Segar betul ingatan saya pada alur film In the Heart of The Sea. Berbekal kapal pemburu paus terkenal di masanya, Essex, Owen Chase, yang dikenal sebagai pelaut ulung, harus menerima kenyataan untuk sekadar menjadi orang nomor dua di hadapan anak pemilik modal, George Pollard. Pada beberapa ide strategis, Chase yang kaya petualangan harus bersitegang dengan Pollard yang gemar necis dan fakir pengalaman. Ujung sitegang itu mudah diterka, Chase tetaplah kepala kelasi, bukan nahkoda. Chase tetaplah bukan pengambil keputusan. Kebenaran (yang diketahui di akhir film) memang telah ditakdirkan oleh dunia untuk tak selalu bisa naik tahta.
Akan selalu terbit rasa muak dan sebal di dalam rongga dada pada sebuah keputusan yang kita yakin bukanlah yang terbaik, tetapi tetap berlaga sebab bukan kitalah penentunya. Sebab bukan kitalah the man! Mau di rumah, kantor, komunitas, lingkungan sosial, hingga negara-bangsa.
Absah saja kita mengeluhi keputusan yang mengimbasi hidup kita, sehingga kita lantas merasa berhak untuk mengkritisi, bahkan menentangnya. Sebutlah misal, mekanisme penentuan harga BBM yang menciumi pantat fluktuasi harga minyak mentah dunia. BBM yang merupakan komoditas sensitif, karena darinya akan terseret nyaris seluruh harga komoditas lain, seyogianya diproteksi ketat dari intervensi apa pun, termasuk pasar liberal-global yang memanggul kepentingan korporasi Amerika dan sekutunya. Kita bahkan bisa mengeluarkan dalil-dalil politik-ekonomi, bahwa harga minyak dunia tidak steril dari sentimen geopolitik, yang kita tahu sepenuh-penuh dikangkangi siapa. Bagaimana mungkin kita merelakan diri diendus-endusi berahi ekonomi dan politik global Amerika cs. dengan seturut memberlakukan harga fluktuatif BBM yang rentan menaikkan harga-harga kebutuhan pokok rakyat?
Pemerintah kita terlalu lemah di hadapan kolonialisme ekonomi liberal-global! Pemerintah kita hanyalah cum antek Amerika, yang di belakangnya jelas ada campur-tangan Yahudi terkutuk!
Begitu, kan, pekik kita selalu? Di tulisan serius, di status alay, pula di jalanan sembari selfie lalu upload agar tampak cerdas layaknya anak pergerakan. Siapa tahu, kejombloan segera hengkang.
Faktanya, Anda hanya orang kesekian di balik punggung Chase, apalagi Pollard, kan? Saya yakin kapal Essex akan pulang dengan selamat umpama Pollard tidak memaksakan perintah memburu paus sejauh-jauhnya. Ketika Essex hancur, seluruh orang seturut kepalang jadi tumbalnya. Itulah “tumbal keputusan pemimpin”.
Bisa apa kita untuk mengubah soal-soal pelik itu? Benarkah pekikan kita pernah didengarkan, apalagi dijadikan landasan kebijakan yang kita pikir lebih baik? Benarkah Pollard mendengarkan nasihat Chase?
Tidak! Tahu kenapa? Sekali lagi, mari insaf, sebab pangkat sosial-politik kita bahkan lebih rendah dari posisi Chase di hadapan Pollard di kapal Essex bernama Indonesia itu?
Kita hanya rakyat, Lur! Rakyat Indonesia lagi!
Kita tidak sedang hidup di masa Konstitusi Solon, di Athena, di tahun 594 SM, yang sezaman pemerintahan Nebukadnezar di Babilonia. Berdasar Konstitusi Solon, semua keputusan didasarkan pada pendapat terbesar rakyat. Di masa itu, rakyat berkumpul di alun-alun, menyalurkan suara untuk memilih sebuah dewan, lalu dewan melaksanakan keputusan rapat. Solon adalah perumus cikal bakal demokrasi yang kita banggakan kini–kendati sejatinya kita hanya mewarisi demokrasi dari Amerika melalui Abraham Lincoln.
Waktu terus membentang dan wajar belaka berkembang dinamika ke arah perbaikan-perbaikan, termasuk perkara demokrasi. Sayangnya, di tangan kita, dinamika demokrasi itu, jika dibandingkan dengan Athena, bergerak ke arah yang lebih buruk, bukan lebih baik. Anda bisa melihat perbedaan spirit yang sangat mendasar antara demokrasi Athena dengan demokrasi Indonesia dalam hal “kekuasaan rakyat”.
Di Athena, siapa pun yang diamanahi rakyat untuk menjadi anggota dewan, jika kemudian dianggap melenceng, segera diturunkan dari gedung dewan, bahkan diusir dari bumi Athena. Selamanya! Tokoh hebat macam Miltiades dan Temistokles didera hukuman kekuasaan rakyat itu.
Bagaimana kabar demokrasi kita?
Mungkin saya terlihat sangat skeptis bila menyitir narasi Pramoedya Ananta Toer dari novel Bukan Pasar Malam di sini: “Kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini.” Jika narasi ini ditakakkan pada perilaku politik demokrasi “para dewan” yang telah kita pilih (serupa rakyat Athena memilih dewannya), bukankah “sia-sia saja kita menciptakan demokrasi di negeri ini sejak Reformasi 1998”?
Orang boleh berbesar hati dengan berkhutbah bahwa demokrasi kita masih sangat belia, masih mencari bentuk, baru berumur 18 tahun. Demokrasi kita jauh kalah tua dibanding demokrasi Yang Mulia Amerika.
Benarkah 18 tahun layak disebut masa yang pendek? Saya menggelenginya dengan sekujur lelah.
Florentino Perez dan Roman Abramovich dengan tangan besinya telah mendepak beberapa pelatih–yang terbaru adalah Rafa Benitez yang medioker dan Jose Mourinho yang tertelan mulut besarnya sendiri.
Buat apa lama-lama memelihara Benitez di Santiago Bernabeu dan Mourinho di Stamford Bridge? Jika klub dan fans tidak bisa menunggu buaian janji-janji kemenangan, lalu argumen logis macam apa lagi yang patut membuat kita ikhlas menunggu janji-janji kesejahteraan dari para Pinokio dewan kita?
Sayangnya, negara ini bukan klub bola; sayangnya di sini tak berlaku demokrasi ala leluhur Athena. Praktik demokrasi kita kini, yang dilabeli Pancasila agar bernuansa ketimuran, santun, dan utamanya religius, sejatinya tak lebih dari sebentuk “praktik tirani” yang dipigura kitab legal-formal berjuluk hukum. Siapa pun rakyat atau lembaga masyarakat yang melanggar hukum legal-formal itu, sekalipun mutlak membela keadilan, seketika tertabalkan nista. Dan Anda tahulah risiko melanggar hukum legal-formal. Tarik satu contoh berjudul UU ITE yang dikerucutkan tafsirnya oleh pemangku hukum sesimple hate speech. UU ITE seketika menjelma Cerberus yang seram kepada rakyat dan ramah kepada pejabat.
Inilah tragedi demokrasi kita! Jika dalam demokrasi Athena rakyat sahih menurunkan dan mengusir politikus busuk, di sini rakyatlah yang bakal dipidana bila mengusik politikus-politikus atas nama hate speech. Jika di Athena hukum dibuat oleh kesepakatan rakyat, di sini hukum dibuat oleh kesepakatan para dewan–berdasar perkoncoan dan kepentingan pastinya.
Mau bukti produk Undang-Undang yang paling menjijikkan?
Ingatlah bahwa aparat hukum harus meminta izin terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Dewan bila hendak menyidik dan menyelidiki anggota dewan yang terindikasi melanggar hukum. Dan Anda tahu betul siapa pengisi kursi-kursi Dewan Kehormatan itu: para sahabat, kolega, koalisi, dan happy-happy.
Sudah 18 tahun kita hidup di alam demokrasi yang diamanahkan reformasi. Sudah berganti-ganti pula skuat politikus yang keluar-masuk gedung dewan terhormat itu. Sudah berubah-ubah berbanyak kali pula arah angin politik dagang sapi yang dipasarkan di depan mata kita. Masih kurang lamakah? Masih kurang lelahkah menjadi rakyat?
Saya tahu, revolusi politik terlalu mahal harganya. Itu tak pernah masuk ceruk ide saya. Lalu apa?
Ada pepatah unik yang perlu kita renungkan: sebuah mercon bila diledakkan dalam genggaman, efeknya sangat parah; jika diledakkan di tepian, efeknya rendah; bila diledakkan di kejauhan, efeknya mutlak tiada, selain keberisikan.
Di negeri ini, meledakkan mercon dari luar gedung atau tepian, di luar prosedur legal-formal, jelas sia-sia. Lalu, kita berharap akan muncul orang-orang pintar dan berani sekaliber Perikles memasuki gedung dewan, menjadi bagiannya, dan meledakkan perubahan. Kita ingin sekali ledakan mercon yang berefek besar berdentum di dalamnya.
Kapan para pembawa mercon itu akan datang?
Mereka telah berkali-kali datang. Sangat banyak bahkan. Tapi merconnya tak pernah meledak. Merconnya seketika jadi telo, lalu berubah krecek, kemudian batu hitam. Anda bisa mendaftarnya dalam kepala, sebab bila dituliskan, niscaya monster hate speech takkan segan mencabik.
Kita sungguh telah berkali-kali menitipkan mercon-mercon harapan perubahan kepada banyak cerdik pandai yang kita yakini integritasnya –perubahan dari “politik transaksional” menjadi “politik pengabdian”, dari “koalisi bagi-bagi kursi jabatan” jadi “politik kepentingan rakyat”, dari “politik kemunafikan” jadi “politik ketulusan”, dari “politik bajingan” jadi “politik kebangsaan”. Mereka memiliki latar integritas yang mewah: muda, cerdas, kritis, berani, aktivis pergerakan, dan pastinya pula juru khutbah. Dari kubu nasionalis, kekirian, hingga keislaman. Soal label-label jubah itu, peduli setanlah.
Mercon-mercon itu tak kunjung meledak lantaran kita alpa pada satu hal: gedung dewan itu sejuk sekali, Lur, sumbu-sumbu mercon pun masuk angin. Perihal kita, sang penitip mercon-mercon, perlahan harus menelan skeptis: jangan-jangan siapa pun yang kelak kita titipi mercon-mercon itu akan mengalami takdir serupa. Takdir memekik di luar gedung yang panas dan lapar, tertidur pulas di dalamnya yang sejuk dan kekenyangan.
Tiba-tiba, saya rindu Kim Jong-un. Kerinduan yang diterbitkan skeptisme tak lagi tertahankan. Semoga tidak gaya rambutnya saja yang berkenan singgah di mari, tapi juga satu roketnya dengan koordinat gedung hijau itu.
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019