Soekarno aktif menggerakkan sejarah. Walakin, siapa gandrung merawat pemikirannya di tengah cepat landas kehidupan dunia? Kita tak berbicara pikirannya yang menjadikan tanggal 1 Juni terasa penting akan urusan Pancasila. Justru, kalau menyimak ulang buku garapan Cindi Adams, Bung Karno: Penjambung Lidak Rakjat Indonesia (Gunung Agung, 1966) kita diajak menapaki selembar jejak teknik dari Bung Karno.
Ia menapaki satu lanskap dalam hidupnya, berurusan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. “Minggu terachir bulan Djuni tahun 1921 aku memasuki kota Bandung, kota seperti Princenton dan kota-peladjar lainnja dan kuakui bahwa aku senang djuga dengan diriku sendiri,” tulis Adams. Bung Karno berbicara kota, perempuan, budaya Jawa, mentalitas pemuda, dan pendidikan tinggi.
Orang-orang kemudian berutang rasa kepada Bung Karno pada perjalanan studi di Technische Hoogeschool yang kemudian hari pada 2 Maret tahun 1959 diresmikannya menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia membuka keran dalam pergerakan visi kebangsaan terhadap urusan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nama demi nama lembaga penelitian bermunculan. Ia bermimpi bangsa Indonesia punya kekuatan akan energi nuklir.
Oh, di kampus ITB sebagai almamaternya dulu, Bung Karno pernah pidato saat dianugerahi gelar honoris causa pada 13 September 1962. Pidatonya Ilmu Teknik Harus Mengabdi Masyarakat Adil Makmur diawali dengan pengutaraan rasa sungkan dan malu. Ia memberikan pengakuan akan kadar keteknikannya yang rendah. Ia merasa tak patut mendapatkan penghormatan itu. Tentu ia tak mau sebatas minder. Hanya ada lain hal ingin disampaikan.
Sampailah ia perlu berbicara teknik. Ucapnya: “… teknik yang menuju masyarakat adil dan makmur.” Soekarno mengimajinasikan “teknik” bukan pada persoalan modern atau tidaknya, namun lebih pada implikasi. Ia menyoal perkembangan mesin uap hingga ilmu atom yang dibangun dengan keberadaan teknik menjadi masalah di beberapa negara. Frasa Bung Karno yang digunakan untuk menggambarkan: exploitation de I’homme par I’homme. Kita mendapati Bung Karno telah membawa kehadiran teknik pada urusan politik.
Teknik menjalar pada urusan kamus. Bahwa kemudian berbagai istilah mengandung ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diserap dan diartikan kepada bahasa Indonesia. Bukti itu misalkan saja garapan B. S. Anwir dan W. H. H. de Jager, Kamus Teknik Empat Bahasa. Kamus terbitan pertama pada tahun 1950-an. Sebelum kemudian tercetak ulang beberapa kali PT Pradnya Paramita sejak 1968 hingga tahun 1993. Itu memberi pertanda penting akan kamus yang menyatukan empat negara berbeda: Belanda, Inggris, Jerman, dan Indonesia.
Lema demi lema tersebutkan. Kita menemukan pembentuk kata “teknik” dalam bahasa Indonesia dalam kamus itu berupa: “techniek”, “technies”, “technical science”, dan “technik”. Mungkin iseng saja, kalau kemudian kita coba membandingkannya dengan kamus yang memacu terminologi “bahasa persatuan”, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1952) gubahan W. J. S. Poerwadarminto.
Lema “teknik” dalam kamus gubahan Poerwadarminto memberi penjelasan berupa: (1) Hal mengerdjakan (mengatur dsb) segala sesuatu jang untuk membuat sesuatu (hasil kesenian dsb), (2) Peladjaran dan pengetahuan aturan (hukum dsb) jangberkenaan dengan kesenian (spt karang mengarang, lukis-melukis dsb), dan (3) Kepandaian membuat sesuatu jang berkenaan dengan hasil keradjinan (membuat bangunan dsb). Pengertian teknik terkerucut pada aspek terapan semata.
Kita menduga kamus itu tentu masih sedikit dalam memuat istilah-istilah berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, Kamus masih menjadi langkah pemersatu bahwa urusan berbahasa Indonesia butuh pakem. Keberadaannya pun belum mengarah pada penafsiran istilah demi istilah yang menggerakkan diri pada gairah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di abad ke-XXI, kita masih harus berurusan dengan teknik. Teknik yang terlihat semakin bias dalam penafsirannya. Istilah “teknik” bak lem perekat terhadap banyak hal. Frasa demi frasa terdahului akan keberadaan lema “teknik”. Kita bisa ambil contoh; teknik pemasaran, teknik berdebat, teknik kepenulisan, hingga teknik membangun rumah tangga. Kendati penuh masalah, kita dapat menangkap makna tersirat; teknik itu terus penting!
Paradoks yang terjadi justru pada tataran pendidikan tinggi, khususnya dalam benak mereka yang berada di lingkungan fakultas dan program studi berbasis teknik. Teknik mulai tersingkirkan dan hilang kewibawaannya dengan pilihan penggunaan kata “engineering”. Agaknya, masalah terus menghinggap. Apalagi nanti berurusan dengan sistem teknokrat yang mungkin atau tidak menjadi sebuah konsep dalam demokrasi di Indonesia.
Teknik terkadang kemudian dipahami sebatas sebagai alat. Simbol modernitas dan kemajuan. Barangkali kita kelewat ingkar atas apa yang pernah digagas oleh Bung Karno. Kita berada bayang ketakutan sebagaimana dulu Bung Karno meresahkan dan mengkhawatirkan. Alih-alih kemajuan hadir tak melepaskan pada nasib banyak orang, justru sebaliknya, kemajuan memberi ancaman dalam martabat umat manusia.
Menariknya, C. A. van Peursen lebih menggunakan lema “tehnik”. Dalam mahakaryanya, Strategi Kebudayaan (1988), ia menulis: “Tehnik merupakan suatu bagian kecil dari badan kita sendiri, ya bahkan dari kelakuan kita secara jasmaniah.” Kita menduga dengan peran editor di balik buku, Dick Hartoko ingin menegaskan lema tak terlepas dari pilihan yang berasal dari Jerman maupun Belanda.
Omong-omong, adakah yang paham bagaimana teknik memahami pemikiran Soekarno di zaman kiwari ini?
- Matematika dan Etos Keilmuan - 23 November 2022
- Soekarno dan Teknik - 21 September 2022
- Pelajaran Penting dan Keindahan dari Fisika Modern - 12 May 2018
toscahlb©
Alih-alih kemajuan hadir tak melepaskan pada nasib banyak orang, justru sebaliknya, kemajuan memberi ancaman dalam martabat umat manusia.
Kren gila sih!