Di Solo, Soedjatmoko itu tercantum di nama bangunan atau rumah. Di pinggir Jalan Slamet Riyadi, rumah itu masih berdiri tegak. Rumah di keramaian. Di depan rumah, kita sulit melihat tanah tapi gampang melihat mobil dan sepeda motor. Rumah di masa lalu mungkin masih memiliki hening dan senggang. Kini, rumah bertokoh Soedjatmoko “dikutuk” keramaian, kewajaran tata hidup berkota di abad XXI. Rumah berarsitektur lawas itu masih saksi segala perubahan di Solo. Rumah mendapati nama tenar Balai Soedjatmoko. Semula, rumah itu dihuni keluarga Soedjatmoko saat sang bapak (Saleh Mangundiningrat) bertugas menjadi dokter di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sekian tahun berlalu, orang-orang masih memiliki ikatan dan ingatan ke Soedjatmoko. Ingatan bukan ke kata-kata pernah dicetak di lembaran-lembaran majalah dan buku. Ikatan ke Soedjatmoko adalah acara-acara seni diselenggarakan di Balai Soedjatmoko: musik, macapat, pameran rupa, diskusi, tari, dan teater. Ratusan sampai ribuan orang telah mendatangi Balai Soedjatmoko-Bentara Budaya, belum tentu “mengunjungi” rumah ide-ide di majalah, buku, dan koran. “Pengunjung” ke kata-kata bertaburan ide cenderung memilih di hening ketimbang kerumunan dan ramai.
Kita mencoba “mengunjungi” tokoh dulu di masa lalu. Pengenalan tokoh, sebelum memilih menu ide diberikan ke publik di Indonesia dan dunia, sejak masa revolusi sampai masa Orde Baru. Pengenalan diperantarai Sitor Situmorang, menempatkan tokoh di situasi zaman sedang disebari benih-benih intelektual di negara sedang menapaki revolusi.
Sitor Situmorang (24 Mei 1953) menggubah puisi berjudul “Kepada Soedjatmoko”. Puisi belum pernah dicetak dan dipajang di dinding Balai Soedjatmoko. Puisi persembahan mengingatkan tokoh di deru dan seru intelektual tapi terasing. Zaman itu pertempuran pemikiran bukan keanehan. Soedjatmoko turut jadi pemicu dan penanggap. Pertempuran membuat Indonesia berusaha menolak lesu. Negara baru ingin bergairah di ejawantah gagasan-gagasan datang dari pelbagai arah. Soedjatmoko memberi suara mungkin lirih di jutaan telinga orang Indonesia. Lirih itu malah pernah mengawali “konfrontasi” pemaknaan krisis politik-sastra di Indonesia. Lelaki berpenampilan rapi dan berkacamata tebal itu cenderung penulis, bukan orator. Penulis pantang mundur dari serial polemik pernah tergelar di Indonesia.
Sitor Situmorang menulis: Kawan, ingin hati berhenti bitjara/ Menulis sadja – rapat pada segala –/ (bila habis pengharapan/ Tahu tersisa pengertian)/ Ingin hati diam sadja// Bukan mentjari aman/ Bila kita lari/ (Bertambah asing dari diri). Zaman bicara dibentuk dan dibesarkan oleh pidato-pidato Soekarno dan omongan kaum politik, jelang hajatan demokrasi bersejarah di Indonesia. “Berhenti bitjara” bukan pilihan keliru tapi berisiko terpencil. Kecerewetan politik menulari sastra, pendidikan, agama, dan hiburan. Pada masa lalu, ingin Sitor Situmorang itu dipengaruhi ulah partai politik, pers, dan perkumpulan pengarang. Soedjatmoko dikenali “manusia-konfrontasi”, memilih rajin menulis ketimbang mengumbar omongan di sembarang tempat. Sitor Situmorang mungkin ingin berada di posisi dan sikap Soedjatmoko.
Soedjatmoko (10 Januari 1922-22 Desember 1989) menulis dan menulis. Ia berjalan ke sejarah, filsafat, sastra, agama, pendidikan, politik, dan ekonomi. Di tulisan-tulisan, ia itu pemikir tak malu dengan ide kecil dan emoh sombong dengan ide besar. Pada suatu masa, ia memberi tulisan bertuah mengenai novel berjudul Dokter Zhivago gubahan Boris Pasternak. Ia mengulas tanpa predikat kritikus sastra, bersaing pamor dengan A Teeuw atau HB Jassin. Tulisan tanpa corak dipidatokan, mengajak orang di pembacaan perlahan dan mendalam. Tulisan itu penting, sebelum orang-orang mulai terpukau membaca Dokter Zhivago dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia oleh Trisno Sumardjo: penerjemah ulung pernah hidup berseni di Solo, sebelum tenar di Jakarta.
Soedjatmoko tak berpamrih menjadi kritikus sastra atau mencari predikat sebagai penulis puisi, cerita pendek, dan novel. Ia pantas dijuluki esais. Puluhan tulisan bergerak menghampiri pembaca melintasi tahun-tahun berkecamuk ideologi dan impian. Sitor Situmorang memberi kesan bahwa Soedjatmoko sadar di keterasingan tapi bergerak terus sebelum ditamatkan. Pembahasaan dari pujangga pernah pula mengusung esai-esai bertema sastra-revolusi: Terimalah! Suara itu asing/ Lalu patjulah kuda/ Ditengah gurun! Pengibaratan terlalu jauh, telanjur ditulis di zaman kata ingin terdengar di jarak ribuan kilometer. Kata bukan tercetak di kertas-kertas menanti lapuk dan hancur di putaran detik.
Pada masa 1950-an, ide-ide di tulisan-tulisan garapan Soedajtmoko berpacu di keramaian. Ide mungkin terasing tapi penanggap selalu bermunculan, bersambungan dari tahun ke tahun. “Gambaran masjarakat kita menundjukkan kelemahan dan kelapukan di mana-mana. Kepertjajaan dan kesanggupan akan diri sendiri dan semangat revolusioner jang lahir padanja telah lenjap,” kata Soedjatmoko pada 1954. Tahun-tahun berlalu dengan semaian ide. Pada masa 1980-an, Soedjatmoko menua dan gampang letih. Ia seperti tak terlalu ingin terus berada di pacuan. Indonesia sudah memiliki pertambahan kaum intelektual, selalu sedikit dibandingkan pertambahan kaum politik. Pada masa Orde Baru sedang di kemapanan, pemikir telah beredar di pelbagai negara itu mungkin mengurangi suara agar Indonesia mendapatkan kebaruan-kebaruan, bukan berserah ke sisa atau kesan ide kesilaman. Soedjatmoko mengerti dan mengalami masa kolonial, masa revolusi, dan masa keberlimpahan petunjuk Soeharto.
Goenawan Mohamad di Tempo, 30 Desember 1989, memberi sebutan berbeda ke Soedjatmoko, terhindar dari peniruan atas warisan puisi pemberian Sitor Situmorang. Pembuka dari Goenawan Mohamad dititipi pesimis berkaitan pengenalan dan pengakuan publik pada Soedjatmoko: “Generasi-generasi saling melupakan di Indonesia. Maka, ketika Soedjatmoko meninggal, saya tak tahu pasti: Bisakah kita jelaskan apa arti orang ini kepada kawan-kawan kita yang berumur 20 dan 30-an tahun?”
Esais dan jurnalis kondang itu pasti mengenali Soedjatmoko dari “dekat”. Pengenalan tanpa puisi atau kewajiban foto bersama. Ia ingin menampik sangkaan orang: Soedjatmoko itu “terasa jauh”. Goenawan Mohamad sudah khatam setumpuk tulisan Soedjatmoko dan mendapati biografi di sekian babak. Pembacaan atas tulisan mungkin melebihi Sitor Situmorang saat menggubah puisi di episode awal Soedjatmoko memiliki daftar pendek tulisan di masa 1950-an.
Pujian dari Goenawan Mohamad mirip ralat dari tuduhan-tuduhan buruk atas cendekiawan kalem: “Soedjatmoko pergi. Tokoh yang salah tempat dan salah waktukah dia? Tidak, justru dalam suasana anti-intelegensia kini. Sebab siapa yang mengenalnya akan tahu bahwa di dekatnya orang tak perlu curiga atau gentar atau merasakan omong kosong. Dialah seorang yang kritis tapi tak pernah bisa sinis, seorang yang mempertahankan kejujuran tanpa jadi penuding orang lain, seorang di mana pengetahuan telah jadi kearifan dan keterbukaan pikiran sama dengan keterbukaan hati. Dia, sekali lagi, adalah teladan.” Kita tak pernah mendengar berita Goenawan Mohamad melanjutkan pujian atau membuat koreksi atas penilian ketokohan dan ide Soedjatmoko dalam acara obrolan di Balai Soedjatmoko. Esai itu tercetak di Tempo, belum dicetak ulang diberi bingkai untuk dipajang di dinding Balai Soedjatmoko.
Pembahasaan di “Catatan Pinggir” itu sealur peringatan Tom Nichols di buku berjudul Matinya Kepakaran (2018). Kita sudah dalam zaman saat percakapan terlalu melelahkan bagi pakar dan awam. Orang tak hendak lagi mengonfirmasi kebenaran informasi atau pengetahuan, memilih di pesta omong kosong dan ulah konfrontatif. Bermedia sosial membuat orang-orang berpacu ke keramaian sulit berarti. Soedjatmoko tak ada di situ. Ia tetap “berumah” di buku-buku dengan sedikit “pengunjung” dan pembaca. Ia di kejauhan. Seribu esai belum menjangkau dan sekarung esai belum mampu ke situ, ada di hadapan atau berdekatan dengan Soedjatmoko.
Kita di “zaman lelah” berhak berjalan di ide-ide Soedjatmoko dengan membaca sekian buku diwariskan bagi Indonesia: Etika Pembebasan, Pembangunan dan Kebebasan, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, dan Kebudayaan Sosialis. Tulisan demi tulisan mengingatkan Indonesia masa lalu dan ancangan masa depan. Buku-buku termangu, menanti pembaca berani lelah berpikir dan menaruh ide-ide itu di Indonesia abad XXI. Ia menulis berketerusan dengan anggapan pemikiran bakal ada di tanah subur. Soedjatmoko agak salah. Indonesia abad XXI sudah menepikan nama-nama pernah turut membentuk album gagasan Indonesia.
Orang-orang malas mengutip di buku lawas, membuat tafsiran panjang, dan memilih bahasa bermutu. Indonesia sepanjang hari sibuk dengan hal-hal melelahkan, belum tentu seperti tema-tema ditekuni Soedjatmoko sejak masa revolusi sampai 1980-an. Ia beruntung tak melihat kirab komentar dan konfrontasi di media sosial tanpa kiblat telah menjadikan tulisan di majalah dan buku cenderung nostalgia pinggiran. Begitu.
- Biang Keladi Novel Pop - 18 January 2023
- 100 Tahun Sitti Noerbaja; Langgeng dan Khatam - 30 November 2022
- Burung: Sejarah dan Bahasa - 2 November 2022
Solehatun Marfuah
Pemilihan bahasa dan pembentukan kalimat yang menggugah dan indah!