudah mati?” tanya sosok itu.

“Kok tahu?”

“Percayalah, cuma orang gila yang menganggap orang yang menenteng kepalanya sendiri ke sana kemari masih hidup. Saya juga sudah mati. Perkenalkan, saya Markoni.”

Maka, bersama Markoni, Ali Sumarno lalu berjalan ke arah pulang. Markoni tidak memiliki tujuan, karena sebenarnya ia gelandangan yang mati karena berebut makanan dengan seekor anjing liar. Ia mati setelah anjing itu menggigit lehernya dan luka akibat gigitan tersebut tak terawat dengan baik hingga membusuk dan membuatnya mati. Tak ada yang menguburkannya secara layak, sebab orang-orang entah siapa mengangkutnya begitu saja dan membawanya ke ruang praktik untuk mengacak-acak tubuhnya, konon demi alasan ilmu pengetahuan.

“Bung, Anda tidak tahu betapa sakitnya saya saat itu. Namun, tentu saja sulit untuk membayangkan rasanya dimasak dan disantap oleh mantan rekan sendiri,” kata Markoni dengan penuh simpati.

Dengan suara yang terdengar datar, Ali Sumarno berkata, “Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain.”

“Jadi, apa yang akan Anda lakukan?” tanya Markoni setelah mereka tidak bersuara beberapa saat.

“Belum tahu. Aku hanya perlu berjalan dulu sambil berpikir bagaimana agar setiap pakaianku yang dikubur itu berhasil ditemukan.”

“Terdengar mustahil, tapi saya temani Anda sampai akhir. Kebetulan saya juga tak ada kesibukan.”

“Terserah sajalah kalau itu yang kau mau.” [ ]

Gempol, 2 Februari 2020

Ken Hanggara
Latest posts by Ken Hanggara (see all)

Comments

  1. Resnu Algifari Reply

    Bagus bgt !!
    saya menilai bahwa ini adalah bentuk asli dari kasus teman makan teman.

  2. Si Pus! Reply

    Rekan senasib yang tidak ada kesibukan itu siapa? Dia lebih sibuk bertanya daripada memikirkan nasibnya. Orang santuy, abis mati pun santuy. Serem ..

    • ansov Reply

      Ini ada lanjutannya kah?? Kerennn.. syukaa.

  3. wi gung Reply

    sukma ngembara. Dilihat secara inderawi

  4. Rizsa Reply

    Suka deh sama cerita-cerita ginian 😀

  5. Sun Reply

    Keren abis si cerpennya..
    Terimakasih, saya banyak belajar dari Anda 😊

  6. Teko kecil Reply

    Bagus sekali ceritanya bang,, sampai gak berkedip saya bacanya

  7. Anonymous Reply

    Keren, luar biasaa ceritanyaa

    • Rach Reply

      Komentarnya juga keren keren. Orang santuy, habis mati pun santuy. Hahahaj

      • Aykuya Reply

        Cerita yang santuy, apik.

  8. Nia Reply

    Bagus bangeett :”) tapi mbacanya sambil agak mual , gorok2an 🙁

  9. @kuma Reply

    Kesini karna banyak komentar
    dan ternyata memang sebagus itu
    Nice

  10. Rix Reply

    Menggelitik ceritanya, tidak terpikirkan bagaimana endingnya

  11. meliana Reply

    keren euy!

  12. deya Reply

    kereen! Berharap ada lanjutannyaaa huhu

  13. billy Reply

    keren abisss

  14. Dandelion Reply

    Suara narator dan tokohnya mirip, padahal pakai pov ke-3. Tapi untuk ide, cerpen ini keren.

Leave a Reply to billy Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!