“Soerat Tjerita” dan Novel

Pada awal Abad XXI, aku keranjingan membeli buku-buku lawas. Buku demi buku dibeli untuk masuk rumah. Sekian buku sanggup dibaca dan digunakan dalam menulis esai-esai. Sekian buku diam dan telantar. Aku pernah tergoda membaca buku berjudul Mata Gelap. Buku itu aku santap setelah Bentang menerbitkan ulang Student Hidjo dengan perubahaan ejaan. Novel lama dimunculkan lagi berbeda rasa akibat bahasa. Student Hidjo mengingatkan pada buku lama tapi sudah menghuni rumah: Mata Gelap. Buku itu utuh, belum dihajar waktu atau dirusak binatang. Aku mungkin sengaja dipilih untuk menjadi pemilik buku lawas dan langka. Konon, buku itu semakin sulit dicari di kalangan kolektor, peneliti, dan pengelola perpustakaan-perpustakaan.

Peran sebagai pembaca Mata Gelap edisi 1914 membuatku merasa berlebih ketimbang ratusan orang cuma membaca Student Hidjo. Pengakuan  tak berumur lama. Orang-orang mulai memburu buku-buku gubahan Marco Kartodikromo. Perburuan memerlukan duit, sabar, dan keajaiban. Penasaran terhadap Marco Kartodikromo semakin membara dengan penetbitan buku berjudul Karya Lengkap Marco Kartodikromo (2008) oleh Agung Dwi Hartanto. Keterangan “lengkap” itu dipaksakan meski berisi pemberitahuan ada buku yang belum berhasil ditemukan. Aku sempat mesem saat merampungkan buku tebal terbitan Iboekoe. Buku lawas terlalu dicari itu tergeletak di rumahku, belum mendapat tamu para peneliti atau pembaca tulen Marco Kartodikromo.

Tahun demi tahun berlalu. Aku mulai rajin menulis esai-esai kecil mengenai Marco Kartodikromo, terutama ulasan enteng Mata Gelap. Pada 2014, sekian esai peringatan 100 tahun Mata Gelap dimuat di Tempo, Koran Tempo, Jawa Pos, Koran Sindo, dan Basis. Aku merasa lega mengumumkan tulisan mengandung informasi bahwa Mata Gelap masih ada di Indonesia, tak usah berpikiran buku itu menghuni di perpustakaan di Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Tulisan-tulisan itu belum merangsang orang-orang ingin melihat, memegang, dan membaca Mata Gelap di rumahku. Pengecualian adalah dua dosen di Solo dan Muhidin M. Dahlan. Buku itu sempat aku pamerkan sambil mesem tanpa sombong.

Waktu terus bergerak mengganti angka tahun. Pada akhir 2015, dosen sejarah di Sanata Dharma (Yogyakarta) dan esais kondang membelikan buku berjudul Mata Gelap, terbitan Jaker, Jakarta. Buku itu bersampul warna hitam. Di pojok atas, keterangan penting: “Yang pertama setelah seabad”. Novel itu menjumpai pembaca dengan maksud memberi kejutan, setelah pengumuman di buku Agung Dwi Hartanto. Aku gagal terkejut. Buku itu masuk rumah berasal dari pemberian. Aku bertepuk tangan sejenak, memberi pujian atas ikhtiar menerbitkan lagi buku Marco Kartodikromo. Aku lekas membaca dengan agak jengkel akibat bahasa berubah sesuai ejaan baru. Orang paling bertanggung jawab dalam perubahan itu bernama Koesalah S. Toer, penulis dan penerjemah ampuh di Indonesia. Pikiran-pikiran aneh bersliweran di kepalaku minta dituliskan agar peran sebagai pembaca Mata Gelap edisi 1914 dan 2015 gampang terbedakan. Aku pun menulis sejenis ulasan sembarangan agar ingatan sejarah tak selalu bolong atau tercecer.

Koesalah S. Toer tekun mengurusi teks-teks sastra lawas, bermaksud disajikan lagi ke pembaca agar sejarah sastra Indonesia tak terlupa. Beliau menugaskan diri menjadi editor dan pembuat pengantar untuk cetak ulang Mata Gelap. Semula, Mata Gelap adalah “soerat tejerita” garapan Mas Marco Kartodikromo (1890-1932), diterbitkan oleh Drukkerij Insulinde, Bandung, 1914. Novel terbit hampir berbarengan dengan kerja jurnalistik Marco Kartodikromo di surat kabar Doenia Bergerak (Solo) dan pendirian  IJB (Inlandsche Jouenalisten Bond). Keterangan-keterangan kecil itu hilang atau tercecer, tak tampil dalam halaman pengantar edisi 2015. Koesalah mengaku bahwa Mata Gelap sampai pada kita dalam keadaan tidak utuh atau belum utuh. Pencarian di Perpustakaan Nasional dan Pusat Dokumentasi HB Jassin cuma berhasil mendapatkan jilid 2 dan 3. Penemuan itu tetap merangsang Koesalah melakukan pembenahan ejaan agar terbaca sesuai EYD. Mata Gelap terbit lagi tanpa jilid 1. Sejarah sastra tampak  tercecer. Koesalah tak mengetahui jika Mata Gelap edisi 1914 disimpan di rumahku, beralamat di pinggiran Solo.

Kita berlanjut menilik studi para peneliti sastra dan sejarah Indonesia.  Takashi Shiraishi (1979) menganggap Student Hidjo sebagai referensi “zaman bergerak”. Rudolf Mrazek (2006) mengakui Student Hidjo adalah teks simptomatik, representasi “zaman bergerak”, sejak awal Abad XX. Dua sarjana ampuh itu tak pernah mengulas Mata Gelap. Kita menduga Mata Gelap memang “gelap” dalam kajian sastra dan sejarah di Indonesia. Pamusuk Eneste dalam buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (1990) menginformasikan buku-buku garapan Marco Kartodikromo: Mata Gelap (1914), Sair-Sair Rempah (1918), Student Hidjo (1919), Rasa Merdika (19124), Tjermin Boeah Kerojalan (1924). Sebutan judul itu mendingan tapi ulasan Mata Gelap tak jua muncul di tulisan para kritikus sastra: HB Jassin, Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, dan Goenawan Mohamad. Selama puluhan tahun, Marco Kartodikromo selalu diingat dengan Student Hidjo.

Kita sejenak membuka buku lawas untuk mengetahui taraf perhatian pada Marco Kartodikromo. Bakri Siregar dalam buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern (1964) memberi pujian: “Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional… dia dimulai dengan tradisi revolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco Kartodikromo.” Penjelasan Bakri Siregar berbeda dengan susunan sejarah sastra oleh A. Teeuw, H. B. Jassin, dan Ajip Rosidi. Nama Marco ada di barisan depan, mendahului nama-nama tenar para pengarang di naungan Balai Poestaka. Bakri Siregar sudah memuliakan Marco tapi tak memberi apresiasi memadai untuk Mata Gelap.

Pada akhir 2015, Mata Gelap diterbitkan ulang, dengan keterangan di bawah judul: “sebuah novel”. Koesalah dan penerbit tak lagi mengikutkan keterangan asli: “Tjerita Jang Soenggoeh Kedjadian Ditanah Djawa.” Keterangan itu khas pada awal Abad XX. Teks-teks sastra dalam bahasa “Melajoe” oleh pengarang pribumi atau peranakan Tionghoa lazim mencantumkan “soenggoeh kedjadian.” Nuansa itu dihilangkan dalam terbitan Mata Gelap oleh Jaker, Jakarta. Tulisan “pendaholeoan” dari Marco pun tak ada, akibat kegagalan menemukan jilid 1. Kita sajikan kutipan dari edisi asli: “Toean-toean pembatja jang terhormat! Kami memberi taoe kepada sekalian toean-toean pembatja, bahwa ini soerat tjerita Mata Gelap jang sebagian ketjil telah dimoeat diroeangan soerat kabar Melajoe di Semarang, Selompret-Melajoe. Maka dari sebab soerat kabar soedah tidak diterbitkan lagi, terpaksa toean-toean pembatja Selompret-Melajoe tidak bisa mengatahoei kasoedahannja ini tjerita. Dengen pertoeloengannja handai taulan kami jang dengan ridla hati soeka membeli ini soerat tjerita, sekarang dia bisa kami terbitkan tiap-tiap boelan sampai habis.” Hasil penjualan novel digunakan untuk mengongkosi pelbagai agenda IJB. Novel asmara demi pergerakan politik dan pers radikal.

Mata Gelap menceritakan jalinan asmara dan perselingkuhan. Para tokoh memiliki obsesi jadi modern dan menjalani asmara terindah. Puja kemodernan tampak dari busana, kuliner, film, bacaan, bahasa, pekerjaan, kereta api, mobil, dan hotel. Latar cerita di Semarang dan Pasundan. Semarang ditampilkan sebagai kota kemajuan pada awal abad XX. Marco selaku jurnalis pamer kemampuan mendeskripsikan dan menceritakan Semarang. Alinea awal dalam Mata Gelap: “Ini hari hawa di iboe kota Semarang amat njaman, berpoeloeh-poeloeh orang laki dan perampoean dari segala bangsa sama laloe di djalan Bodjong. Mareka itoelah kebanjakan menoedjoe kepasar Djohar. Soeara kendaraan, auto, fiets dan l.l. seolah-olah membikin toeli telinga orang-orang jang berdjalan. Warna merah, biroe, hidjau, poetih, hitam d.l.l. jaitoe roepa pakaian jang dipakai oleh orang-orang perampoean seakan-akan mengaboerkan mata si penonton. Waktoe inilah hari Minggoe poekoel 8 pagi didalam boelan Mei 1910.”

Pembaca bakal terangsang mengimajinasikan kota dengan pelbagai tanda modernitas. Para tokoh pun ditampilkan memiliki gagasan-gagasan baru meski masih memungkinkan kembali ke tradisi leluhur. Pembaca Mata Gelap tak usah terlalu berharap ada sensasi ideologis. “Soerat tejerita” seabad silam malah melulu bercerita asmara, tak sungkan menghadirkan adegan berimajinasi mesum. Di kalangan pers dan pergerakan politik kebangsaan, Marco Kartodikromo dianggap radikal. Di jagat sastra, Marco Kartodikromo itu pengarang romantis.

Aku menulis ulasan wagu itu untuk menumpas sesalan atas kegagalan dokumentasi sastra di Indonesia. Mata Gelap edisi lawas masih ada di rumahku, bertemu dengan edisi baru tanpa saling peluk. Mata Gelap jilid 1 mungkin meragukan nasib saat tak lagi menjumpai para pembaca di Abad XXI. Aku sejenak meragu pada penjelasan Koesalah di halaman pengantar: “Namun sangat mengagumkan bahwa walau cerita ini dimulai dengan jilid 2, sama sekali tak terasa goncangannya. Cerita seolah memang bermula di situ.” Posisi Koesalah dan diriku berbeda. Urusan “goncangan” atau “seolah bermula di situ” membuatku sedih tanpa berair mata. Sejarah dan dokumentasi sastra telah gampang mendapat “catatan” mengentengkan dan argumentasi ringkas. Begitu.

Bandung Mawardi
Latest posts by Bandung Mawardi (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!