Simbol Perempuan yang Terkoyak

Judul            : Vegetarian

Pengarang     : Han Kang

Penerbit        : Baca, Jakarta

Cetakan I      : Februari 2017

Tebal           : 222 halaman

ISBN            : 9786026486073

 

Aku tahu aku jadi tidak fokus jika kamu mendesakku.

Aku jadi tidak seperti diriku sendiri. (hal 23)

Ketika pemenang hadiah Man Booker International diumumkan (16 Mei 2016), saya cukup terhenyak kepada nama penulis asal Korea Selatan Han Kang dengan novel berjudul Vegetarian. Ia mampu mengalahkan novel karya peraih Hadiah Nobel sastra asal Turki, Orhan Pamuk. Novelnya berjudul Kafamda bir Tuhaflik harus kalah dari novel perdana-yang-diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris karya penulis Korea ini.

Han Kang, novelis yang juga pengajar creative writing di Seoul Institute of the Arts ini adalah sosok baru dalam kancah sastra dunia. Man Booker adalah hadiah debutan dalam skala internasional. Namun di tingkat lokal, ia sangat sukses dan terkenal, meraih penghargaan seperti Yi Sang Literary Prize, Today’s Young Artist Award, dan Korean Literature Award.

Dalam novel ini Han Kang menciptakan mimpi-mimpi tragis untuk tokoh utamanya: Aku terus berjalan melintasi bongkahan daging yang tak berujung, tapi tidak kunjung menemukan pintu keluar. Baju putihku basah terkena darah (hal. 15). Seseorang membunuh seseorang dan seseorang yang lain menyembunyikannya dengan sempurna (hal. 33). Gara-gara daging. Terlalu banyak makan daging. Nyawa-nyawa itu tersangkut di sana (hal. 59).

Dari mimpi tersebut, Young Hye kemudian menjadi vegan. Narator aku, yaitu suaminya sendiri, mulai gerah dan merasa aneh dengan pilihannya, yang hanya diinspirasi oleh mimpi. Ayahnya menjadi sangat otoriter dan memaksanya untuk makan normal kembali. Seorang suami yang tak dicintainya itu (hal. 192) menjebloskannya ke rumah sakit jiwa. Pun akhirnya, Young Hye menjadi “tertuduh-sakit-psikis” dan harus menghuni rumah sakit jiwa. Sampai novel ini selesai, ia digambarkan sebagai perempuan yang akhirnya memilih tidak makan hingga tubuhnya kurus, muntah darah (hal. 212), harus disuntik protein; dan dirinya mengandaikannya akan segera mati, menjadi pohon!

Di tengah cerita yang tak panjang tersebut, Han Kang memasukkan ide-ide cemerlang yang sejatinya menjadi poin utama yang hendak disampaikannya kepada pembaca: tentang rumah tangga, rutinitas dan pemberontakan, kepercayaan dan pengkhianatan, relasi dan seks!

Misalnya, di tengah Young Hye menjadi aneh sebagai vegan, suaminya mulai mencari sosok wanita yang bisa memenuhi kekurangan istrinya, dan itu ternyata ada pada kakak iparnya sendiri (hal. 42-3 dan 54). Di bagian kedua Han Kang mulai menghadirkan eksplorasi pemberontakan yang tak terduga: suami kakak iparnya, seorang seniman, pelukis dan sketsais, menemukan gairah seksualnya dengan Young Hye yang dipicu oleh tanda lahir berwarna kebiruan di tengah bokongnya (hal 70). Tanpa tedeng aling-aling, Han Kang hadir sangat perkasa memanfaatkan peran Young Hye yang bebas, keluar dari bayang-bayang suaminya dan menjadi dirinya sendiri yang rumit, nyaris seperti mimpinya yang tak seorang pun memahaminya. Young Hye bersedia dan sangat nyaman dilukis tubuhnya dengan bunga, direkam dengan adegan erotis (hal. 98-100 dan 123-7) dan hingga berhubungan seks dengan cara direkam.

Feminisme?

Ini adalah potret novel subversif dengan caranya sendiri; pemberontakan terhadap aturan dan struktur moral-sosial ataupun tradisi dan budaya yang membatasi cara-pikir dan laku keseharian masyarakat. Young Hye ingin melepas kungkungan dan beban kehidupan itu sendiri (hal. 202). Ia memberontak dengan caranya sendiri; melawan demi kehidupan yang membuatnya bahagia dan dilakoninya meski bagi orang lain, bagi common sense, adalah tragis.

Jika ditilik secara saksama, ada aroma perjuangan identitas. Han Kang sebagai penulis perempuan tidak bisa serta-merta dihapus dari karya ini. Meski ia menjadi penulis sudah mati ketika novelnya hadir, ruang metafiksi dunia perempuan dieksplorasi sebagai lokus perlawanan, dengan menghadirkan alegori-alegori dan satire yang disembunyikan pada problem “menjadi vegan”. Bagi saya, Han Kang tidak hendak menjelaskan problem vegetarian. Ia memakai topik ini untuk masuk ke ranah esensial dunia perempuan, ke tengah tetek bengek dan sengkarut-rantai kultural yang mengerangkengnya.

Dalam konteks ini, Han Kang hendak melawan narasi yang mengonstruksi tubuh perempuan itu sendiri, dengan caranya yang kalah (dalam konteks narasi umum) untuk menjadi pemenang (di mana Young Hye telah berhasil meretas batas-batas psikis dan kesadaran manusia). Praksis lelaki yang superior, misalnya sang Ayah dengan sangat mudah memukul Young Hye agar kembali makan daging (hal. 47), ditunjukkan secara gamblang, yang kemudian pada akhirnya “diejek” oleh Han Kang sendiri dengan menghadirkan tubuh Young Hye yang tak pernah kalah oleh tekanan dan faktor-faktor di luar dirinya. Meski hidupnya harus tragis seperti “kegilaan”.

Kegilaan

Jika direnungkan secara mendalam, novel ini ingin merekonstruksi dan cara pikir kita terhadap kegilaan itu sendiri. Siapa yang gila dan siapa yang waras sangatlah unik dalam rentetan narasi ini. Han Kang seperti hendak melawan bahwa tekanan sosial baik dalam keluarga Young Hye ataupun dalam lingkungan luas tak berhasil menjinakkan Young Hye agar berhenti dan meninggalkan pilihannya sebagai vegan.

Meskipun pada akhirnya si Young Hye harus berhadapan dengan sistem sosial bernama definisi “sakit dan waras”. Ia dituduh sakit oleh keluarganya sehingga dikirim ke rumah sakit jiwa (hal. 147-selesai). Tapi sedikit yang sadar bahwa dirinya sebenarnya tidak gila. Bahkan perawat dan dokter yang menanganinya kebingungan dengan sosok “pasien” yang satu ini. Di rumah sakit, Young Hye justru menemui para pasien yang sebenarnya dan mengamatinya sendiri. Sampai di sini, Han Kang ingin mengaburkan siapa yang gila dan apa arti kegilaan itu sendiri (?).

Han Kang sangat ciamik memasukkan unsur-unsur konflik psikis sehingga kesempatan untuk lepas dan bebas-sekehendaknya untuk menghidupkan dan menjalankan karakter tokohnya bisa lancar tanpa beban dan batasan logika social order atas teks-teks yang dibangunnya.

Namun, di balik kegemilangan yang mampu menghadirkan hal-hal sederhana, ada tiga poin penting yang membuat novel ini terasa kurang hebat dalam pandangan saya. Pertama cara Han Kang menghilangkan sekenanya sang narator (aku-suami Young Hye) yang sebenarnya menjadi salah satu tokoh penting dalam keseluruhan cerita; kedua Young Hye sebagai karakter-tafsiran tokoh lain (karena diceritakan banyak tokoh: oleh aku-narator, tokoh-tokoh lain seperti kakak ipar dan In Hye, kakaknya sendiri) sehingga tampak kabur di akhir cerita. Tetapi, di sisi lain, poin kedua ini justru menjadi kekuatan dalam konteks distingsi cara dan teknik bercerita, dan ketiga kata ganti (baca: ia) yang dipakai Han Kang dalam beberapa kondisi cukup membuat bingung dan mengaburkan siapa yang sebenarnya sedang bercerita. Lagi-lagi, cara terakhir ini bisa menjadi kekuatan dalam konteks bagaimana Han Kang memang sengaja menyembunyikan identitas tokoh-tokohnya.

Akhirnya, bagi saya Kafamda bir Tuhaflik-nya Pamuk, dalam semua aspeknya, masih terasa lebih bertanggung jawab, sebagai karya epik yang dalam, penuh taburan intrik dan alegori yang jauh lebih sempurna sebagai karya kaliber internasional.

 

Bernando J. Sujibto
Latest posts by Bernando J. Sujibto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!