Setelah Sekian Alih Wahana

Judul               : Alih Wahana

Penulis             : Sapardi Djoko Damono

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan           : Pertama, Januari 2018

Tebal               : 230 halaman

ISBN               : 978-602-03-7914-2

Berpuluh tahun lalu, Sapardi Djoko Damono menulis puisi, “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni.” Faktanya, tak ada yang lebih sering dialihwahanakan dari Hujan Bulan Juni. Kita belum lupa benar pada ikhtiar musikalisasi puisi-puisi Sapardi, termasuk puisi Hujan Bulan Juni, oleh Reda Gaudiamo dan mendiang Ari Malibu. Puisi sudah menjelma lagu. Hujan Bulan Juni tak berhenti. Selain dicetak ulang berkali-kali, Hujan Bulan Juni dijelmakan novel dan buku mewarnai. Novel Hujan Bulan Juni lantas menjelma lagi ke bentuk lain, yang secara audio-visual lebih atraktif: film. Hujan Bulan Juni bukan lagi sekadar puisi, namun menjadi peristiwa, yang belakangan kita sebut alih wahana.

Alih wahana, peristiwa yang semakin kerap terjadi belakangan ini (meski di masa silam sebetulnya sudah pernah terjadi pula), lantas dikonsepsikan sebagai pengetahuan. Siapa yang layak diajukan sebagai pendakwah utama alih wahana? Nama yang paling mencolok tentu saja Sapardi, yang berkali-kali terlibat peristiwa alih wahana, sekaligus (kebetulan) seorang dosen salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Sapardi sudah pasti bukan yang paling ahli mengonsepsikan alih wahana sebagai pengetahuan. Keterlibatan itu satu hal, sementara pengetahuan itu hal lain. Namun, mengapa Sapardi, berikut buku berjudul Alih Wahana (2018) yang ditulisnya, tetap dikemukakan dalam pendakwahan alih wahana?

Alasan paling utama kemungkinan besar bukan lantaran gelar dan peran akademis yang Sapardi sandang. Intelektualitas tidak diukur dari gelar, melainkan penyampaian pengetahuan. Kita tahu, Sapardi sudah uzur. Usia telah mengikis kemampuan tubuh dan pikirannya. Kita jangan terburu-buru mencari kesalahan Sapardi dalam memaparkan konsep alih wahana. Toh, untuk ihwal sederhana seperti menulis nama Akira Kurosawa saja, ia masih sering keliru menulis Akutagawa. Barangkali pikiran Sapardi terkacaukan karena mereka sama-sama menggarap Rashomon: Ryunosuke Akutagawa yang menulis kisahnya pada 1915, kemudian Akira Kurosawa mengalihwahanakan menjadi film pada 1950. Sialnya, penyelia naskah tidak mengedit kesalahan penyebutan Sapardi. Aduh!

Sapardi adalah sebuah nama, yang di belakangnya terbentang berbagai peristiwa alih wahana. Sapardi kini sudah tidak lagi dimengerti sebagai penyair belaka, melainkan prosais, penerjemah, dosen sastra, bisa dianggap penulis lagu, bahkan aktor. Bentang itu sayang kalau hanya berisi peristiwa. Maka, pengetahuan perlu dijejalkan pada bentang peristiwa alih wahana itu. Karena Sapardi seorang dosen sastra, ia bisa dipaksa untuk memikirkan alih wahana lebih jauh. Kita boleh saja ragu Alih Wahana bakal laris manis sebagaimana buku-buku sastra Sapardi terdahulu. Namun, Alih Wahana agaknya tetap diperhatikan, kendati tak mesti berujung acara temu-sapa, foto bareng, dan pemberian tanda tangan. Siapa tak tergoda membeli buku yang di sampulnya tertera nama Sapardi?

Keunggulan buku Alih Wahana ada pada momentum, karena hadir setelah sekian peristiwa alih wahana terjadi, dan melibatkan Sapardi. Isi buku tidak sepenuhnya baru. Sapardi bilang, “buku ini adalah pengembangan bab terakhir buku Sastra Bandingan (2009); beberapa bagiannya merupakan kutipan, pengembangan, atau ringkasan dari esai dan buku yang pernah terbit sebelumnya: alinea-alinea tentang Bunga Roos dari Cikembang sebagian dipetik dari Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979); bagian tentang penerjemahan diringkas dari satu bab Sastra Bandingan. Edisi revisi ini memuat tiga esai yang berkaitan dengan konsep-konsep yang dibicarakan dalam buku ini, dengan harapan bisa membantu menjelaskannya lebih jauh.”

Entah disadari atau tidak, Sapardi menyebut Alih Wahana edisi revisi dari Sastra Bandingan dalam pengantar pendeknya. Penerbit tak pernah sekalipun menyebut Alih Wahana sekadar edisi revisi, melainkan murni buku baru cetakan pertama. Kita pantas curiga bahwa Alih Wahana sekadar buku yang dibangun dari fondasi Sastra Bandingan, dengan dekorasi-dekorasi baru yang menjadikannya terasa relevan dalam perbincangan sastra mutakhir. Misalkan judul buku tetap Sastra Bandingan, rasanya tak bisa menarik perhatian pasar. Maka, Alih Wahana, dengan Sapardi sebagai penulisnya, betapa pun memiliki bobot pengetahuan, terbit tetap dengan perhatian penuh pada pasar.

Kemudian, apakah alih wahana itu? Siapa pun yang sekadar ingin tahu pengertian sederhana alih wahana ala Sapardi tak perlu repot-repot membuka, menelusuri halaman-halaman Alih Wahana. Cukup tengok sampul belakang buku, dan baca tulisan di atas jejeran hasil-hasil alih wahana Hujan Bulan Juni. “Alih wahana artinya pengubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Wahana berarti kendaraan, jadi alih wahana adalah proses pengalihan dari satu jenis ‘kendaraan’ ke jenis ‘kendaraan’ lain. Sebagai ‘kendaraan’, suatu karya seni merupakan alat yang bisa mengalihkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Dalam arti yang lebih luas, istilah ini bahkan juga bisa mencakup pengubahan dari berbagai jenis ilmu pengetahuan menjadi karya seni.” Alih wahana bisa kita mengerti bahkan tanpa membuka sehalaman pun buku Sapardi. []

Udji Kayang Aditya Supriyanto
Follow Me
Latest posts by Udji Kayang Aditya Supriyanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!