Istirahatlah kata-kata
Jangan menyembur-nyembur
Orang-orang bisu
Kembalilah ke dalam rahim
Segala tangis dan kebusukan
Dalam sunyi yang mengiris
Tempat orang-orang mengingkari
Menahan ucapannya sendiri
Tidurlah kata-kata
Kita bangkit nanti
Menghimpun tuntutan-tuntutan
Yang miskin papa dan dihancurkan
Nanti kita akan mengucapkan
Bersama tindakan
Bikin perhitungan
Tak bisa lagi ditahan-tahan
(Istirahatlah Kata-kata, Wiji Thukul)
Saya kali pertama mengenal Wiji Thukul, penyair rakyat yang dinyatakan hilang sejak 19 tahun lalu itu, dari kawan-kawan satu organisasi, ketika saya aktif di Front Mahasiswa Nasional. Lalu, saya membeli bukunya pada 2004. Buku itu berjudul Aku Ingin Jadi Peluru. Buku itu berisi lima kumpulan puisi, yakni “Lingkungan Kita si Mulut Besar” (46 puisi), “Ketika Rakyat Pergi” (16 puisi), “Darman dan Lain-lain” (16 puisi), “Puisi Pelo” (29 puisi), dan “Bajak Loak Sobek Pundaknya” (28 puisi).
Buku itu ikut memengaruhi saya yang dahulu, sewaktu kuliah, masih centil-centilnya dan sedang kiri-kirinya. Sayang buku itu hilang, tak tau rimbanya. Seperti nasib sejumlah aktivis yang hilang pada 1998.
13 tahun kemudian, film “Istirahatlah Kata-Kata” yang diputar di sejumlah bioskop terbilang laris menarik massa. Film yang berkisah saat pelarian Wiji Thukul ke Pontianak, pascaperistiwa 27 Juli 1996 itu meledak.
Saya pun kehabisan tiket di hari pertama pemutaran di bioskop yang ada di dalam lingkungan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Terpaksa, saya ambil tiket pukul 21.00.
Saya memperhatikan serius Mas Gunawan Maryanto berakting. Tiap adegan per adegan. Saya mencoba menganalisis sejumlah “simbol” yang ada dalam film ini. Di Pontianak, selain bertemu kawannya yang bernama Thomas, Wiji bersua Martin Siregar. Martin adalah kawan Wiji yang berasal dari Medan.
“Kenapa kamu hilang ke sini, Tin?” kata Wiji di sebuah kedai kopi di pelipir Sungai Kapuas.
Martin tertawa. Lalu, ia menjawab, “Aku nggak hilang. Aku melarikan diri.”
Begitulah kira-kira dialog Martin dan Wiji. Martin pun menjelaskan perbedaan lari dan hilang. Lari, artinya masih tampak. Masih bisa terdeteksi bentuk dan wujudnya. Sedangkan hilang tak ada wujudnya.
Obrolan ini seolah menyiratkan, hilangnya Wiji dan sejumlah aktivis prodemokrasi yang raib pada 1998. Lari masih ada bentuknya, sedangkan hilang tak berwujud.
Kedua, masalah listrik yang kerap padam. Di dalam film, Wiji sedang asyik diam di salah satu kamar di rumah Thomas. Lantas, tiba-tiba listrik padam. Kejadian ini bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Adegan listrik padam yang kedua kali mungkin sangat menjengkelkan Wiji. Ia sedang asyik mengetik di komputer di rumah Thomas. Tiba-tiba, “Kirik!” begitu hardik Wiji.
Suara bayi menangis di depan rumah Thomas. Wiji menghampiri.
“Kenapa, Bu, anaknya? Takut gelap, ya?” kata Wiji.
Persoalan listrik padam seakan menyiratkan pembangunan yang tidak merata di Indonesia. Di masa Orde Baru, pembangunan hanya terpusat di Pulau Jawa saja, terutama di Jakarta. Daerah lain, seakan diabaikan.
Permasalahan mati listrik ini hingga sekarang masih berlangsung. Tahun lalu, Januari 2016, anggota Komisi I DPRD Kalimantan Barat, Subhan Nur, pernah mengungkapkan kekesalannya kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN). Menurutnya, listrik sering padam hampir setiap hari. Persoalan pasokan listrik dengan kebutuhan masyarakat, menurut Subhan tidak seimbang (Pontianak Post, 28 Januari 2016).
Ketiga, ada sosok orang gila yang dihadirkan di film ini. Orang gila itu selalu mengenakan seragam tentara. Celana loreng, kaus hijau, bawa ransel hijau.
Suatu ketika, saat Wiji dan Thomas ada di teras rumah Thomas, si orang gila lewat. Ia berjalan tegap dan langkahnya sangat kokoh. Wiji yang melihat sosok orang gila itu lalu bertanya kepada Thomas.
“Oh, itu. Dia dulu bercita-cita menjadi polisi. Bahkan lulus ujian. Tapi, bapaknya mau dia jadi tentara,” kata Thomas.
Dialog ini menyiratkan ada sebuah anggapan yang dahulu hidup semasa Orba. Menjadi tentara, hidup akan enak dan nyaman. Menjadi tentara merupakan pahlawan pembela negara.
Adegan orang gila itu tak berhenti di sana. Satu adegan, saat Wiji dan Thomas diadang di jalan kecil oleh orang gila tadi menarik pula. Orang gila itu menanyakan dari mana Wiji berasal.
“Kamu ada KTP?” kata orang gila itu. Pertanyaan itu diulang-ulang.
“Aku ada pistol,” kata orang gila itu lagi. Kalimat itu terus pula diulang-ulang, sembari berlalu meninggalkan Wiji dan Thomas.
Kalimat tadi seolah menyiratkan nuansa ketakutan dan kecemasan, dibarengi ancaman intimidasi. Adegan tadi menyiratkan ancaman samar-samar yang masih berlangsung hingga hari ini.
Keempat, ketika Wiji membaca buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku Pram, yang mantan penghuni Pulau Buru itu, pada masa Orba dilarang untuk dibaca.
“Kita membacanya diam-diam, Bang,” kata seorang pria yang menampung Wiji di Pontianak.
Saya kira, fenomena “takut membaca” itu masih ada hingga saat ini. Masih ingat peristiwa sweeping buku-buku yang dianggap berbahaya, karena didakwa memuat ajaran-ajaran komunis setahun lalu? Atau, pembubaran perpustakaan jalanan di Bandung Agustus 2016 lalu.
Sasaran sweeping pun terlihat serampangan. Buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Hermawan Sulistyo pun kena. Padahal, buku itu berisi konflik sosial antarberbagai elemen masyarakat yang terjadi pra-Gestapu, dengan studi kasus di Jombang dan Kediri. Konflik-konflik antarelemen ini ikut memicu pembantaian massal di kedua daerah tadi. Namun, sepertinya aparat tidak membacanya. Hanya menyisir warna merah sampul, tulisan dan lambang palu arit saja.
Adegan terakhir yang saya rasakan sangat kuat simbolisasinya adalah ketika Wiji Thukul hilang. Adegan ini diletakkan di ujung film. Saat itu, Sipon “mengamuk”. Ia marah kepada Wiji yang dalam posisi dikejar aparat. Situasi jadi tidak menentu. Serba kalut. Wiji saat itu pulang ke Solo. Tapi, ia akan berangkat kembali, ke Jakarta untuk aksi menurunkan Soeharto pada 1998.
Wiji menenangkan Sipon yang duduk menangis. Ia mengambil air bening dari dapur.
“Aku tak ingin kamu pergi. Aku tak ingin juga kamu kembali. Tapi, aku ingin kamu ada,” kata Sipon dalam isak tangisnya.
Kalimat ini saja sudah kuat. Menegaskan Wiji sudah tak ada di antara keluarga kecil itu. Ia tak ada. Hilang.
Lantas, Wiji ke dapur lagi. Tapi, ia tak kembali. Raib di sana. Adegan pamungkas ini, saya kira jelas menyiratkan hilangnya Wiji yang tak tentu rimbanya hingga kini. Sipon kemudian mengambil sapu. Lalu, menyapu lantai. Saya mengamati, adegan Sipon menyapu ini sebagai simbol “bersih-bersih”. Dalam konteks ini, keluarga ini meminta kejelasan dari pemerintah. Ada kegelisahan di adegan ini.
Sang sutradara, Yosep Anggi Noen, saya kira berhasil mendedahkan simbol-simbol halus itu ke dalam film ini. Muatan puitik di film ini, saya kira berhasil dan pesannya cukup efektif bisa diterima para penonton. Meski ada suara-suara sumbang yang mengkritik film itu tayang di bioskop, usaha Anggi Noen untuk mengangkat sosok salah satu aktivis yang hilang itu patut diapresiasi.
Berlatar belakang tahun 1996, film ini lebih dahulu memikat pencinta film di luar negeri. Rilis pertama kali di Locarno International Film festival ke-69 pada Agustus 2016. Meraih penghargaan kategori Apresiasi Film Panjang Non Bioskop dari Apresiasi Film Indonesia 2016. Tayang pula di 11th Jogja-NETPAC Asian Film Festival-ISLANDSCAPE, Yogyakarta; 21th Busan International Film Festival, Korea Selatan; dan di Pacific Meridian-International Film Festival of the Asian-Pacific Region 2016, Rusia.
- Menyaksikan Sepak Bola Indonesia Tersungkur di Asian Games 1962 - 30 July 2018
- “Hijrahnya” Buku-Buku Lawas - 8 February 2018
- Simbol Puitik “Istirahatlah Kata-kata” - 26 January 2017
Dhiemas Chrismansyah Supma
Satu lagi: layar televisi di kamar hotel Wiji yang abu-abu tidak ada siaran.
Fandy Hutari
Betul mas. Dan, dialog di tukang cukur sama tentara
Rahmawati Nur Azizah
Koreksi sedikit, buku Pram itu berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, di esai tertulis Nyanyi Suci Seorang Bisu.
Fandy Hutari
Oh iya typo mbak. Terima kasih koreksinya
Junaidi Khab
Mantap…
Esai yang meresensi film, saya jadi kebelet nontonnya.