Dalam buku Taisir al-Fiqh al-Islamiy, Yusuf al-Qardhawi menyitir ungkapan salah seorang hukama yang berbunyi “Akhbirni madza qara’ta, saukhbiruka man anta” yang artinya, beri tahu saya buku apa yang kamu baca, saya akan memberitahukan siapa kamu.
Dalam perspektif Karl Mannheim, pernyataan di atas memberikan penjelasan bahwa ada hubungan sosiologis antara pengetahuan dan eksistensi seseorang. Melalui buku master piece-nya berjudul Ideology and utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge, Mannheim menguraikan secara detail bahwa sebuah pengetahuan yang dibangun oleh seseorang sering kali berjalin kelindan dengan kepentingan yang diraih. Dan kepentingan di sini bermetamorfosis sebagai ideologi untuk merengkuh apa yang menjadi cita-citanya.
Maka, ketika sebuah ideologi bersenyawa dengan kepentingan, dan di antara keduanya membingkai sebuah pengetahuan yang berkorelasi dengan eksistensi dirinya, dapat diasumsikan bahwa produknya tidak akan jauh dari proses sosial yang dibangun. Dan, dalam proses sosial tersebut, terdapat dialektika yang menghubungkan antara satu dengan yang lain untuk menyasar sebuah sistem yang diinginkan.
Semisal, dalam konteks keagamaan, setidaknya bila dikaji melalui dua pendekatan yang lazim digunakan seseorang dalam mempelajari dan mengkaji agamanya—merujuk pada pemikiran Prof. Amien Abdullah dalam buku Islamic Studies di Perguruan Tinggi—yaitu pendekatan bayani (hadlaratun nash/text) dan pendekatan burhani (hadlaratul ‘ilmi/context), niscaya out put yang dihasilkan akan bergantung pada eksistensi, kepentingan, dan bahkan ideologi yang hendak dicapai.
Pendekatan Bayani
Dalam pendekatan bayani (tekstual/nash), seseorang akan berselancar dalam sistem pengetahuan yang serba normatif. Mekanisme pembelajarannya menggunakan model purifikasi ajaran yang merujuk langsung kepada al-Qur’an dan as-sunnah secara tunggal dan leterlek. Keberadaan ilmu-ilmu lain tidak patut digunakan sebagai instrumen pengkajian. Sebab, hal ini akan berkonsekuensi pada munculnya keraguan terhadap kesucian al-Qur’an dan as-sunnah itu sendiri.
Dalam kondisi demikian, tidak heran bila ekspresi keberagamaan yang mengkristal dalam pendekatan ini adalah bagaimana membangun sebuah biduk kehidupan manusia yang segala sesuatunya harus berdasarkan ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan as-sunnah secara normatif dan apa adanya. Setiap perubahan yang tidak sesuai dengan karakter ajaran yang rigid dianggap menyalahi ketentuan al-Qur’an dan as-sunnah. Berikutnya, ujung dari pembingkaian tersebut berpengaruh kepada pemikiran, sikap, dan tindakan yang cenderung negatif, seperti pembenaran terhadap keyakinan ideologisnya sendiri dan menyalahkan apa yang menjadi keyakinan pihak lain.
Bahkan, untuk menggerakkan cara truth claim dalam pengetahuan agamanya, tidak segan mereka menggunakan model ofensif berupa penyebaran ujaran kebencian (hate speech) terhadap pihak lain yang didasarkan kepada argumen pemurnian akidah. Selain itu, logika penistaan agama (blasphemy) digunakan sebagai instrumen untuk menyerang banyak kelompok yang dianggap tidak menjalankan pengetahuan keagamaan seperti yang berlaku pada dirinya.
Akibatnya, pengetahuan berbasis pendekatan bayani yang rigid ini cenderung menjadi gerakan radikal-ekstrem yang selalu gigih ingin mengubah sebuah sistem kehidupan masyarakat, baik di tingkat regional, nasional, dan internasional berdasarkan kepentingan dan ideologi yang dipeluknya. Fenomena ini tampak, misal, pada gerakan keagamaan salafi, ikhwanul muslim, wahabi, dan sejenisnya yang gemar menebar pesan thaghutiyah kepada banyak pihak yang tidak sejalan.
Lalu, di tengah infiltrasi pengetahuan agama yang sedemikian ekstrem ini, bagaimana posisi kita agar tak terpengaruh dengan modus operandi penyebaran ajaran yang sering kali bertolak dengan spirit keagamaan yang seharusnya kontekstual dengan perubahan sosial dan perkembangan zaman?
Jawabannya, aslinya, sesederhana ini: diperlukan sistem imunitas yang bersumber dari pendekatan lain agar pengetahuan keagamaan kita tidak mudah dipengaruhi oleh virus patologis yang kerap menjerembapkan kita pada ruang-ruang subjektivisme yang berorientasi normatif, fanatik absolut, apologetic-defensive, dan truth claim.
Pendekatan Burhani
Bila dalam pendekatan bayani mengarahkan orang berpikir tentang agama secara normatif dan rigid, maka pendekatan burhani memberikan nuansa yang lebih logis dan luwes dalam memperlakukan agama sebagai jalan pengetahuan (way of knowledge).
Dalam konteks kekitaan dan kekinian, pendekatan burhani dapat dijadikan sumber metodologis yang memberikan sistem imunitas bagi pengetahuan keagamaan kita. Melalui pendekatan burhani, agama tidak sekadar diasumsikan sebagai fenomena teologis yang hanya dijalankan dalam proses pengalaman (experience) yang pasif melainkan juga sebagai fenomena sosiologis yang perlu dikaji dan diteliti dalam proses penelaahan (eksperimental) secara dinamis dan dialektis. Hal ini penting dilakukan agar setiap ajaran agama dapat memberikan pemahaman baru yang mencerahkan (enlightened) dan memperluas (enriched) wawasan kita.
Finalnya, pengetahuan agama dapat digunakan sebagai instrumen transformasi keberadaban (tamaddun) progresif yang dapat membebaskan manusia dari jebakan indoktrinasi yang sarat kepentingan subjektif-parsial-ideologis. Sebab, agama yang dibawa oleh para Nabi dan disebarkan oleh pengikutnya sejatinya mempunyai banyak fungsi theomorfis dan anthromorfis yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia. Tidak hanya dogmatis dan ideologis. Akan tetapi, faktanya, agama sering kali menjadi gegar di ruang publik lantaran “dimanfaatkan” oleh sekelompok orang atau pihak yang berhasrat meneguhkan eksistensinya untuk bertarung dengan banyak pihak demi kepentingan diri dan kelompoknya.
Kehadiran beberapa kelompok sosial yang semata-mata menggunakan pendekatan bayani untuk memproduksi pengetahuan agama yang sangat fundamental, radikal, dan bahkan ekstrem sangat perlu diimbangi dengan penyebaran pengetahuan agama dengan nalar objektif-kritis. Melalui pendekatan burhani, pengetahuan agama dinalar berdasarkan metode, kajian, dan ilmu yang bisa mengarahkan pada rasa saling memahami, rasa empati dan simpati, serta pandangan inclusive-partnership-dialogical terhadap perbedaan dalam kehidupan masyarakat.
Walhasil, pengetahuan agama akan menjadi mekanisme sosial yang mampu memfilter segala bentuk prejudice yang berdampak negatif pada perselisihan dan permusuhan antarindividu maupun kelompok. Persilangan ilmu pengetahuan, baik dalam lingkup sosial, sejarah, dan budaya, yang berinteraksi dengan agama akan mampu menjadi sistem imunitas pengetahuan keagamaan yang mendewasakan seseorang maupun kelompok untuk bersikap arif dan legawa menerima perbedaan dan mengapresiasi persamaan.
Selain itu, melalui sistem imunitas pengetahuan keagamaan tersebut, posisi kita akan semakin terkontrol dari sekian ajaran-ajaran provokatif, yang seolah-olah mengatasnamakan pesan keagamaan, namun di balik hal itu menyimpan kepentingan tertentu untuk mengubah pandangan dunia (world view) masyarakat ke dalam sistem ajaran yang diyakininya sebagai kebenaran tunggal.
Sudah semestinya kita memperluas model pembacaan kita terhadap agama dengan beragam pendekatan dan metode pemahaman yang kontekstual, agar kita tidak terjebak dalam satu pemikiran yang sempit. Merujuk pada pandangan Muller, Who knows one knows none, yang artinya, siapa yang hanya tahu satu persoalan, sesungguhnya tidak mengetahui apa-apa, dapat dianalogikan bahwa ketika seseorang hanya mengetahui satu persoalan tentang pengetahuan agama, niscaya ia akan selalu disekap oleh ketidaktahuan yang bisa melemahkan sistem imunitasnya.
Bukankah mengembangkan dan meluaskan pemahaman beragama yang berbasis metodologi demikian akan menghantarkan atmosfer kehidupan beragama kita lebih teduh, sejuk, dan berikutnya rahmatan lil ‘alamin?
- Sistem Imunitas Pengetahuan Agama - 13 October 2016
Ibee
Mencerdaskan Pak, ..