
Hujan tidaklah berarti apa-apa selain musuh para mahmud untuk mengangkat jemuran sampai Sapardi Djoko Damono menuliskan puisi baper ini: “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.”
Puisi baper?
Tak usah marah. Saya hanya sedang menukil semua meme yang bikin ketawa. Sejatinya, saya hendak mengulik jagat kasunyatan. Kesunyian penenun makna. Kaum pemurung cum perenung, yang oleh Fauzan Gaban diindikasikan “ciri utama kian tua”, yang memercayai bahwa hanya dalam kesunyianlah kita bisa mengail makna-makna besar kehidupan. Sangkan parading dumadi, misal; bisakah Anda merefleksikan “ada dari tiada” atau “ada dalam tiada” di keramaian XXI? Atau, bagaimana mungkin Anda memekik-mekik tentang ketidakadilan sosial untuk kaum proletar sembari nongkrong di Excelso dengan pesanan ice coffee latte dan sirloin steak?
Saya yakin mustahillah Sapardi akan bisa menulis puisi reflektif di tahun 1989 itu bila tidak mensunyati hujan, rindu, dan bunga. Dan inilah problem serius kehidupan gegap gempita kita kini.
Semua orang piawai berteriak di hari ini, menulis, pula berkomentar, dari beragam situasi dan keadaan, tentang segala hal. Tiada waktu tanpa komentar; sehingga dapat dipastikan tiada waktu untuk membaca, merenung, dan mendalami. Walhasil, cara kita hidup acap tersandera kebaperan. Ketergesaan. Keberisikan. Bonusnya adalah kedangkalan.
Baper tentu bukan masalah kekinian. Ia setua peradaban manusia itu sendiri. Ingatlah pada kisah pembunuhan pertama yang melibatkan Habil dan Qabil akibat baper urusan calon pasangan. Rama pun baper setengah mati sampai menuntut Shinta melakukan tapa obong untuk membuktikan kesetiaannya. Copernicus pun baper dengan menunda publikasi karyanya selama tiga dekade demi menghindari sikap anarkis Gereja Katolik Roma atas pemikirannya yang menjadi landasan bagi lahirnya Galileo. Ernest Hemingway pun baper di sebuah bar yang terletak di kiri jalan Old Havana sembari mereguk mojito: minuman dari ramuan air tebu, rum, air jeruk, dan daun pappermint. Soekarno pun baper saat ditolak cintanya oleh Mbak Nurul dari Kasunanan Solo. Apalagi anak kekinian cum Tiwi dan Adit yang saling mencintai tetapi tak berani mengungkapkan satu sama lain.
Di Tahun Baru ini pun, sebagaimana sebelum-sebelumnya, baper-baper meningkat drastis. Tentu saya tak tertarik sama sekali untuk mengurusi melonjaknya angka penjualan kondom dan bir di malam Tahun Baru, sebab itu sudah jelas betul statusnya.
Mari panggil agama dengan teriakan paling gemuruh, sontak akan datanglah kabut-kabut hitam menggelayut di atas kepala, lalu jadilah Anda baper yang berani mati. Baper yang berbahaya di tengah pluralisme macam bangsa ini.
Pertama, merayakan Tahun Baru itu haram sebab tak ada tuntunannya dalam Alqur’an dan hadits Nabi.
Saya tertegun dengan argumen absurd yang gemar diulang-ulang ini: bukankah justru bila segala sesuatu harus dimuat dalam Alqur’an dan hadits, otomatis teks keduanya akan mengenal kedaluwarsa? Bukankah itu justru cara berpikir mundur ala undur-undur?
Anda pasti tahu BMT (Baitul Maal Wa Tamwil), misal. Sejenis bank berbasis syariat Islam. Setahu saya, tak ada satu pun ayat atau hadits yang secara sharih bicara tentang tuntunan dan menajemen BMT.
Anda pun niscaya tahu aplikasi Alqur’an. Di masa hidup nabi, Alqur’an bahkan belum dituliskan. Gagasan penulisan Alqur’an dirintis oleh Abu Bakar, lalu dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, kemudian direalisasikan di era Utsman bin Affan. Bayangkan kini, bagaimana bila aplikasi Alqur’an kita nyatakan haram lantaran tidak ada tuntunannya di era Nabi? Bukankah aplikasi Android itu milik Google yang jelas nonmuslim?
Berjubel contoh bisa dinarasikan di sini, yang ujungnya akan membuat kita memar, migrain, lalu kita mati muda, atau setidaknya buruk rupa, akibat baper.
Jika ukuran haram adalah tidak ada landasannya dalam Alqur’an dan hadits Nabi, marilah konsisten beradil sejak dalam pikiran bahwa kenyataannya terlalu banyak hal-hal setamsil yang kita ambil, lakukan, dan butuhkan dalam hidup riil hari ini. Ada baiknya Anda mengenal kaidah Ushul Fiqh ini: al-ashlu fil asy-ya’i ibahah hatta yadulla al-hukmu litahrimiha (hukum asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada hukum yang mengharamkannya).
Betapa lelahnya menempuh hidup yang melulu harus serba dalil. Saat yang lain sudah ke Istanbul dan shalat jamaah di Hagia Sophia, Anda masih saja di Piyungan lantaran travelling tak ada tuntunan dalilnya.
Kedua, selebrasi Tahun Baru adalah budaya kafir Barat.
Saya curiga penyimpulan ini gara-gara penetapan waktu sedunia berdasar kehendak orang Inggris dengan GMT itu. Menurut informasi viral, pusar bumi ini adalah Makkah, maka seyogianya perhitungan waktu pun menggunakan waktu Makkah. Jika idealisme ini bisa terwujud, niscaya urusan selebrasi Tahun Baru tidak akan dipersoalkan lagi sebab bersumber dari Makkah yang disucikan.
Sayangnya, saya pesimis impian ini akan terwujud, lantaran sejarah geopolitik memperlihatkan bahwa Saudi Arabia adalah anak manis bagi Amerika, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya sejak awal berdirinya dari era koalisi Raja Saud, Wahabi, dan Lawrence. Serangan Arab Saudi ke Yaman adalah bukti terkininya, setelah sebelumnya beredar bocoran WikiLeaks milik Julian Assange yang berkebangsaan Australia bahwa Raja Saudi pernah meminta Amerika untuk mengebom Iran.
Harusnya tampil pahlawan agung Islam macam Al-Fatih untuk menaklukkan Amerika dan sekutunya serupa kejatuhan Konstantinopel dulu. Erdogankah si Al-Fatih baru itu? Anda bisa bertanya kepada Putin dulu tentang berapa persen pasokan gas bumi dan minyak Rusia ke Turki. Juga, sayur-sayuran. Plus, keceplosannya Erdogan yang mengaku membutuhkan kemitraan degan Israel.
Ketiga, meniup terompet merupakan budaya kaum Yahudi.
Harusnya, biar bapernya lebih makrifat, sekalian saja tegaskan begini: terompet bukanlah hak manusia, asalinya ia hanyalah milik Israfil yang akan meniupkannya di kala kiamat.
Betul bahwa terompet telah dipakai oleh Raja Agamemnon kala membawa puluhan ribu pasukan Yunani menyerang Troya yang dibentengi Paris dan Hektor. Riwayat yang diabadikan syair-syair Homerus itu pernah menggugah rasa penasaran seorang pengusaha Jerman, Heinrich Schliemann. Lalu dengan biayanya sendiri ia melakukan penggalian di beberapa kota yang disebutkan Homerus. Penggalian itu menyentak seluruh dunia kala menemukan bekas sebuah kota yang terlihat mengalami kebakaran dan sebuah cincin di Mikete yang bertuliskan tulisan hieroglif tentang nama seorang Raja Mesir sekitar tahun 1400 SM; yang lebih tua dari jejak Firaun Ekhnaton. Demikian tutur Ernst H. Gombrich.
Jadi, sejatinya, penggunaan terompet bukanlah otoritas tunggal orang Yahudi, toh ia telah ada sekian ribu tahun sebelumnya dari berbagai peradaban yang pernah jaya di muka bumi ini. Para pasukan Islam pun telah menggunakan terompet untuk menghasilkan bunyi komando yang menggetarkan langit.
Jikapun Anda benar-benar alergi sama bau-bau Yahudi akibat kebanyakan mengiyakan kabar viral yang entah, plus belum membaca persinggungan Nabi Ibrahim dari Ur di Kaldea, seperti tertera dalam Kitab Kejadian Bab 11, yang berikutnya di tahun 1250 SM mendamparkan bangsa Yahudi di sebuah gurun di bawah pimpinan Nabi Musa, Anda tinggal menggeser niat: nawaitu niup terompet makmuman ila mujahidil Islam lillahi ta’ala. Jangan niatkan meniru Yahudi yang Anda benci setengah gila; niatkan saja meniru para prajurit syahid Islam, dulu. Jangan berniat menabalkan budaya Yahudi yang sesungguhnya merupakan agama monoteis pertama dari garis monoteisme Ibrahim yang darinya lahir agama Nasrani dan Islam, niatkan saja untuk bergaya bagai laskar jihadis di era Al-Fatih.
Keempat, perayaan Tahun Baru adalah perbuatan mubazir, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kemubaziran merupakan bagian dari saudara setan.
Berapa banyak duit yang dihabiskan untuk merayakan Tahun Baru? Itu berbanding lurus dengan level perilaku mubazir Anda; berikutnya level kedekatan Anda mengawani setan.
Jelas saja uang yang dikeluarkan menyambut Tahun Baru itu akan lebih afdhal bila disedekahkan. Yang satu (mengeluarkan uang untuk Tahun Baru) adalah pemborosan; yang satu lagi (uang itu disedekahkan) adalah kebajikan. Jauh kelasnya.
Sayangnya, tidak ada statistik pasti tentang definisi mubazir itu sendiri. Tidak ada tuntunan pastinya pula dalam Alqur’an dan hadits. Sehingga, mubazir tidaknya sebuah pengeluaran menjadi berskala personal. Ia persis sejajar dengan ukuran cantik tidaknya seorang mahmud. Seorang mahmud boleh jadi cantik menurut saya, tapi mungkin tak ada apa-apanya di mata Mas Tia Setiadi dan Tuan Afthonul Afif yang dikelilingi para mahmud berkat pesona tampan, ilmu, dan kemahiran berkata-kata.
Berikutnya, saya lebih meyakini bahwa kemubaziran yang dimaksud kawan setan tadi hanya terukur melalui risiko keburukan yang ditimbulkan kemudian. Bila Anda membeli terompet dan kembang api, lalu utang Anda tak terbayar karenanya, itu mubazir. Jika Anda membeli Avanza dalam keadaan kurang siap mengangsurnya sehingga kemudian ekonomi keluarga jadi bubrah, itu mubazir. Umpama Anda travelling ke Orchard, lantas setiba di Jogja tak bisa membayar tagihan relasi, itu mubazir.
Setan, kita tahu, merupakan identifikasi kemadharatan; selalu mengajak kepada keburukan. Segala hal yang berdampak buruk, bukan hanya tentang mengeluarkan uang, merupakan identitas setan. Memfitnah, misal, pula menipu.
Lantas, bagaimana penjelasan logisnya untuk keburukan orang-orang yang tak goyang sedikit pun pilar ekonomis keluarga dan bisnisnya sekalipun ia membeli terompet dan kembang api di malam Tahun Baru?
Tidak ada. Lalu apa sahihnya menggenalisir hal itu bagian dari kawanan setan? Ukuran personal sama sekali tak pernah sahih untuk dipaksakan jadi ukuran publik. Itu sebuah kepongahan personal yang penuh pseudo-anarki-syndrom.
Satu lagi, bukankah secara psikologis sahih saja menghadiahkan kesenangan pada diri sendiri untuk memberikan penghargaan pada diri sendiri?
Kelima, mempestai Tahun Baru hanya akan mendorong kepada lupa syukur dan muhasabah, sehingga diri terjauhkan dari iman dan Islam.
Tiada kata yang lebih tepat di titik ini selain “hijrah”. Tentu bukan hijrah ala Nabi dulu. Itu terlalu berat: berpindah dari negeri thagut ke negeri rabbun ghafur. Tanya sajalah pada Oki Setiana Dewi dan Peggy Melati Sukma tentang epistemologi hijrah dan hijab kekinian yang paling Islami sesuai kehendak Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Tanya sajalah pada mereka tentang bagaimana menumbuhkan iman sejak bayi.
Punahnya kasunyatan diri di Tahun Baru ini telah terbukti kembali memproduksi keberisikan, ketegangan, dan keriuhan pada diri sendiri. Pada dasarnya, baper-baper menyambut Tahun Baru demikian hanyalah sebuah pseudo, bayang-bayang semu serupa kegentaran pada hantu di dalam pikiran sendiri, sampai Anda menjadikannya benar-benar Anda, sampai hantu itu seakan beneran ada di kamar Anda, lalu Anda berjuang mati-matian untuk menaklukkannya, sembari menepuk dada bahwa Anda adalah pahlawan kebenaran! Soal menarik-nariknya menjadi berkaitan dengan Alqur’an dan hadits, itu kan lantaran Anda hanya sibuk shalat tanpa khusyuk; sibuk sedekah tanpa tasyakur; sibuk puasa tanpa empati.
Menciptakan musuh sendiri, melawan sendiri, dan merayakan kemenangan sendiri; begitulah baper-baper dimasturbasikan. Demi terpeliharanya kesehatan, perbuatan demikian sahih sekali untuk divonis sebagai bentuk lain dari kemubaziran, kawanan setan. Mencari jodoh di usia yang terus memfosil di Tahun Baru ini pun saya kira lebih urgen untuk diresolusikan.
Jogja, 3 Januari 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019